Oleh M Muqorrobin Thoha
Kehidupan toleransi antar umat beragama, etnis, suku dan ras yang berbeda-beda di Indonesia menjadi daya tarik terendiri bagi bangsa lain. Pluralisme sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Konsep pluralisme telah berabad-abad diterapkan di Indonesia bahkan sebelum Indonesia merdeka. Menurut KH Abdurrahman Wahid, kebhinekaan dan plurlisme sudah sejak tujuh abad yang lalu tertanam di bumi Indonesia.
Kemudian digali oleh Bung Karno dan para founding fathers lainnya menjadi rumusan Pancasila yang menjadi dasar dan falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang memiliki etnis, ras, suku, budaya dan agama yang berbeda-beda.
Oleh karenanya kehidupan plural merupakan pola hidup genuine dari rakyat Indonesia. Sikap saling menghormati, tenggang rasa dan hidup tolong menolong serta gotong royong sudah menjadi budaya adiluhung yang tetap lestari hingga saat ini.
Dalam kehidupan yang plural, etnis, suku, budaya dan ras serta agama yang berbeda-beda, di Indonesia semuanya memiliki kedudukan hukum yang sama dan tidak ada perbedaan dalam masyarakat yang menjunjung nilai-nilai pluralisme.
Dilansir dari buku Kamus Sosiologi, tulisan Agung Tri Haryanto dan Eko Sudjatmoko, pluralisme adalah kondisi masyarakat yang majemuk berkaitan erat dengan system sosial dan politiknya.
Secara luas, pluralisme merupakan paham yang menghargai adanya perbedaan dalam suatau masyarakat dan memperbolehkan kelompok yang berbeda tersebut untuk menjaga keunikan budayanya masing-masing.
Selain itu dalam konsep pluralisme kelompok-kelompok yang berbeda memiliki kedudukan yang sama. Tidak ada yang mendominasi maupun menguasai antar kelompok.
Dari sikap hidup masyarakat yang plural ini maka akan tumbuh sikap toleran, saling menghormati satu sama lainnya. Toleransi merupakan kesediaan untuk mengakui, bahkan menghargai keberadaan orang atau kelompok lain dalam keberlainannya.
Kehidupan yang toleran inilah yang pada akhirnya menumbukan corak kehidupan yang plural di Indonesia. Pluralisme memerlukan kemampuan untuk menerima perbedaan.
Konsep Pluralisme
Jadi yang perlu ditekankan dalam konsep pluralisme adalah kesediaan dan kemampuan psikhis untuk hidup berdampingan dengan orang atau kelompok yang berbeda suku, ras, adat, budaya, agama, etnis dan lain-lain.
Pelajaran dari Buntu
Buntu, ya mungkin sebagian dari kita belum mengenal Desa Buntu.
Desa yang terletak di kaki Gunung Sindoro, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah itu memiliki daya tarik dan pesona tersendiri soal pluralisme. Kehidupan toleran, saling menghormati, menghargai adanya perbedaan kehidupan beragama dan budaya sangat dijunjung tinggi di Desa Buntu ini.
Desa Buntu yang berada diketinggian 2000 M dpl memiliki pesona alam yang indah, seindah masyarakatnya yang hidup tentram dan damai dalam bingkai kebhinekaan.
Di Desa Buntu yang berpenduduk sekitar 3000 jiwa terdapat pemeluk agama yang berbeda-beda yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha dan aliran kepercayaan.
Terdapat tempat peribadatan berupa Masjid, Gereja, dan Vihara. Menurut Paskalis Suwardi, tokoh pemuda Katolik setempat terdapat 25 KK penduduknya beragama Budha, 60 KK Katolik, dua KK Protestan dan selebihnya menganut agama Islam. “Semuanya hidup rukun dan damai, bahkan rumah saya dikelilingi umat Muslim, kami merasa terlindungi,” katanya.
Uniknya ketika umat Muslim mengadakan pengajian atau tahlilan pada malam Jum’at, saudara-saudara mereka yang beragama non Muslim juga mendapatkan kiriman berkat atau makanan dari keluarga Muslim yang punya hajat.
Kehidupan yang harmonis tidak saja pada hal-hal kemasyarakatan, dalam hal pembangunan tempat peribadatan semua pemeluk agama bergotong-royong ikut membangun tempat ibadah mereka.
Soal kerukunan dan toleransi umat beragama dituturkan Juwandi, Ketua BPD Desa Buntu, “Di Desa kami kehidupan beragama sangat harmonis dan rukun warganya, terbukti jika salah satu dari umat beragama membangun masjid misalnya, umat agama lain dengan sendirinya akan membantu tanpa diperintah, memang berangkat dari hati nuraninya sendiri.” katanya.
