SEMARANG (SUARABARU.ID)– Pemerintah Kota Semarang harus segera mengambil sikap, atas bencana banjir yang terus saja terjadi. Semarang sudah dianggap darurat banjir, karena land subsidence atau penurunan tanah.
Hal itu seperti yang disampaikan Ketua Lembaga Advokasi Indonesia Raya dan Pengamat Properti, Wahyu Puji Widodo, di Semarang, Rabu (24/2/2021).
Disebutkannya, penurunan tanah di Kota Semarang akibat infrastruktur raksasa yang tidak melalui kajian serius, dan berdampak dengan amblesnya tanah hingga mengakibatkan banjir.
BACA JUGA: Sudah Sepekan Lebih, Korban Hanyut di Sungai Galuh Belum Berhasil Ditemukan
”Pemkot Kota Semarang harus segera berpikir runtut, logis dan masuk akal, dalam mengidentifikasi masalah, serta segera merumuskan solusinya. Jangan cuma kaget saja,” ungkap Wahyu.
”Ini bisa diantisipasi kok. Data dari lembaga konsorsium water management Semarang, yang diterbitkan pada 2020 lalu, daerah Kaligawe mengalami ambles 10 cm setiap tahunnya,” terang dia.
Menurut Wahyu, faktor lainnya adalah karena ekstraksi air tanah dan pembebanan bangunan. ”Kerusakan lingkungan di kawasan resapan air daerah atas seperti Mijen, Ngaliyan, Gunungpati, dan Banyumanik, sebagai akibat tumbuhnya perumahan dan kawasan bisnis, berdampak serapan air menjadi berkurang jauh. Akibatnya air mengalir ke parit-parit yang tidak memadai. Selain itu yang juga harus diperhatikan, izin perubahan tata ruang perlu dievaluasi lagi,” sentil dia.
BACA JUGA: Tanah Ambles di Giritontro Wonogiri, Prediksinya Karena Pelapukan Batuan
Ditambahkan dia, reboisasi yang dikerjakan harus diimbangi dengan pengawasan terhadap penataan tata ruang. Jangan sampai pembangunan perumahan-perumahan yang belum berizin tumbuh berkembang dan dibiarkan semaunya.
”Di UU No 1 Tahun 2011 tentang perumahan sudah mengaturnya. Namun fungsi pengawasan dan penindakannya masih lemah. Jangan pernah menyalahkan alam. Hujan ya begitu, kadang besar kadang kecil,” lanjutnya, sembari menyebut faktor antropodemik, yaitu faktor yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia, juga harusnya menjadi renungan semua pihak.
Dipaparkan juga olehnya, pengendalian dengan pompa juga lemah, itu hanya solusi sesaat. ”Lha wong air kok tidak diserap, dialirkan semua. Kalau sudah tidak muat ya tumpah, jadi banjir,” urai Wahyu.
BACA JUGA: Banjir Bandang Kembali Landa Desa Sumberejo, Mengapa Terus Saja Terjadi ?
Dia juga menyebutkan, ini akibat lemahnya pengawasan Pemkot atas kawasan pembangunan dan daerah resapan di Kota Semarang
”Ketergantungan pada air tanah relevan dengan pengelolaan banjir. Karena pengambilan air tanah yang berlebihan, dapat menyebabkan amblesan tanah. Itu berdampak pada peningkatan risiko banjir,” tukas Wahyu.
Hal itu seperti perubahan tata guna lahan yang terjadi di Panggung Lor, Panggung Kidul, dan Terboyo, yang berperan meningkatkan risiko banjir. ”Semula kawasan itu adalah tempat resapan air, tetapi sekarang telah berubah menjadi daerah perumahan dan industri,” tambahnya.
BACA JUGA: Ganjar Cek Penyebab Banjir di Kompleks Kantor Gubernur
Disarankan dia, apabila air tanah memang harus digunakan, harus ada pengendalian. Kawasan industri diharapkan untuk mengelolanya. Artinya, bukan pihak penyewa yang mengambil air tanah sendiri-sendiri. Pengambilannya mesti dilakukan pengelola, untuk kemudian didistribusikan kepada para penyewa.
Dikhawatirkan, pengambilan air tanah secara serampangan oleh pelaku industri, akan mempercepat penurunan tanah. Ditambah lagi, siklus hujan lebat 50 tahunan juga menjadi salah satu penyebab banjir di Semarang. Menurut hitungan hidroligi, periode ulang 50 tahun harus disikapi dan diantisipasi
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik, Pudjo Rahayu menyampaikan, suka atau tidak suka, Kota Semarang memang berpotensi terjadi penurunan tanah yang luar biasa. Yang tadinya hanya 10 cm per tahun, berubah menjadi 15 cm per tahun, dan terakhir menjadi 18 cm per tahun.
BACA JUGA: Lama Buron, Pencuri Motor Diringkus
Untuk itu, kejar-kejaran antara fenomena alam dalam hal ini air, akan berhenti di suatu daerah yang rendah. Dan posisi ini gampang sekali ditemui di Kota Semarang. Apalagi perawatan terhadap pompa air juga menjadi problem tersendiri.
”Budaya kita, ketika sedang tidak banjir pompa-pompa tidak berfungsi, karena memang tidak banjir. Namun akan dipakai ketika banjir datang. Disinilah problem monitoring dan kontrol terhadap pompa air perlu ditingkatkan. Baik dari aspek sarananya dan juga SDM,” jelas Pudjo.
Ditegaskannya, dengan penurunan tanah yang terus berlanjut, akan mengakibatkan semakin berakhir atau menurunnya tingkat kenyamanan tinggal di Kota Semarang ini.
Ning-Riyan