blank

Ringkasan Cerita Lalu:

Atas perintah Bhre Wirabhumi, pasukan Kerajaan Timur pimpinan Senapati Bandang Segara napak tilas, mencari keberadaan Bhre Maharsha hidup atau mati. Sementara Bhre Maharsha yang mengaku bernama Arya Pandan telah menemui pimpinan Padepokan Gelagah Abang untuk minta perlindungan. – red. 

“Oh, mohon ampun atas kesalahan saya. Mohon perlindungan agar pasukan Kerajaan Timur tidak menemukan saya di padepokan ini.”

Arya Pandan mencium tanah, lantas tangannya mencari-cari tangan tua dan kurus Ki Dhamarjati. Ketika hendak mencium tangan itu, Ki Dhamarjati mengibaskannya.

“Lindhuuuuu ! Lindhuuuu !!!!”

Dalem, Ki Guru??” Tergopoh-gopoh Lindhujati kembali menuju ke paseban.

“Antar Kisanak ini pada Kembang Manggis. Suruh membawanya ke tempat biasanya.”

Injih, Ki. Ayo, Kisanak!”

Tanpa banyak kesempatan untuk kembali memberi rasa hormat kepada Ki Dhamarjati, Arya Pandan mengikuti cekalan tangan Lindhujati menuju jalan belakang padepokan besar.

Suasama menjadi tergesa-gesa, karena tidak lama kemudian, Lindhujati mengawal Arya Pandan dan Jayeng ke sebuah tempat agak gelap sambil berkata: “Tunggu sebentar di sini, Kembang Manggis akan menemuimu.”

Lantas dengan tergopoh-gopoh Lindhujati dan kudanya kembali menuju ke regol depan padepokan. Tubuhnya meloncat ke punggung kuda, sembari meneriakkan aba-aba agar sang kuda berlari kencang ke regol paling depan. Sebagaimana murid kepercayaan yang lain, Lindhujati memiliki ilmu linuwih yang bisa mengendus kejadian berikutnya. Ketika lima pasukan berkuda yang lain turut mengawal, Lindhu telah merasa, akan ada tamu tak diundang. Hal yang sudah biasa terjadi, pasukan Kerajaan Barat maupun Kerajaan Timur Majapahit, sering bertandang tanpa memberi tahu terlebih dahulu.

Dugaannya tidak keliru. Agak jauh dari regol, berpuluh kuda dan pasukannya telah berjajar. Kuda paling depan adalah Senapati Bandang Segara, diikuti hampir seratus prajurit berkuda di belakangnya.

Lindhujati dan beberapa pengawal mundur agak selangkah, ia terlebih dahulu turun dari kuda disusul yang lain. Tidak lama kemudian Bandang Segara ikut turun, mereka saling menghampiri. Kini Lindhujati dan Bandang Segara telah berhadap-hadapan pada jarak hanya beberapa langkah.

Terlebih dahulu Lindhujati menyapa sambil menangkupkan kedua telapak tangannya.

“Nuwun sewu Kanjeng Senapati. Adakah yang bisa saya bantu terhadap kedatangan para tamu ini di Padepokan Gelagah Abang?”

Senapati Bandang Segara tidak langsung menjawab. Ia amati beberapa pengawal di depannya seperti menyelidik. Dengan kata-kata yang datar dan berwibawa, Bandang Segara berucap, “Terimakasih kami diterima dengan baik oleh para Adhimas. Kami dari Kerajaan Timur Majapahit, ingin bertemu pimpinan padepokan malam ini.”

Lindhujati mengangguk. Dengan ramah mempersilakan rmbongan pasukan memasuki regol. “Ki Guru sudah menanti kerawuhan para prajurit sejak tadi, silakan.”

Tanpa berkata-kata, mereka menaiki kuda mengikuti jalan yang dipandu Lindhujati.

Malam semakin pekat, bebunyian hewan malam sepanjang kiri-kanan jalan kian menjadi. Setelah agak jauh menuju ke padepokan utama, sampailah mereka ke tempat yang dituju. Senapati buru-buru memberi aba-aba pasukan agar tidak melanjutkan langkah, ketika Ki Dhamarjati terlebih dahulu sudah berdiri menghadang rombongan.

Tidak ada seorang prajurit pun yang kini masih menunggang kuda. Mereka turun dari kuda, memberi salam hormat pada orang tua itu.

“Selamat malam, Ki Guru Dhamarjati Wasesa,” kata Senapati Bandang Segala sambil maju menghampiri. Memberi salam dengan merapatkan kedua telapak tangannya sambil merendahkan tubuh. Serta-merta Ki Dhamarjati menarik kembali posisi Senapati Bandang Wasesa.

