Oleh: Amir Machmud NS
KABUT, angin, embun, dan rinai gerimis.
Betapa deret keindahan itu menyuguhkan adonan romantik di kanvas alam. Dan, ketika panorama itu melatari iring-iringan pelari yang berlumur keringat di kompleks Candi Borobudur, bukankah lengkap eksotika alam itu berpadu dengan karsa manusia?
Di Taman Lumbini, subuh dingin melepas para pelari bergerak dari ruas ke ruas jalan, kelokan ke kelokan, dan sudut ke sudut jalan di antara hijau tetanaman kompleks Candi Borobudur. Begitulah sebuah marathon dunia digelar di tengah adaptasi kondisi pandemi Covid-19.
Ya, sudah dua tahun ini Borobudur Marathon berlangsung dalam “kenormalan” yang di-setting secara cerdas oleh penyelenggaranya. Para pelari menempuh rute perlombaan di tengah kompleks candi, tidak seperti sebelum masa-masa pandemi, yang melewati desa-desa di seputar Borobudur.
Setahun silam, marathon ini menyampaikan pesan etos eksistensial: “tetap ada”, di tengah suasana semua aktivitas manusia dan masyarakat yang dibatasi, harus menyesuaikan dengan protokol ketat kesehatan. Seolah-olah frasanya adalah “Borobudur, kami (tetap) datang”, sebagai narasi untuk menegaskan sport-tourism event ini tetap bisa diselenggarakan.
Sedangkan tahun ini, label yang menyambungkan kondisi pandemi Covid-19 ke realitas kerinduan kepada aktivitas pariwisata dikemas dengan nada optimistis, “BPD Jateng Tilik Candi”. Sponsor utama event ini, Bank Jateng di bawah kepemimpinan Direktur Utama “Nano” Supriyatno, berkomitmen mendorong penguatan positioning destinasi wisata terpenting Jawa Tengah ini melalui Borobudur Marathon.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang aktif terlibat dalam gelaran olahraga-pariwisata ini menegaskan, pentingnya posisi Borobudur Marathon. Sikap Ganjar menyiratkan pesan, masa-masa sulit pandemi tidak boleh menyurutkan niat untuk tetap secara kreatif menyelenggarakannya. Disiplin pengemasan merupakan pilihan.
Spirit “tilik candi” sangat jelas menggambarkan latar belakang marathon pada tahun ini, yang menjadikan Candi Borobudur sebagai magnet utama. Monumen sejarah mahakarya Empu Gunadarma pada 824 M pada masa Raja Medang Mataram, Samaratungga itu merupakan pusat gravitasi untuk mendatangkan para pelari dari berbagai belahan dunia. Tepatlah kiranya tagline yang tahun ini diusung, Simphony of Energy.
Dan, kalau pada tahun-tahun sebelum 2020 rute sepanjang 42,195 kilometer disiapkan di desa-desa wisata dalam totalitas eksotika Bumi Sambarabudara, kini jarak tempuh itu melewati lap-lap yang di-setting sedemikian rupa, dalam bayangan keagungan candi. Para pelari secara tidak langsung menempuh pengalaman yang luar biasa eksotik.
Faktor Pembeda
Di sini tercakup agenda olahraga, pariwisata, dan ekonomi. Ada “faktor pembeda” yang barang tentu tidak didapatkan di ajang marathon dunia lainnya. “Bayangan” Candi Borobudur sebagai “kanvas” dengan segala keunikannya menjadi distingsi.
Ketika seorang pelari memutuskan mengikuti marathon ini, salah satu pertimbangannya boleh jadi adalah “tilik candi”. Suasana elok kompleks candi mendorong siapa pun yang datang tidak hanya berpikir untuk berlomba, melainkan juga memafaatkan untuk berwisata.
Latar belakang inilah yang menguatkan sikap Liem Chie An, Ketua Yayasan Borobudur Marathon. Sejak 2013 pengusaha ternak ayam itu meneruskan kiprah tokoh atletik nasional Bob Hasan untuk menggelar Borobudur Marathon dari Borobudur Run dan Borobudur 10-K.
Yang tidak diduga oleh siapa pun adalah pandemi Covid-19. Bagi Chie An, ini merupakan realitas yang harus disikapi sebagai tantangan. Pesan penting tetap menggelar Borobudur Marathon adalah pembuktian, bangsa Indonesia mampu berkegiatan dengan skala internasional. Tentu menyesuaikan dengan kondisi kenormalan pandemi.
Pesan lainnya, memperlihatkan bahwa bangsa ini punya kemauan untuk berdisiplin dengan penerapan protokol ketat kesehatan. Penyiapan sterilitas mata rantai event dan tempat yang menjadi rute lari memang bukan masalah mudah, tetapi semuanya bisa dikondisikan oleh event organizer.
Level Marathon
Mimpi untuk menaikkan level Borobudur Marathon sebagai salah satu World Major Marathon (WMM) terus diperjuangkan, walaupun hingga tahun ini masih tertunda karena kondisi global pandemi. Namun, angan-angan itu bukan sesuatu yang mustahil. Komitmen, kerja keras, dan keseragaman mindset para pemangku kepentingan event ini menjadi modal kuat.
Pada gilirannya kelak, generasi pewaris estafeta penyelenggaraan Borobudur Marathon akan mengemban tanggung jawab, ketika nama marathon ini disebut dengan karisma sekuat Tokyo, Berlin, New York, Chicago, atau Paris Marathon.
Merawat faktor pembeda, mengelola, dan mengembangkan, merupakan sikap yang secara konsisten harus dijaga oleh para pemangku kepentingan.
Kita sama-sama mendamba pandemi segera berlalu. Kita merindukan “tilik Borobudur” tak sekadar dengan berlari dalam lap-lap rute bersterilitas tinggi. Suatu saat nanti, kita kembali berlari dengan candi sebagai latar belakang yang elok menggetarkan.
Tak cukup hanya sukses olahraganya, tetapi juga sukses pariwisatanya. Mendenyutkan kebangkitan ekonominya, menggairahkan kegairahan UMKM-nya, dan menggaungkan kuat respons masyarakatnya.
Kita membutuhkan ungkapan cinta, seperti Liem Chie An yang begitu bangga dengan Borobudur dan kota kelahirannya, Magelang. Seperti Gubernur Ganjar Pranowo dan pimpinan Bank Jateng “Nano” Supriyatno yang tak henti mencari terobosan kreatif menjadikan marathon ini tetap menggaung luar biasa…
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —