blank

MENJELANG tahun ajaran baru Djo Koplak benar-benar pusing tujuh keliling. Anak pertamanya si Uplik masuk SMA tahun ini, sedangkan si Plenthong anak kedua naik kelas IV SD. Usai liburan nanti Plenthong ndadak minta tas baru dan seragam putih merahnya yang sudah berubah warna perlu diganti.

Djo Koplak bingung memikirkan dana untuk itu, pinjaman di koperasi kantornya masih banyak tidak mungkin dia mengajukan utang lagi. Djo berpikir bagaimana harus mendapat uang untuk keperluan itu. Suatu malam Djo Koplak duduk sendirian di teras rumah sambil klepas-klepus mengisap rokok. Dalam lamunan itu, muncullah ide-idenya muncul seketika.

Dia ingat kalau Jeng Minul, istrinya, ikut arisan kampung Rp 50 ribuan per bulan, dan belum pernah narik. Padahal jumlahnya lumayan ada sekitar Rp 700 ribu jika keluar. Djo pun meminta Jeng Minul melobi Yu Trumbul, istri Pongkring.

“Sudah pokoknya kamu minta tolong Yu Trumbul, dia kan yang pegang kopyokan. Rayu dia agar namamu keluar, kalau perlu dengan kompensasi,” anjur Djo Koplak.

Jeng Minul menuruti anjuran suami, lalu bersilaturrahmi ke rumah Bu Pongkring untuk membicarakan pengaturan arisan. Awalnya Yu Trumbul enggan mengabulkan permintaan itu, tetapi setelah tahu kesulitan Djo Koplak tampaknya tidak tega juga.

Arisan ibu-ibu yang dikopyok Hari Minggu sore, yang akhirnya keluar dengan nama Jeng Minul. Istri Djo tersenyum, wajahnya berseri-seri lantaran akan bawa pulang uang ratusan ribu rupiah. Sayangnya kalangan ibu-ibu PKK tadi ada yang kurang puas terhadap sistem kopyokan itu, karena yang narik selalu selalu orang-orang dekat Trumbul.

Bu Dai, salah satu peserta arisan curiga jangan-jangan ada pengaturan kopyokan. Tanpa ba bi bu lintingan yang ada di dalam stoples kecil diambil oleh Bu Dai, lalu dibuka satu-satu. “Di sini namaku ada apa tidak to, kok nggak keluar-keluar,” gerutu Bu Dai.

Betapa terkejut istri pemuka agama tadi, karena seluruh lintingan kertas yang dibuka hanya nama satu orang saja. Merasakan keganjilan seperti itu spontan Bu Dai bersuara lantang meluapkan kejengkelannya.

Karuan saja suasana di pertemuan ibu-ibu sore hari menjadi geger. Begitu sebaliknya gara-gara Bu Dai tadi kemudian muncul usulan agar kopyokan diulang.

Untung saja suasana dapat dinetralkan setelah mereka mendengar penjelasan dari Trumbul. Dia mengaku terus terang bahwa semua itu telah diatur lantar mengingat kesulitan yang dialami keluarga Jeng Minul.

Jeng Minul sendiri merasa malu tak terhingga gara-gara ulahnya diketahui banyak orang. Namun dia pulang tetap membawa uang arisan.

Rasa malu yang ditanggung Ginem akibat pengaruh Djo Koplak yang pecas ndhahe mikir biaya sekolah. Ada saja yang dilakukan Djo Koplak, termasuk cara julig atau curang.

Gigih Patiloran-wied