Gardu Pandang
Untuk semua atraksi alam itu, di Puncak Botorono sudah dibangun gardu pandang. Deretan rumah petani tembakau dan kota Temanggung terlihat jelas dari situ. Gardu Pandang itu menjadi favorit pengunjung.
Di situ selalu ada petugas berpakaian adat Jawa yang siap menjawab segala pertanyaan seputar Puncak Botorono. Nampak seorang dengan rompi dan kamera SLR mengobrol serius dengannya. Mungkin dia reporter wisata dari sebuah media besar.
Dua remaja putri berjilbab nampak asyik mengulik smartphone-nya, mereka berulang-ulang saling berfoto untuk mendapatkan posisi terbaik di depan miniatur kincir angin yang dibuat menyerupai Zaanse Schans di Belanda.
Tak jauh dari situ, tiga orang anak sedang memberi aba-aba sepasang kakek-nenek berpose untuk dipotret. Berlatar punggung Gunung Sumbing yang gagah, keduanya berdiri bergandengan dengan wajah kaku sambil menahan senyum.
Sedangkan di samping tulisan Botorono yang besar, ada kursi-kursi besi dengan sandaran landai. Sengaja dibuat untuk bersantai. Sepasang muda-mudi duduk berangkulan, mereka asyik berswafoto dengan background cakrawala berwarna cerah.
Serombongan remaja terengah-engah mencapai puncak sambil tertawa gembira. Nampaknya mereka tengah meledek temannya yang tertinggal di belakang dalam berlomba mendaki tangga.
Teh Wangi Sedap Tanpa Gula
Satu jam menikmati Puncak Botorono, banyak spot foto yang instagramable. Juga tersedia area camping untuk mendirikan tenda bagi mereka yang ingin mendapatkan momen terbaik menikmati matahari terbit nan indah.
Menjelang pukul 13.00 kami pun turun untuk makan siang dan melanjutkan perjalanan ke Wonosobo.
Di sepanjang jalan sekitar Kledung Pas, banyak kafe dan eatenary yang menyajikan kopi khas Temanggung dan berbagai makanan.
Tetapi kami memutuskan untuk mencobanya di lain waktu. Hari itu kami mampir di warung Jawa langganan kami yang terletak di jalan utama Kertek.
Menu rawon koyor dengan daun pepaya plus sambal lombok ijo terasa nikmat. Di situ seduhan teh hangatnya juga istimewa. Tetap wangi dan sedap, meski diminum tanpa gula.
Edi Barlianto