Oleh: Amir Machmud NS
// andai bukan makhluk langka/ takkan mungkin mereka mengharu-biru dunia/ dengan kesaktian mewujud perbedaan/ : kecepatan/ kekuatan/ seni mengolah/ seni mengeksekusi/ seni mengecoh/ seni mempengaruhi/ dan karisma kepribadian/ semua terprasasti sebagai sejarah/ pada suatu masa/ jagat sepak bola dikaruniai para genius tak biasa//
(Sajak “Manusia-manusia Langka”, 2021)
PADA musim-musim sebelumnya, boleh jadi kita tidak terlalu menghitung sosok yang satu ini: Romelu Lukaku. Mungkin pula Anda tak serius mengistimewakan nama Dominic Calvert-Lewin. Pernah jugakah Anda mempertimbangkan nama-nama yang “non-mainstream” ini: dari Jack Grealish, Mason Mount, Franck Kessie, Hakan Calhanoglu, hingga Ilkay Gundogan?
Jagat sepak bola terbukti tak kenal henti mengetengahkan manusia-manusia istimewa. Yang masuk kategori di luar logika kemampuan anak manusia, pada era sekarang ini boleh jadi melekat pada diri kuartet Lionel Andres Messi, Cristiano Ronaldo, Neymar Junior, dan Kylian Mbappe. Lainnya masuk kategori luar biasa, untuk memosisikan para jagoan seperti Robert Lewandowski, Zlatan Ibrahimovic, Mohamed Salah, Sadio Mane, Son Heung-min, atau Harry Kane.
Maka ketika pelatih sekaliber Alberto Zaccheroni tiba-tiba mengapungkan nama Romelu Lukaku dan Franck Kessie dalam daftar pemain dengan “kemampuan layak Ballon d’Or”, kita seperti tersadar, betapa semesta sepak bola sangat kaya untuk tidak terpaku pada deret bintang “arus utama”. Ada makhluk-makhluk penakluk yang tak seharusnya luput dari percaturan dan jangkauan mdia.
Dengan enam trofi Ballon d’Or untuk Messi dan lima untuk Ronaldo, “penyusupan” Luka Modric pada 2018 sedikit mencairkan kebekuan, meskipun setahun kemudian trofi kembali lagi ke Messi. Tahun 2020, ketika kontestasi Ballon d’Or ditiadakan karena pandemi covid-19, produktivitas gol Lewandowski tersubstitusi oleh trofi setara sebagai Pemain Terbaik FIFA.
Dominasi dalam lebih dari satu dasawarsa itu mengindikasikan dua hal. Pertama, baik Messi maupun Ronaldo secara konsisten terbukti mampu merawat performa fisik dan bakat, sehingga bisa bertahan di maqam utama. Terbukti pula talenta-talenta yang mendekati kemampuan dua maharaja memang belum ada, termasuk dalam diri Neymar maupun Mbappe sekalipun.
Kedua, performa yang betul-betul eksepsional untuk masuk ke orbit “alien” belum dicapai oleh mereka, yang sudah antre di lapis kemampuan seurat di bawah Messi dan Ronaldo. Lapisan itu baru membentuk barisan pemain “luar biasa”.
* * *
PARAMETER yang melejitkan manusia-manusia langka itu ke orbit “alien” memang tidak mudah. Syarat eksepsionalitas dari bakat dan karunia tak sembarang pemain memilikinya. Dari realitas pendekatan ini, boleh jadi kita masih harus menunggu pematangan mutiara-mutiara Dario Sarmiento, Thiago Almeda, Reinier, Ansu Fati, Erling Haaland, atau Phil Foden.
Eksepsionalitas yang tersaji di liga-liga dunia saat ini, belum mengapungkan “mahakarya performa” yang akan abadi dikenang. Aksi-aksi Jack Grealish, Calvert-Lewin, dan Mason Mount memang sudah menjadi sihir baru di Liga Primer. Sepak terjang Haaland sudah membuat heboh Bundesliga, sama dengan produktivitas dan pengaruh yang kini dicapai oleh Romelu Lukaku di Serie A, termasuk peran penting Kessie untuk orkestrasi AC Milan. Tetapi cukupkah reputasi itu menjadi parameter untuk meraih trofi pemain terbaik sejagat?
Acungan jempol Zaccheroni untuk Lukaku dan Kessie tentu bukan sembarang pujian untuk mempromosikan calon peraih trofi Ballon d’Or 2021. Ada alasan-alasan argumentatif yang mengusik tanggung jawab seorang pelatih, seperti ketika Calhanoglu mati-matian dipertahankan oleh AC Milan. Barang tentu pula tak sembarang skill dan pengaruh yang melekat pada para pemain yang (walaupun) tidak pernah berjajar di orbit “alien”, bahkan dalam kelompok “luar biasa” itu.
Andai ada “sedikit ruang” yang memberi “tempat” kepada pemain sekelas Lukaku, setidak-tidaknya dalam deret pengakuan nominee, betapa wilayah kelangkaan makhluk-makhluk sepak bola itu bakal makin meluas, tak terpaku pada dua maharaja yang bertahta dalam lebih dari satu dasawarsa.
Sejak digaet dari Anderlecht dan berlabuh di Chelsea (2011-2014), Romelu Lukaku kehilangan sentuhan magisnya, sehingga sempat dipinjamkan ke West Bromwich Albion dan Everton. Dia kembali menemukan sinar ketika dipermanenkan oleh The Toffees, sehingga Manchester United pun tergiur merekrutnya pada 2017-2019. Namun di Old Trafford, baik di bawah arahan Jose Mourinho maupun Ole Gunnar Solskjaer, ia mengalami kemandekan sebelum akhirnya didatangkan ke San Siro.
Lalu bagaimana pemain berjejuluk The Lawyer itu bisa menemukan lagi kehebatannya di Internazionale Milan?
Bersama Inter, dengan penuh konfidensi, Lukaku menjadi penentu demi penentu. Antonio Conte sangat memercayai striker raksasa asal Belgia itu. Pelatih nyentrik yang ekspresionis itu mengembalikan Lukaku ke habitat langka kemakhlukan sepak bola.
Dan, bukankah terbukti, kini ia menjelma sebagai monster yang siap melukai gawang lawan mana pun? Lukaku akan menjadi lukamu…