blank
Ilustrasi. Foto : SB/dok

Oleh Dr KH Muchotob Hamzah MM

blank
Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo, Dr KH Mukhotob Hamzah, MM. Foto : Muharno Zarka

Terma “ulama” ada pada hadits sahih “العلماء ورثةالانبياء”. Artinya, ulama adalah pewaris para nabi (Al-Asqalani, Al-Fath, I/83). Hadits sahih senada (Tirmidzi, no 2681; Ahmad 5/169 dll.). Wiratsah/tirkah tersebut kata Nabi SAW adalah Al-Qur’an dan Sunah (HR. Imam Malik, sahih lighairih).

Pengertian “ulama” dalam Al-Qur’an (QS. 35/28) telah dijelaskan dalam hadits di atas. Yaitu mereka yang takut kepada Allah SWT. dan alim terhadap tirkah (peninggalan)-nya. Kenapa alim tentang tirkahnya?

Karena Nabi SAW tidak meninggalkan warisan ditail-ditail dunia sainstek, bentuk, tatanegara-pemerintahandan sebagainya. Al-Qur’an dan sunnah hanya menjelaskan pokok-pokoknya saja.

Metode, mekanisme, adat dan tekniknya diserahkan kepada umatnya “Antum a’lamu bi umuuri dunyaakum” (Muslim no 4358). Untuk tidak mengarah kepada sekularisme, “semua hal yang baru (bid’ah) dan tidak dicontohkan/diktum dari Rasulullah SAW tidak boleh bertentangan dengan sumber syariah, dan begitu sebaliknya” (Imam Syafii, Hasyiyah I’anatuttalibin, I/313).

Selanjutnya rumus: alim agama + takut Allah = Ulama. Lalu, Imam Al-Ghazali mendistingsi ada orang alim agama tetapi buruk akhlak dan disebut ulamaa’suu’. Untuk yang ini bisa disimplifikasi sebagai profesor/pakar dst.,tetapi bukan sebagai ulama.

I. Ulama’ Waratsatul Anbiya’

Ulama harus menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber istinbath baik langsung atau tidak langsung. Jika keluar dari itu, ulama tidak mengakuinya. Meskipun begitu, ikhtilaf di antara mereka tetap terjadi baik disebabkan oleh nash, naz’ah maupun bi’ah.

Perbedaan itu telah terjadi sejak masa Nabi SAW. Salah satu contohnya tentang perintah untuk tidak salat dhuhur dan/ashar kecuali di kampung Bani Quraidhah (Al-Asqalani, Alfath, no 4119; Muslim no 1770).

Terhadap diktum itu, ada sahabat yang salat dulu baru berangkat (tafsir kontektual), ada yang cepat berangkat dan salatnya di kampung Bani Quraidhah (tafsir tektual). Kedua metode tersebut terbukti tidak ada yang disalahkan oleh Rasulullah saw.

II. Lahirnya Kemadzhaban

Sebagai pemimpin agama, negara, imam keluarga, panglima perang, hakim dst. Nabi SAW tidak menjelaskan konstruksi hukum dengan detail khususnya tentang ibadah ghairu mahdhah.

Para Mujtahid-lah yang mengkonstruk hukum dari Al-Qur’an, Sunnah, pemahaman sababat, tabiin dan tabiittabiin. Nabi SAW memberi contoh-contoh, tanpa mengkategorikan ditail hukum perbuatan ini wajib, ini sunah, ini mubah, ini makruh dan ini haram.

Diktum apapun dalam al-Qur’an ataupun hadits tidak selalu bisa dipahami kecuali secara komprehensip-holistik dengan segala instrumennya.

Salafussalih dari para sahabat adalah ulama’ tetapi mereka umumnya juga pejabat dan profesi lain yang tidak fokus tafaqquh fiddiin. Baru salafussalih kalangan tabiin, lalu tabiittabiin ada Imam Hanafi, imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali yang diakui dunia sebagai Mujtahid Mutlak.

Mereka diakui sebagai “ahla ad-dzikri” tempat kaum muslimin bertanya (QS.21: 7). Memang mereka tidak maksum, tetapi orang berakhlaq.

Sehingga antar mereka saling merendahkan dirinya dengan berbagai ungkapannya. Maka tanpa disuruh-suruh, kaum muslimin memilih mereka sebagai orang “ahli” karena Nabi saw. wanti-wanti jangan menyerahkan perkara pada bukan ahlinya” (Bukhari no 6015).

Lalu apakah bermadzhab tidak berarti mempercayai orang yang tidak dijamin kebenarannya? Ya. Kalau mau jaminan seperti itu, kita tidak bisa beragama.

Karena kita semua juga percaya pada orang yang bukan nabi. Contoh: hadits Bukhari 6015 di atas sahih, kata imam Bukhari. Apa imam Bukhari pasti benar? Kita percaya hanya karena beliau ahlinya seperti saya percaya kepada dokter saya.

Bagaimana dengan aliran tanpa madzhab? Tidak mengapa asal dia diakui keahliannya oleh orang ahli bahwa dia ahli, dan memiliki syarat moralitas. Ibaratnya jangan pernah operasi perut kepada selain dokter bedah. Tetapi juga jangan tanya hadits kepada bukan ahlinya.
Wallaahu A’lam bis-Shawaab!!

Penulis Dr KH Muchotob Hamzah MM, Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo