blank
Gianluigi Donnarumma. Foto: dok/ist

Oleh: Amir Machmud NS

blankSELENTUR itu tubuh Jordan Pickford bergerak membendung peluru maut Andrea Belotti dan Jorginho…

Tangannya seperti memanjang menjangkau bola. Kalau secara lebay saya gambarkan, dia mirip Pangeran Mlaar dalam komik superhero karya Hasmi pada 1980-an. Sayang, dua kali sukses menggagalkan eksekusi dalam drama adu penalti tak cukup menolong Inggris memenangi trofi yang dirindukan sejak 55 tahun silam.

Pickford seperti benteng kokoh, tetapi pasti Anda tak ragu-ragu menyebut Gianluigi Donnarumma lebih kokoh. Cool, selalu dalam posisi tepat, dan memberi rasa aman bagi lini pertahanan yang digalang Giorgio Chiellini dan Leonardo Bonucci. Mungkin juga mereka saling menciptakan rasa aman. Donnarumma percaya diri dengan mental baja, karena “area suci” Gli Azzurri mantap dikawal para “gladiator” yang sarat pengalaman.

Betapa tepat refleks kiper kelahiran Castellammare di Stabia itu mengadang tembakan Jadon Sancho dan Bukayo Saka. Dia pun mengantar Italia memenangi drama yang lebih mirip “ruang penyiksaan” itu.

Telapak tangan laba-laba kiper muda, 22 tahun itu bagai membuat sempit gawang Italia. Dan, postur tinggi besar itu akan menjadi trauma hingga kapan pun: bagi Sancho dan Saka, juga Marcus Rashford yang eksekusinya membentur tiang gawang.

Tubuh gempal Donnarumma yang secara tidak langsung “mengintimidasi” para penendang penalti Inggris itu, mengingatkan pada “The Superman” Gianluigi Buffon, senior yang kini digantikannya.

Star of the Tournament
Dan, terbilang langka seorang kiper terpilih sebagai Star of the Tournament dalam sebuah laga turnamen seperti Euro 2020 ini. Bukankah ini pengakuan absolut atas peran Donnarumma dalam mengantar Gli Azzurri meraih trofi Eropa sejak 1968?

Dua kali Italia gagal di final, yakni pada era kiper Francesco Toldo (2000), dan Gigi Buffon (2012). Sukses ini menunjukkan betapa kaya Italia akan kiper-kiper hebat. Catatlah misalnya legenda-legenda Dino Zoff, Walter Zenga, Angelo Peruzzi, Gianluca Pagliuca, Francesco Toldo, hingga Buffon.

Dalam sejarah turnamen besar, sepak bola mencatat momen-momen fenomenal kiper hebat. Lev Yashin, yang memenangi Ballon d’Or 1962 — satu-satunya kiper yang meraih trofi tersebut — mendapat julukan “Laba-laba”. Penampilan Yashin menginspirasi penerusnya di tim nasional Uni Soviet 1982, Renat Desayev.

Di Meksiko 1970, duel perempatfinal Brasil vs Inggris melahirkan momen penyelamatan legendaris kiper Gordon Banks. Tandukan Pele, yang “sudah 99 persen” gol, bisa digagalkan Banks lewat “lompatan ikan salmon” yang tidak masuk akal.

Empat tahun setelah itu, Piala Dunia 1974 mengukir nama Jan Tomazewski, kiper akrobatik yang mengantar Polandia sebagai juara ketiga. Pada turnamen yang sama, ketika itu, Jerman menghadirkan Sepp Maier yang tangguh. Kisah kehebatan kiper Jerman diteruskan oleh Oliver Kahn di Piala Dunia 2020, dan Manuel Neuer yang cemerlang di Brazil 2014.

Dari Piala Dunia 1982 muncul fenomena Thomas N’Kono, Singa Perkasa Kamerun yang lentur, akrobatik, dan membuat penyelamatan-penyelamatan nyaris mustahil. Kehebatan
N’Kono diteruskan oleh Badou E-Zakki, penjaga gawang Maroko yang heroik pada 1986.

Di ajang Euro 1992, kepahlawanan Peter Schemichel mengantar Denmark membuat kejutan besar meraih trofi. Dari hanya sebagai tim pengganti Yugoslavia yang sedang terlibat perang saudara, The Danish Dynamite melumpuhkan kekuatan-kekuatan establish. Kehebatan Schmeichel diteruskan putranya, Kasper yang menggawangi tim Euro 2002.

Kisah Epik Donnarumma
Penampilan Donnarumma menjadi warna epik Euro 2020 yang ditebari kiper-kiper tangguh. Selain Pickford ada Unai Simon, Kasper Schemichel, dan Yan Sommer. Sukses Donnarumma di partai pamungkas, memprasastikan sejarah Euro yang bakal terus dikenang.

Sejak 2017, ia telah terlibat dalam lima adu penalti yang kelima-limanya bisa dimenangi. Sudah 40 tendangan penalti yang dia hadapi sebelum final Euro 2020, 14 di antaranya berhasil ditepis dalam babak reguler (bukan adu penalti).

Dalam drama eksekusi, dia telah melakukan tujuh penyelamatan. Termasuk membendung eksekusi Alvaro Morata ketika mengalahkan Spanyol, lalu mementahkan sepakan Jadon Sancho dan Bukayo Saka di laga final.

Sebuah paradoks mengadang Donnarumma selepas menjadi pahlawan besar negerinya. Setelah euforia kemenangan di Wembley, kiper yang sejak 2013 menandatangani kontrak
profesional dengan AC Milan itu, akan menghadapi suara-suara yang mengusik batin. Kepindahannya ke Paris St Germain, dengan penawaran gaji lebih tinggi, menimbulkan kekecewaan bagi mereka yang mengingini dia bertahan di San Siro.

Legenda AC Milan, Alessandro Nesta melihatnya sebagai masalah kesetiaan. Namun bagaimanakah kita memaknai kesetiaan dalam industri sepak bola? Patutkah mereka yang tidak menyukai kepergian Donnarumma memberi julukan nyinyir “Dollarumma”?

Tak jarang, pemain hanya menjadi bagian dari “faktor produksi”. Namun dalam beberapa segi, relasi kapitalisme juga tidak sepenuhnya menepikan ekspresi hati, rasa, dan cinta. Pemain bola merupakan faktor magnetik dalam budaya pop, dan bisa kita bayangkan betapa berat anak manusia seperti Donnarumma berselancar di tengah tuntutan-tuntutan orientasi mediatika.

Biarkanlah Gigi Donnarumma menikmati kemenangannya. Setidak-tidaknya dia mulai merintis jalan legenda seperti para pendahulunya, Dino Zoff dan Gigi Buffon yang bahkan mampu melewati batas-batas normal usia bagi kiprah pemain bola.

— Amir Machmud NS, kolumnis sepak bola, wartawan suarabaru.id —