blank

blank

Oleh Amir Machmud NS

//… sampai kapan sepak bola mampu menepis// kekuasaan filsafat tebu// atas nama profesionalisme// tuntutan hanya tentang manis gula// setelah tercecap kau membuangnya// seperti tak menyisakan rasa// hari ini kau disanjung// esok kau bisa dirundung… (Sajak “Filsafat Tebu Sepak Bola”, 2020)

HANYA selevel itukah apresiasi profesional kita dalam menghargai manusia-manusia profesional, dengan filsafat tebu, cepat kau buang setelah kau cecap manisnya?

Bruno Fernandes, Mohamed Salah, atau Lionel Messi merasakan betul betapa minor harga kemanusiaan mereka, yang begitu mulia disanjung lalu begitu cepat berbalik dibanting bagai pualam berkeping-keping hancur membentur batu gunung…

Bukan hanya manajemen klub dan fans yang suka memperlakukan pemain dengan ekstremitas sikap seperti itu. Media, sebagai representasi suara publik, sering terseret dalam model penilaian instan yang kurang adil. Persepsi terkadang dipahami dangkal sebagai “yang tampak hanya pada saat itu”, tak memandang lingkup persoalan secara keseluruhan.

Seolah-olah Fernandes hanya boleh menjadi sosok sempurna dalam setiap laga, setelah dalam rentetan penampilannya mampu memperbaiki kinerja Manchester United. Mo Salah juga tak boleh salah. Penurunan (hanya) sedikit gol untuk Liverpool dalam satu musim dibandingkan dengan dua musim sebelumnya menjadi alasan dia boleh diberi muka masam. Atau Lionel Messi yang telah memberikan totalitas karier dan hidupnya untuk Barcelona begitu mudah dinilai “payah” karena kurang bersinar hanya dalam satu-dua laga.

O, betapa tipis batas antara pahlawan dan pecundang, betapa jahat labirin yang mendikotomikan peran dan kekurangan.

O, kejam nian ketidakadilan. Tak sedikitkah permakluman bahwa kehidupan manusia terikat oleh pusaran bioritmik: ada saat-saat dia hebat, ada saat-saat dililit “cakra” stagnan, pun ada saat dia bergerak dalam putaran roda bawah?

O, betapa rumit profesionalisme, yang hanya menghargai puncak-puncak performa, tak mau mengakui sumbangsih sebesar apa yang telah diberikan oleh mereka yang seakan-akan harus selalu berada di level yang sama.

Padahal pasang naik dan gelombang turun sejatinya adalah potret biasa dalam naik-turun kehidupan. Pancaran wajah “jagat besar” itu memantul dalam “jagat kecil” bernama sepak bola…

*   *   *

ADILKAH kegagalan Barcelona mempertahankan gelar La Liga pada musim ini seolah-olah harus disangga sebagai tanggung jawab Messi seorang?

Dari laga ke laga, terpujilah Messi. Tetapi simaklah, betapa suntuk aura “polos-imut” La Pulga kali ini. Sekali saja dia tidak tampil dalam performa sepadan, takkan berampun fans, para analis, dan media menggempur. Berlakulah ketidakadilan, betapa panas setahun diluruhkan hujan hanya dalam satu jam. Dan, begitu dia berbalik tampil apik dalam laga berikutnya, sanjungan pun membawanya ke langit lapis ketujuh. Naik-turun situasi dalam timpang irama.

Anda simak pula Mohamed Salah, betapa dalam dua musim dia menjadi pahlawan yang dipuja-puji sebagai “Raja Mesir”, simbol humanisme Islam di dunia Barat, juga sederet predikat “pujangga sepak bola”. Fans Liverpool membuatkan lagu khusus untuk menyuarakan kehebatannya.

Dengan performa yang sekinclong musim ini pun, dalam penilaian legenda Liverpool James Carragher, Mo Salah cenderung tidak dipandang sebelah mata oleh fans hanya karena catatan golnya tak sehebat dua musim sebelumnya.

Pada musim perdananya, Salah membukukan 44 gol. Musim kedua, 2018-2019 dia memberi 27 gol. Sumbangan 19 gol untuk mengantar Liverpool juara Liga kali pertama sejak 30 tahun pada musim ini, seolah-olah tidak cukup untuk mendorong respeksi fans. Dari suara-suara yang diserap Carragher, di antara penggawa kelas dunia milik Liverpool, fans menghendaki Mo Salah dilego untuk modal pembelian pemain incaran Juergen Klopp. Bagi Jamie Carra, itu adalah ketidakadilan, karena Salah adalah bagian dari elemen terpenting sukses The Reds.

Satu contoh lagi. Bruno Fernandes memperkuat realitas salah kaprah tuntutan profesionalisme. Betapa pemain tak berhak untuk menemui ritme performa yang biasa-biasa saja.

Hanya sekali bermain pas-pasan ketika menghadapi West Ham United, seperti menguapkan seluruh puja-puji untuk midfielder asal Portugal itu. Pertanyaan mengapung: ada apa dengan Bruno? Padahal dari laga ke laga, Fernandes berhasil menutup lubang besar Manchester United yang membutuhkan seorang pengatur permainan.

Kompetensi skill, gol, dan umpan-umpannya mengembalikan MU ke standar persaingan Liga Primer. Psikologi kehadiran Fernandes menggerakkan dan menaikkan level permainan sejumlah bintang Setan Merah. Dia telah berkontribusi besar mengantar MU finis di peringkat ketiga dan meraih tiket Liga Champions.

Analisis yang menyorot penampilan minimalisnya hanya dari satu laga memperkuat contoh tentang batas tipis antara penghargaan dan cercaan. Begitu performanya memulih saat melawan Leicester City, dan Fernandes menjadi man of the match, taburan puja-puji pun segera menutup tanda tanya atas kiprah di laga sebelumnya.

Di dunia profesional, koreksi adalah bagian dari “vitamin” yang memang seharusnya dihirup untuk merawat performa. Agar seorang pemain tidak lupa diri, agar dia sadar terus menjaga kebugaran, agar dia tidak cepat berpuas pencapaian; akan tetapi menghakimi hanya dari satu-dua penampilan tentu bukan model evaluasi yang tepat.

Cristiano Ronaldo menjadi contoh tentang kesadaran profesional untuk mempertahankan level dengan spartanitas latihan fisik dan teknik, namun CR7 pun tak terhindar dari fakta-fakta bioritme. Dia juga menghadapi psikologi fans yang selalu hanya mau menerima puncak performa dan enggan memahami kondisi-kondisi tertentu seorang pemain.

Sedemikian kejamkah tekanan yang dalam keseharian dihadapi oleh para anak kandung permainan ini? Di balik keelokan, ketegangan, dan berjuta rasa yang dipancarkan, sepak bola menguarkan sikap instan yang membelakangi rasa kemanusiaan: pada pertandingan hari ini kau disanjung, pada laga berikutnya kau dirundung…

Tidaklah manusiawi apabila kita menjawab fenomena ini sekadar sebagai risiko yang harus dihadapi oleh seorang profesional. Atau, dengan begitu, profesionalisme boleh diartikan sebagai persepsi “kekejaman” yang mengalienasi manusia dari rasa kemanusiaannya?

Amir Machmud NS wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI jawa Tengah