Juwandi yang juga Komandan Banser NU, mengakui kalau kehidupan toleran dan plural di Desanya sudah turun temurun dari dulu. Rumah saya dikelilingi umat beragama Kristen Protestan, Katolik, Budha, dari ormas keagamaan ada NU, Muhammadiyah, MTA semua saling hidup rukun, menghormati dan menghargai.
“Ketika kami sholat taraweh pada bulan Ramadhan misalnya pemuda agama lain yang menjaga tempat ibadah kami, bahkan mereka ronda keliling Desa untuk menjaga keamanan dan kehusuan beribadah. Demikian juga ketika umat beragama Budha atau Kristen merayakan hari besar agamanya kami dari Banser NU dan Kokam Muhammadiyah yang menjaga Gereja atau Vihara mereka,” ujarnya.
Laboratorium Kebhinekaan
Karena keunikan dan kehidupan yang plural dan toleran di Desa Buntu inilah, menarik perhatian berbagai kalangan dari akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama yang studi banding dan mengadakan penelitian ke Desa yang pendudukanya mayoritas mengandalkan hasil pertanian.
Laboratorium Kebhinekaan
Juwandi menuturkan, tim dari BPIP Jakarta pada Kamis, 4 Maret 2021 lalu berkunjung ke Desa Buntu untuk melihat langsung kehidupan masyarakatnya yang hidup rukun, toleran dan plural.
Dari hasil kunjungan tim BPIP akan dijadikan bahan untuk nantinya pola dan system kehidupan masyarakat Desa Buntu yang plural dan toleran diadopsi ke daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Dari kalangan akademisi dan tokoh agama yang telah melihat langsung kehidupan harmonis di Desa Buntu diantaranya adalah Dr H Zastrow al Ngatawi, ajudan Presiden Gus Dur, yang telah berkunjung ke Desa Buntu serta akademisi dari Undip Semarang yang sudah mengadakan penelitian di Desa Buntu.
Dari hasil kajian terebut mereka merekomendasikan Desa Buntu layak untuk dijadikan sebagai Desa Laboratorium Kebhinekaan Indonesia. Karena pluralisme dan toleransi kehidupan keagamaan tumbuh subur di sana.
Bahkan tim LP2M (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) dipimpin Dr H Arif Junaidi, MAg dan M Rikza Chamami, MSi, UIN Walisongo Semarang pada 9 Maret 2021 lalu siap menjalin kerjasama dengan Pemkab Wonosobo untuk melakukan penelitian dan KKN di wilayahnya salah satunya di Desa Buntu Kejajar.
Bupati Wonosobo H Afif Nurhidayat menyambut baik kerjasama tersebut untuk memajukan Wonosobo dalam membangun kebhinekaan dan pluralisme masyarakatnya.
Salah satu bentuk kebhinekaan yang menonjol di Desa Buntu diantaranya soal pendidikan anak-anak Buntu dan resolusi konflik dengan penyelesaiannya yang elegan. Menurut Juwandi di Desa Buntu tidak pernah terjadi konflik soal agama, kalau pun ada konflik itupun diluar wilayah keagamaan,”Kami biasa menyelesaikan dengan cara kekeluargaan,” katanya.
Yang menarik soal pendidikan, di Buntu terdapat Lembaga Pendidikan TK dari NU dan Muhammadiyah yang murid-muridnya berasal dari anak-anak beragama, Budha, Kristen Katolik, Protestan dan aliran kepercayaan.”Kami tidak memaksakan mereka harus memakai jilbab,” ujar Juwandi.
Bahkan anak-anak non muslim yang sekolah di sekolah TK NU dan Muhammadiyah mereka dengan senang hati ikut menghapalkan doa-doa dan ayat-ayat pendek. Di sini sudah tertanam sejak kecil pemahaman soal toleransi dan tidak ada paksaan soal agama dan keyakinan warganya.
Desa Buntu memang layak dijadikan percontohan dan pilot projek Laboratorium Kebhinekaan. Ditengah derasnya arus radikalisme yang menafikkan perbedaan dan toleransi, pola kehidupan masyarakat Desa Buntu sangat pantas untuk dijadikan pelita yang akan menerangi bangsa Indonesia yang hidup rukun penuh dengan toleransi antar etnis, budaya, suku, ras dan agama yang berbeda-beda.
M Muqorrobin Thoha, Ketua Pembina Yayasan Muhammad Isa serta Pengasuh Pondok Ngaji dan Majelis Ta’lim H Dahlan, Yayasan Masjid Al Manshur Wonosobo.