blank
Matahari terbenam ada di mana saja. Tetapi menikmati sunset di Puncak Botorno adalah drama akhir tahun yang begitu indah dan syahdu. Foto: Instagram @wisatapuncakbotorono

SETIAP libur Natal dan Tahun Baru, kami sekeluarga biasa melancong keluar kota. Namun karena masih dibayangi pandemi, kali ini kami putuskan tetap jalan-jalan, tetapi dekat saja dan ke tempat yang tak banyak orang dan terbuka.

Kami pilih berziarah ke makam keluarga di Wonosobo. Namun, iseng-iseng kami sempatkan mampir ke Puncak Botorono karena kebetulan terlewati. Yang kami dengar, Botorono merupakan satu tempat wisata baru di kawasan punggung Gunung Sumbing yang lagi naik daun.

Berkendara mobil dari Semarang pukul 09.00 pagi. Berhenti di rest area tol Ungaran untuk menikmati kopi dan ke toilet. Keluar pintu tol Bawen dan ambil jalan lingkar Ambarawa.

Setibanya di pertigaan Kaliampo Pringsurat, kami belok ke kanan mengambil jalan tembus arah Temanggung, lalu Parakan dan belok kiri menanjak ke jurusan Wonosobo.

Setelah melewati Pasar Legi Parakan, tak lebih dari 10 menit menempuh jalur berkelok, sebuah gang di sisi kiri jalan menampilkan petunjuk arah cukup mencolok yang memberi kami informasi jalur menuju Puncak Botorono.

Baca juga Menikmati Telaga Warna Dieng di Momen Liburan Akhir Tahun

Ya, di jalan berkelak-kelok itu, bila kita memandang sisi kiri pemandangan indah Gunung Sumbing akan tampak. Dan, ada salah satu anak gunung yang menyolok. Di sana ada tulisan dengan grand letter BOTORONO. Ini mengundang penasaran kami, untuk naik ke sana.

Kami telusuri gang beraspal sepanjang  sekitar 1 km melewati Balai Desa Petarangan, Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung. Jalan kecil menembus perkampungan berujung pada lahan parkir. Waktu menunjukkan pukul 11.05.

Pemuda yang Ramah

Beberapa pemuda dengan ramah memandu mobil untuk diparkir sembari menjelaskan tarif parkir Rp 5.000 ditarik ketika kami hendak pulang. Ia sekaligus memberi saran bagaimana mencapai Puncak Botorono yang berjarak sekitar 1.500 meter km dari area parkir. Jalannya yang sempit tak cukup dilalui mobil.

Kami memilih menyewa ojek ketimbang jalan kaki. Tarif ojek di sini diatur standar, yaitu per orang Rp 10.000 untuk naik ke puncak dan Rp 5.000 untuk turun dari puncak ke tempat parkir.

Knalpot ojek menderu menyusur jalan menanjak ke Puncak Botorono. Pengemudinya cekatan, setara dengan kondisi motor yang cukup prima.

Ia bercerita, ojek Botorono semua adalah warga sekitar dengan jumlah motor aktif sekitar 30 unit. Pada peak season ia bisa 10 kali pulang balik mengangkut penumpang. Berhenti sebentar di sebuah pos, kami ditarik tiket masuk area wisata Rp 5.000 per orang.

Ojek Kembali menderu di jalan yang makin naik. Saya perlu mengganjal pantat dengan sebelah tangan karena dari tadi rasanya mau melorot.

Tak sampai 10 menit kami sudah tiba di gerbang Area Wisata Puncak Botorono. Di ketinggian 1.300 meter diatas permukaan laut (mdpl), angin dari lembah yang masih bau sisa gerimis, terasa sejuk mengelus pipi.

Ada sebuah warung sederhana, tapi cukup lengkap menyediakan kebutuhan darurat, seperti kopi, nasi dengan lauk, mie instan dan lainnya. Sepuluh meter di sampingya, terdapat lahan parkir motor, toilet dan mushola. Semuanya nampak rapi dan bersih.