SUATU kali Djo Koplak yang kerjanya sebagai wartawan mendapat undangan untuk mengikuti sebuah seminar di daerah Puncak, Jawa Barat. Dia berangkat bersama Pongkring, temannya, yang sama-sama juga datang ke seminar itu.
Mereka berangkat malam hari dari Semarang menuju ke sebuah hotel di Pacet, yang masuk daerah Cianjur. Dan, sudah menjadi kesepakatan nanti nyetirnya gentian. Harap maklum saja, ini peristiwa sudah terjadi lebih dari 10 tahun lalu. Ketika itu, jalan tol trans Jawa belum nyambung. Baru ada tol Kanci-Palimanan di Cirebon, kemudian ketemu tol lagi di Cikopo-Cikampek.
Ketika sampai Cirebon, Pongkring yang sedang setir bilang, “Aku mulai ngantuk, aku tidur dulu ya. Nanti kalau kamu ngantuk aku dibangunkan, aku gantian nyopir.”
Djo Koplak pun menggantikan setir mobil, dan bilang, “Kamu tidur di belakang saja lebih nyaman. Nggak masalah aku jadi sopir taksi.”
Ya, naik mobil sedan memang enak kalau di belakang. Pongkring pun lelap, Djo Koplak memang nyaman di belakang. Yang jadi alasan Djo Koplak pula, dia tidak melihat ada orang di sampingnya tidur, sehingga dia ketularan ngantuk.
Djo kemudian memacu kendaraan itu, dan kurang dari seperempat jam sudah mendengar Pongkring mendengkur. Singkat cerita, sampai Jakarta sekitar pukul 02.00 dinihari. Djo membangunkan Pongkring, untuk gentian setir.
“Aku gantian tidur ya,” kata Djo Koplak. Pongkring siap di belakang kemudian, dan Djo Koplak gantian duduk di kursi belakang. Mobil melaju lewat tol Jagorawi, kemudian keluar tol menuju jalur ke Puncak. Sesampai di kawasan Puncak yang penuh belokan itu, Pongkring rupanya kebelet kencing. Dia pun menghentikan mobil. Sementara Djo masih tidur.
Pongkring keluar dank arena jalan sepi, dia menyeberang kencing di kanan jalan. Djo tiba-tiba bangun, dan tahu mobil berhenti. Di keremangan dia lihat Pongkring lagi kencing. Diam-diam dia pun membuka pintu, karena juga kebelet kencing. Dia pun kencing di sisi jalan sebelah kiri.
Pongkring yang sudah rampung menyelesaikan hajatnya langsung balik ke belakang setir, dan langsung tancap gas. Sementara Djo yang di luar teriak-teriak, Pongkring tak mendengar. Pongkring mengira, Djo masih tetap tidur di belakang.
Pongkring melihat jam, ternyata sudah subuh. Kemudian ketika ada masjid di pinggir jalan dia berhenti. “Djo subuhan dulu yuk,” katanya. Tetapi tidak ada jawaban. Lalu ditengoklah kursi belakang, ternyata kosong.
Pongkring pun membuka ponselnya, ada beberapa miss called dari Djo. Dan ada SMS berbunyi, “Aku kok mbok tinggal nang kebon teh ki piye. Nguyuh ra delok-delok kanca?”. Ya, memang mereka kencing bersama di tanjakan sekitar kebun teh.
Pongkring pun menelepon Djo Koplak, dan menjemputnya kembali. Sementara Djo kedinginan di daerah Puncak yang jauh dari rumah penduduk, menunggu jemputan Pongkring.
Widiyartono R