“Saya utusan Kerajaan Timur, Ki Guru. Kedatangan kami mencari Bhre Maharsha, Senapati muda kami yang tertinggal dari rombongan perang.”

“Apa yang bisa saya bantu untuk tugas mulia itu, Senapati gagah perkasa? Hari sudah sangat malam, istirahatlah barang sebentar.”

“Mohon kami diberitahu jika Ki Guru pernah melihat Senapati kami. Atau kalau menemukan mayatnya di wilayah ini, izinkan untuk kami bawa pulang ke kerajaan.”

“Rupanya sudah tidak banyak waktu ya untuk sejenak beristirahat. Kalau begitu perintahkan para prajurit untuk mencari Senapati yang Adhimas maksud. Anak-anak padepokan akan membantu.”

Mendengar kata-kata Ki Dhamarjati, Senapati Bandang Segara seperti mendapat perintah. Ia pun mengajak seluruh prajurit mencari Bhre Maharsha ke lorong jalan dan bangunan padepokan. Satu persatu tempat dimasuki, siapa saja yang berada di sana ditanya. Didampingi Lindhujati dan beberapa pengawal, Senapati Bandang Wasesa ikut menyusuri jejak yang ada.

Sampai kemudian Bandang Wasesa menunduk ke tanah, tangannya meraba lekuk tanah seperti bekas pijakan  kuda.

“Bagaimana Kanjeng Senapati?” Lindhujati bertanya.

“Lekukan tanah ini sepertinya bekas injakan kaki kuda. Telapak kaki kuda yang besar dan kuat, yang hanya dimiliki oleh pasukan kuda kerajaan.”

Senapati Bandang Segara masih mengendus tanah dan memilin-milin butiran lempungnya.

“Siapakah yang Kanjeng Senapati maksud?”

“Mungkin padepokan ini pernah disinggahi prajurit kerajaan, baik dari Barat maupun Timur. Benarkah?”

Lindhujati semakin benyali ciut, karena ia paham apa yang dimaksud Senapati Bandang Segara. Lekuk tanah yang sedang diamati itu, sebenarnya memang bekas pijakan kaki Jayeng, kuda tunggangan Arya Pandan. Tentu ia tidak ingin mengatakan yang sesungguhnya, mengingat Arya Pandan malam ini juga sedang bersama Kembang Manggis bersembunyi di tepi sungai Kopen. Letaknya di lembah perbukitan dukuh sebelah.

“Apakah yang Kanjeng Senapati maksud itu jenis telapak kuda yang terbiasa menempuh perjalanan jauh dan kuat menyangga beban?”

“Ya, sejenis kuda peranakan dari pulau timur yang memiliki padang sabana luas. Kerajaan Majapahit di masa kepemimpinan Raja Hayamwuruk telah menangkar kuda-kuda ini untuk persiapan perang. Tidak mungkin dimiliki oleh rakyat biasa.”

“Tapi ini kuda padepokan. Ki Guru Dhamarjati Wasesa mendapat hadiah dari Kerajaan Barat, ketika Prabu Wkramawardhana melintas hutan dan mendapati padepokan kecil ini.”

“Di manakah kuda itu sekarang?”

“Ki Guru tidak memperbolehkan kuda tersebut ditempatkan di dalam padepokan. Bersama kuda yang lain, kuda itu berada di sebuah tempat biasa untuk berlatih. Tempatnya berada di lereng bukit sana.”

“Ini jenis kuda yang bagus, Adhimas. Keturunan kuda-kuda zaman Kerajaan Samawa pimpinan Maja Paruwa dari Dinasti Awan Kuning.”

Memang akhirnya tidak mendapatkan siapa yang dicari. Senapati bersama pasukannya meninggalkan Padepokan Gelagah Abang, dengan rasa takzim. Rombongan pasukan berderak, meninggalkan padepokan menuju ke pencarian yang lain.

Setelah rombongan tamu tengah malam tak tersisa, Ki Dhamarjati Wasesa mengelus dada, sambil memerintahkan Dhanurjati agar membawa tubuh ringkihnya ke peristirahatan.

“Sangat melelahkan kedatangan tamu-tamu agung itu. Orang-orang istana itu tak pernah menikmati kebahagiannya. Yang dilakukan hanya bertikai dan memburu kehormatan,” ucap Ki Dhamarjati lirih.

