blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

KONON ada nasihat, orang cenderung dapat lebih sehat, panjang usia serta bahagia manakala ia dapat secara kontinyu menekuni dan menikmati hobinya.

Sebaliknya, orang yang tidak dapat menikmati hobinya, – apalagi tidak tahu apa hobinya – , cenderung merasa kurang sehat, merasa gelisah bahkan susah. Tepat benarkah nasihat ini? Silakan cek dan cek-silang diri Anda sendiri maupun teman/sahabat.

Ada juga cara mengecek lain, yakni lewat pertanyaan ini: Hobiku (atau hobinya) membawa manfaat dan kebaikan diri dan orang lain, ataukah merugikan diri dan orang/pihak lain?

Pertanyaan ini penting, karena definisi hobi itu ialah kegemaran atau melakukan apa yang digemari. Karena kata kuncinya “kegemaran” dan juga “apa yang digemari,” maka cek dan cek-silangnya ialah dampak dari kegemaran itu.

Jika kegemaranku (atau dia)  membawa manfaat dan kebaikan diri serta orang/pihak lain, kembangkanlah dan itulah yang akan membawa serta lebih sehat, bahagia, dsb.

Jikalau dampak yang ditimbulkan oleh hobi itu membawa serta kesengsaraan/penderitaan orang/pihak lain; yah…jangan dikembangkan dong, karena Anda bahagia, tetapi orang/pihak lain menderita. Hobi mancing kok sampai nguras tabungan berhubung ikut lomba mancing di HongKong, misalnya.

Hobi di Saat Pandemi

Akhir-akhir ini ada dua “kegemaran” yang sedang menjadi penanda pandemic Covid 19, yakni bersepeda (terutama para lelaki?) dan berburu tanaman tertentu (utamanya perempuan?). Gejalanya sangat menarik; dan mungkin karena teringat trauma booming gelombang cinta beberapa tahun lalu, sudah ada sejumlah orang memasang warning bagi para pemburu tanaman aglonema saat ini. “Awas lo…jangan terkecoh seperti gelombang cinta di masa lalu.”

Di saat pandemic ini, siapa pun tetap saja boleh menjalankan dan menikmati hobinya, sejauh protokol kesehatan dipatuhi. Repotnya memang, pada saat ramai-ramai gowes, keinginan untuk berdekatan selalu saja menggoda, mengingat ingin bercengkerama justru tinggi pada saat-saat semacam itu.

Di samping itu, konon virus corona potensi penyebarannya lewat udara sangat tinggi. Nah, para penggowes hendaknya hati-hati, karena Anda mengayuh sepeda dalam kecepatan tertentu, dan saat itu pulalah virus corona juga lebih cepat “terbangnya.”

Bahayanya, terbang cepatnya itu jangan-jangan hinggap pada Anda yang gowes dengan kecepatan tertentu, apalagi Anda berada dalam jarak yang saling berdekatan.

Maling Arep

Sekarang tiba saatnya menjelaskan tentang maling arep. Perlu dikatakan bahwa maling arep dapat menjadi pengukur lain tentang hobi, apakah hobi itu membawa dampak baik (maka, teruskanlah) ataukah buruk (stop!).

Maling arep, – awas jangan dibalik menjadi arep maling (hendak mencuri) – , adalah ungkapan Jawa yang sangat bagus untuk melukiskan kebiasaan seseorang/orang yang  seneng nyilih apa bae, nanging emoh balekake.

Intinya, tabiat orang yang suka meminjam (apa pun) tetapi tidak pernah (mau) mengembalikan. Pinjam ballpoint, ora dibalekake, pinjam sisir, diembat, pinjam charger baru dikembalikan setelah diminta tiga empat kali.

Tulung bayari dulu ya, dompetku lupa,” namun setelah pegang dompet ia tidak juga mengembalikan pinjamannya. Itulah contoh-contoh maling arep.

Tabiat, bahkan perilaku senang pinjam sungkan mengembalikan dapat digolongkan sebagai hobi karena ternyata banyaklah orang yang melakukannya, eh menggemarinya.

Berapa saja orang yang ngembat buku pinjaman, bahkan orang dianggap tolol kalau “nyilih buku kok dibalekake, wagu!!. Semakin banyak punya koleksi buku hasil embatan, semakin banggalah sejumlah orang, dan anehnya ia omong kepada siapa saja bahwa buku-buku itu hasil dari maling arep.

Mengapa orang melakukan maling arep? Pinjam-meminjam sering dianggap sama dengan pinta-meminta di kalangan masyarakat (tertentu?); karena itu sangat sering terjadi ngomongnya pinjam, padahal dalam hati minta. Lebih-lebih uang.

Ada anggapan, sebagian dari harta milik pribadi seringkali dipandang sebagai harta milik bersama, terutama harta pribadi seperti uang, bahan makanan, dan barang-barang lain yang dikategorikan “barang cilik.

”Maka pinjam obeng, kunci inggris, palu, panci masak dan barang-barang lain seperti itu dianggapnya sebagai barangnya sendiri.“ Barang sendiri, masak harus dikembalikan?” begitu selorohnya.

Pada sisi lain, misalnya karena berdasarkan pengalaman, lalu tidak mau meminjamkan sesuatu, pasti orang ini akan disebut-sebut pelit dan diwartakan sampai ke ujung kampong. Repot kan menghadapi orang maling arep itu?

Baca Juga:Dipoyok Dilebok Menuju Kebaikan Bersama

Adakah strategi terbaik menghadapi (baca: member pelajaran) kepada orang bertabiat maling arep? Ada, dan ini pasti jitu; yaitu gantilah pinjam sesuatu kepadanya, termasuk uang sekali pun. Setelah Anda pinjam, hendaklah jangan dikembalikan.

Jikalau suatu hari dia menagih (untuk uang) atau pun mengambil kembali barangnya, jawablah penuh canda-tawa: “Emang enak, hobi kok maling arep??” Kalau dia bertanya, apa itu maling arep, nah berilah penjelasan sejelas mungkin: Maling arep ialah Anda, Pak Kodri,  yang suka tidak mengembalikan barang pinjaman!

(JC TukimanTarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)

 

-0-