blank
Komper Wardopo. jurnalis Suarabaru,id dan dosen IAINU Kebumen.(Foto;SB/Komper Wardopo)

Oleh Komper Wardopo

“Sedikit informasi mengenai Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia, negara dengan penduduk terpadat di dunia urutan ke-4, memiliki GDP rendah, vaksinasi rendah, dan 6 persen penduduknya terinfeksi COVID-19,”komentar jurnalis stasiun televisi di Asia.

Reporter stasiun televisi negara Asia itu bergaya pongah memberi narasi tentang atlet Indonesia pada parade pembukaan Olimpiade Tokyo 2020 yang dihelat 2021. Ajang olah raga terbesar sejagat, meski di tengah pandemi global, bisa terlaksana.

Bukannya malah ikut mengapresiasi  dan memberi empati. Rekan jurnalis di Asia itu narasinya justru sangat melukai, melecahkan dan merendahkan bangsa kami. Tetap bisa ikut Olimpaide Tokyo,  meski saat ini bangsa kami tengah berjuang keluar dari pandemi.

Sungguh kaget, sakit dan heran. Tradisi kami pers nasional dibekali dengan Kode Etik Jurnalistik dan Undang-undang Pers. Kami dalam menulis dan berucap di media meski bersikap santun, menghormati norma dan adat istiadat. Fungsi kontrol pers berjalan. Namun tak boleh menista. Apalagi menyakiti dan merendahkan.

Pers memang dilahirkan untuk memberi kontrol sosial dan mengkritik. Namun bukan asal kritik. Dalam masa-masa tertentu, seperti pada situasi pandemi yang juga melanda seluruh bangsa, pers juga mesti terpanggil untuk membangun optimisme.

Kami mungkin masih menjadi negara miskin secara materi. Namun tidak secara nurani. Sebab para pendiri bangsa ini, para pejuang dan pahlawan, mengajarkan kami untuk menjadi bangsa  mandiri. Kami merdeka  17 -08-1945 bukan hadiah cuma-cuma. Ada sejarah panjang perjuangan, perlawanan darah dan air mata.

Kolonialsime selama beberapa abad justru melahirikan peran para perintis, pendobrak dan pejuang kemerdekan yang antikolonialisme. Para pendahulu kami tak sudi merdeka karena hadiah. Kami boleh miskin secara materi, namun tetap memiliki harga diri dan spirit sebagai bangsa merdeka.

Bangsa kami juga memiliki catatan sejarah betapa politik luar negeri mengedepankan politik bebas dan aktif alias netral. Tak juga tunduk pada Blok Barat atau Blok Timur. Namun berusaha turut andil menciptakan perdamaian dunia. Seperti tertuang jelas dan tegas dalam Preambul  Konstitusi negeri kami.

Bahkan politik bebas aktif ini benar-benar mewujud pada  1955 melalui gelaran Konferensi Asia- Afrika di Bandung. Diikuti 29 kepala negara dan kepala pemerintahan di Asia dan Afrika. Ciri lain bangsa kami adalah cinta damai. Namun lebih cinta kemerdekaan.

Menjaga Harmoni dan Empati

Kami pun tak diajarkan untuk antiasing atau menolak produk bangsa lain. Anda pun tahu, begitu banyak warga kami memakai produk negeri anda. Mobil, gawai dan produk elektronik lainnya.  Bahkan saat ini produk hp, gaget dan sejenis dari negara anda menguasai pangsa pasar negeri kami. Seharusanya anda berterima kasih.

Pun demikian anak muda negeri kami, begitu gandrung dengan budaya pop negeri anda. Tak hanya pada lagu-lagu dan penyanyinya.  Namun juga sinetronnya.  Meski saya tak begitu suka karena artis laki-laki negeri anda banyak yang berubah wajah menjadi mirip perempuan alias berparas cantik.

Tidak pula kami menyinggung dan merendahkan mengapa justru artis pop negeri anda yang semakin mendunia. Namun belakangan, justru  sering terjadi peristiwa tragis dan ironis karena mengakhiri hidup dengan cara tak lazim.

Meski sejatinya untuk warisan seni dan budaya, kami jauh lebih memiliki kekayaan dari  keanekaragaman budaya di seantero Nusantara. Memiliki tradisi seni budaya Adi Luhung. Namun bangsa kami tidak pernah menyombongkan diri karena kekayaan multikulturalisme itu.

Kami pun tak pernah mempersoalkan, meski negeri anda tidak mampu bersahabat  dan hidup berdampingan dengan tetangga sebelah sekali pun. Bahkan, perlu dicatat, meski GDP negeri kami sangat rendah, tidak ada satu jengkal pun pangkalan militer asing di wilayah Nusantara ini.

Memang kami sadar sebagian rakyat kami yang kurang beruntung terpaksa mengais rezki di negeri  anda. Sedangkan yang beruntung ada yang menimba ilmu di negeri anda. Tentu kami berterima kasih.

Namun sekali lagi, bukan berarti kami yang lebih miskin harus meminta-minta. Tidak. Karena leluhur kami mengajarkan agar  tangan kami di atas seraya suka menolog dan gotong royong

Bangsa kami memang tak mengajarkan antiasing. Tak juga suka bersitegang. Bahkan bersahabat erat dengan semua bangsa. Kami malah berusaha harmonis dengan negara serumpun. Dengan  Malaysia, kami bersahabat hangat. Pun dengan Brunei Darussalam. Dengan Timor Leste pun kini tak ada masalah. Australia benua di selatan, kami juga akrab.

Negeri kami memiliki sejarah panjang nasionalisme. Kami dididik mencinta negeri ini sebagai nasionalis. Sebagai patriot dan cinta Tanah Air. Indonesia lahir dari pergerakan panjang, revolusi  dan perjuangan rakyat.  Maka siapa pun yang sengaja melecehkan dan merendahkan negeri ini, tentu akan berhadapan dengan rakyat.

Permintaan maaf kami terima. Kami memaafkan. Namun sudah semestinya sesama bangsa , apalagi sama-sama Asia. Perlu saling menjaga harmoni dan berempati. Apalagi dalam situasi sulit, ketika pandemi  melanda.

Tirulah negeri tetangga anda Jepang dan China. Mereka bangsa unggul, namun tetap rendah hati dan berempati. Bisa dicontoh pula. Di tengah sama-sama menghadapi pandemi yang berat, bangsa kami dan India malah saling berbagi oksigen.

Singkatnya, anda boleh mengkritik, menyindir dan mengolok-olok negeri kami. Tapi jangan  rendahkan bangsa  ini. Sebab pendahulu kami selalu mengajarkan: Jangan pernah lelah untuk mencintai negeri ini.

Drs Komper Wardopo MPd, jurnalis Suarabaru.id dan pengajar Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Kebumen.