***

Sudah sepertiga malam ketika Arya Pandan dan Kembang Manggis tiba di tepian sungai besar di lembah pegunungan dukuh sebelah. Sungai Kopen ini merupakan tempat para murid padepokan berlatih kuda di malam hari. Di kiri-kanan sungai terhampar pohon beranting-ranting, namun di musim kemarau sungai tidak memuntahkan air besar dari gunung. Sepanjang sungai bertebaran batu-batu besar yang bisa dilompati kuda. Jumla batu itu tak terhitung dan lumayan besar.

“Hendak ke manakah kita, Manggis?” hardik Arya Pandan yang menunggangi Jayeng di belakang kuda Kembang Manggis.

“Sebentar…,” jawab Manggis sambil masih memacu kudanya menuju ke tengah sungai. Ia baru berhenti k ketika ada batu besar seukuran anak gajah, kemudian dilompatinya. “Tempat ini telah menyelamatkanmu dari kejaran pasukan kerajaan,” sambungnya.

“Sampai kapan kita di sini?”

“Sampai terdengar suara titir dari jauh dari sebagai tanda pasukan kerajaan telah meninggalkan padepokan.”

“Kenapa harus di tempat ini?”

Masih dengan menaiki kuda, Manggis membelokkan arah kudan menghadap Arya Pandan.

“Di padepokan tak ada persembunyian? Prajurit kerajaan sangat ahli mengendus keringat orang yang diburu.”

“Kenapa kau lebih tahu daripada aku? Ups !” Tiba-tiba Arya Pandan menutup sendiri mulutnya dengan tangan. Memang seharusnya dia tidak mengatakan itu.

“Tidak usah menutup-nutupi, aku sudah tahu kalau sebenarnya kau seorang senapati.”

Lemas seluruh persendian Jaka Pandan. Sebenarnya ia hanya ingin diketahui sebagai Arya Pandan saja di padepokan. Ketika cukup lama terlongong, Kembang Manggis menghardiknya.

“andaaan !!” pekik Manggis.

“Oh, ya .. ya…??”

“Suruh menepi kudamu, kita akan berlatih dengan satu kuda saja.”

“Sekarang?”

“Sebentar lagi terang tanah, terlalu terang bagi untuk berlatih. Cepatlah !”

“Oh, baik.”

Arya Pandan langsung menuruni tubuh Jayeng sambil berkata, “Larilah ke tepi sungai dan jangan pergi. Ayo !”

Dengan ringkikan kecil, Jayeng melompat jauh ke pinggir sungai. Kini tinggal Arya Pandan sendirian berdiri di atas batu.

“Di situ saja, aku akan menghampiri,” perintah Kembang Manggis sambil menarik tali kudanya hingga melompat jauh dari batu ke batu menuju ke Arya Pandan. Belum sempat Arya Pandan berbuat apa-apa, kuda telah sampai di tempatnya. Serta-merta tangan Kembang Manggis telah merengkuh kuat tubuhnya, hingga akhirnya menaiki kuda.

“Menggiiisss !!!”

Arya Pandan terkesiap kaget. Kembang Manggis malah tertawa.

“Betulkah kau yang akan berada di depan dan aku memboncengmu di belakang?”

Seperti tak terkendala oleh air sungai, kuda Kembang Manggis melompati batu-batu besar itu dengan lincahnya. Lompatannya sangat kuat, sampai kedua tubuh si penunggang kerap berguncang.

“Ufffh !!! Manggisss, bagaimana ini tanganku?  Aku butuh pegangan.”

“Lingkarkan tanganmu di perutku. Sebentar lagi kita terbang …”

Dan memang benar kata Kambang Manggis, kuda itu benar-benar setengah terbang. Melompat tinggi dari batu satu ke batu berikutnya, tanpa menyentuh air sungai sama sekali.

Arya Pandan tidak bisa berkata-kata. Baru kali ini merasa sangat ketakutan di atas kuda. Sudah beberapa kali tubuhnya seperti hendak lepas dari tunggangan. Kembang Manggis seperti ingin menunjukkan keaahliannya berkuda di malam hari. Dalam kegelapan, dimainkannya gerakan melompat yang kuat dan melangkah secara tepat.

“Seorang Senapati tidak seharusnya ketakutan seperti ini. Benarkah kau seorang Senapati, Pandan?”

Arya Pandan tak ingin menjawab, kecuali memejamkan mata dalam-dalam dan menagkul perut Kembang Manggis yang tipis dengan kencang.

“Pandan, Arya Pandan, tidurkah kau?”

 

 (Apakah nama jurus berlari gerakan kuda milik Kembang Manggis? Bagaimana mungkin kuda biasa  mampu berlari sepintar ini? Lantas siapakah Kembang Manggis yang sebenarnya – BERSAMBUNG )