Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Sebenarnya, judul ini merupakan dua “entitas” yang tidak ada kaitannya sama sekali; nanging digathuk-gathukake, dibuat berjodoh karena memang banyak hal dalam hidup ini sering “bertemu” secara kebetulan saja dan akhirnya berjodoh.
Dalam lidah Jawa, nama hari keempat Rabu dilafalkan menjadi Rebo; Kamis menjadi Kemis; bahkan pernah ada lagu bernada lelucon dengan sepenggal liriknya mengatakan “Pak Kemis, lahire dina Rebo,” mengisahkan seorang bernama Kemis, padahal lahir pada hari Rebo.
Kok bisa begitu? Inilah salah satu keunikan Jawa, yakni menghayati pergantian hari itu pada tengah hari, sementara secara umum pergantian hari disepakati pada tengah malam. Begitu matahari bergeser ke arah barat, -ungkapan Jawa menyebutnya wis lingsir utawa wis ngglewang (bacalah seperti Anda mengucapkan klewang atau berang)- , itu berarti hari sudah bergeser ke hari berikutnya.
Kalau hari ini, Senin, nanti siang begitu jam menunjukkan lewat pukul 12.00 (apalagi sudah pukul 15.00), orang sudah mengatakan malem Selasa. Jarang sekali (yen Jawa tenan lho……hehehehe) orang mengatakan Selasa malem, Rebo malem, atau Jumat malem; karena yang sering dikatakan ialah malem Selasa (itu artinya besok itu hari Selasa), atau malem Jumat (besok itu hari Jumat).
Itulah mengapa orang, misalnya berpesan: “Sing ngati-ati ya, iki malem Selasa Pon,” padahal ketika mengucapkan itu masih pada Senin Pahing sekitar pukul tiga sore. Seperti inilah logika yang dikonstruksi lewar nama Pak Kemis, padahal hari lahirnya Rebo pada pukul tujuh malam.
Dalam perkembangan perpolitikan Indonesia, hari Rebo, eh… kliru Rabu, memang terasa semakin bernuansa “magis,” seolah keramat. Betapa tidak? Sudah beberapa kali terbukti, contohnya, penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) atau pun pemilihan kepala daerah (pilkada) selalu dipilih hari Rabu.
Rembug Tuwa
Terkait pemilu dan pilkada tahun 2024 misalnya, para komisioner KPU sudah harus “pegang rumus” betapa hari coblosannya harus Rabu, dan pada bulan apa/berapa kerja besar itu akan terjadi, itulah yang masih dibahas terus oleh berbagai pihak yang kompeten. Sudahlah pasti harus Rabu, pada tanggal …., bulan …., tahun 2024. Titik-titik itulah yang sekarang ini sedang pada tahapan rembug tuwa, tahapan pembahasan orang-orang tua (orang-orang kompeten tadi).
Baca Juga: Mandalika
Namanya saja rembug tuwa, pembahasan antar orang-orang berilmu, berpengetahuan, berkuasa, dan berkepentingan. Analoginya, sebelum Tony Blaik menikah dengan Susan Tung Tung, para pihak orang tua kedua belah pihak, pasti terlebih dahulu mengadakan pertemuan penting dan rahasia karena melakukan rembug tuwa; dan ketika segala sesuatunya telah dibahas, lalu muncul kesepakatan bersama; segera setelah itu si Blaik dan si Tung Tung silakan mulai men-design undangan, foto-foto pre-wedding, dan sebagainya.
Perkembangan saat ini, “rembug tuwa Rebo,” memang tidak lagi menjadi “hak prerogatif” seseorang atau pun suatu instansi; karena sering sangat berseliweran analisis yang justru mendahului pihak-pihak yang kompeten. Lebih-lebih terkait hari Rebo Pon, yang semua pihak tahu siklus 35 harian jatuhnya hari Rebo Pon itu.
Akan tibanya hari Rebo Pon, misalnya; sering menjadi pembahasan prognotif oleh “orang-orang tidak kompeten” (namun bikin heboh) terkait reshuffle kabinet. Silakan saja, namanya iseng-iseng berhadiah, tebak-tebak buah manggis. Berjodohkah iseng-iseng itu? Lihat saja yang telah/pernah terjadi.
(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan )