Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Risi senantiasa menyangkut rasa, tetapi bukan rasa dalam kaitannya dengan pengecapan, melainkan rasa yang terkait dengan hati atau pun perasaan, dan bisa juga berkenaan dengan tubuh kita.
Kata risi ini murni tembung Jawa, dan dalam bahasa Indonesia ada yang melafalkan (dan menulisnya) risih, meskipun ternyata dicari-cari di kamus yang saya miliki tidak terjumpai ada kata risih yang dimaksud dalam KUBI.
Ada dua makna atas risi ini, (a) krasa keri (baca keri seperti ngeri), krasa ora kepenak, yakni terasa geli (bayangkan telapak kaki atau ketek Anda dipegang orang lain); juga bermakna tidak enak atau tidak nyaman, entah dalam hal berpakaian kurang pas/serasi, atau berkaitan dengan sikap dan perilaku. “Aku risi deleng kelakuane bocah kuwi,” gumam Pak Suta karena merasa tidak enak hati melihat sikap seorang anak.
Makna kedua (b) risi ialah krasa ora seneng seperti digumamkan pak Suta tadi; beliau merasa tidak enak hati, merasa tidak senang, mungkin karena anak (muda?) itu ora duwe tatakrama, yakni sopan santunnya minus (menurut kacamata pak Suta); atau karena hati Pak Suta tersinggung.
Keketuaan
Syukur pada Allah, Presiden kita Bapak Joko Widodo, segera memeroleh dan menerima peran penting sebagai ketua G-20 untuk periode tahun berikutnya. Tentang hal ini persepsi khalayak ramai, masyarakat dan bangsa Indonesia, –lagi tekan jamane– , terbelah menjadi dua kubu.
Kubu positif, melihat “estafet” kepemimpinan G-20 ini tetap sangat bermakna terutama dalam konteks besar penanganan masalah pandemi Covid 19 agar ekonomi dunia semakin baik dan membaik.
Baca Juga: Muda Ditantang, Tua Ditanting
Kalau hanya dilihat semata dari “estafet” (diterima tongkatnya dari Italia). memang kubu negatif mengatakan “tidak bermakna apa pun” posisi sebagai ketua G-20 ini.
Nah…, terkait posisi sebagai ketua G-20 inilah, “muncul” kosakata baru keketuaan G-20 yang kemudian dibahas secara “swasta” oleh banyak pihak. “Aku kok risi mendengar kosakata keketuaan G-20,” begitu protes (sebut saja namanya Paul}.
Di Koran, TV, dan di media sosial lain, tentang kosakata keketuaan G-20 memang cetar membahana; dan karena itu ada yang sudah meramal, kelak pasti kosakata itu akan dianggap wajar-wajar saja ketika khalayak menerimanya.
“Banyak kosakata dalam pergaulan sehari-hari berawal dari tidak/belum biasa, lama-kelamaan akan diakrabi juga,” timpal Sudi yang entah karena apa kok sertamerta membuat analogi dengan kata selingkuh (murni tembung Jawa, yang artinya ora jujur, curang, tidak berterang-terang). yang lalu berkembang ke kata perselingkuhan dan selingkuhan.
Sejauh kita pahami, kosakata keketuaan G-20 mau menegaskan maksudnya, antara lain “berkaitan dengan posisinya sebagai ketua G-20” atau juga “sehubungan dengan perannya selaku ketua G-20;” ungkapan-ungkapan sejenis itu diramu lebih singkat padat menjadi “keketuaan G-20 Bapak Presiden Joko Widodo” segera akan dilaksanakan, misalnya.
Bagi mereka yang (masih) risi terhadap kosakata keketuaan ini, harap bersabar menunggu; apakah kosa kata itu akan “hidup” nantinya, ataukah akan melayu.
(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan )