blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

 PEMBACA yang sudah dewasa (baca: Tua, hehehe) semoga masih ingat di zaman masih SMP atau SMA dulu, ketika pergaulan dengan sesama teman banyak diwarnai dengan saling ejek, saling sindir, saling bergaya jaim, ehh….. gak tahunya dia yang sering diejek atau disindir itu tidak berapa lama malah jadi pacarnya.

Atau jangan-jangan, pasangan Anda sekarang ini hasil dari, orang Sunda bilang dipoyok dilebok, atau kalau orang Jawa menyebutnya moyok mondhok? Ayo… ngaku aja!!.  

Menarik Memang

Sangat unik memang, orang atau barang, atau kebijakan atau sesuatu yang lain, dulunya dianggapnya remeh temeh, disindir-sindir, diejek-ejek, sekarang dibelanya, digembar-gemborkan pentingnya, dan sebagainya; termasuk dulunya sinis terhadap barang itu, sekarang justru dipakainya.

Inilah rahasia dipoyok dilebok, moyok mondhok; dan kalau hal ini kita bawa sebagai refleksi hidup orang beriman, rasanya inilah yang disebut Kuasa Roh Allah membuka hati siapa pun untuk di satu sisi, mengakui kesalahannya yang dulu-dulu, dan di sisi lain inilah saatnya untuk maju atau bahasa kerennya move on.

Mengapa menarik? Dalam hal suka mengejek atau menyindir, sebenarnya antar kedua belah pihak semakin ada kedekatan jarak: dulunya jauh, kurang mengenal, sekarang semakin dekat dan semakin mendalami pribadinya.

Semakin dekat berarti juga semakin mengerti, semakin simpati bahkan empati, malah-malah dapat semakin hanyut ke dalam perasaan hatinya. Ungkapan lain semakin tersentuhlah hatinya; dan siapa pun orangnya, kalau hatinya sudah tersentuh atau tergerak, pastilah ada perubahan besar dalam diri orang itu.

Ranah publik

Moyok mondhok pasti tidak terbatas pada perilaku individual saja, karena perubahan bisa saja terjadi pada kelompok masyarakat. Contoh, beberapa tahun lalu, kaum muda banyak yang tidak tertarik untuk bergelut dalam bertani atau beternak, bahkan pekerjaan itu seolah-olah dijadikan bahan olok-olok di antara mereka.

Namun sekarang, ketika ada banyak contoh sukses kaum milenial di bidang pertanian, banyaklah minat kaum milenial menanam sayur mayur, memelihara gurame, dsb.  Sejumlah kelompok masyarakat di sejumlah wilayah dewasa ini bangkit dari dulunya mencibir bidang pertanian dan peternakan, kini semakin gandrung karena ada banyak dampak positif terjadi. .

Perubahan Sosial

Maknanya, perubahan sosial dalam kelompok sangat mungkin terjadi, dan perubahan akan semakin cepat manakala ada dampak positif dirasakan oleh mereka. Agen perubahan seperti ini, – sebutlah para pioneer -, adalah pemantik utamanya, dan sangat dibutuhkan di bidang apa pun.

Proses yang sering terjadi pada diri agen perubahan ialah: Pada awal-awal memulai, ia akan mendapatkan banyak tentangan, cibiran, pertanyaan, bahkan mungkin penolakan.

Ketika upayanya mulai membuahkan hasil (pasti belum sangat memuaskan), pertanyaan, cibiran atau pun penolakan mungkin berkurang, tetapi jumlah orang yang “mulai tertarik” juga pasti belum banyak.

Baca Juga: Apitambuh 

Baru ketika hasilnya dianggap spektakuler, berdatanganlah orang-orang moyok mondhok itu seraya  menyampaikan “alibi” masing-masing. Alibi yang pada umumnya muncul ialah: “Sebenarnya sejak awal aku sudah tertarik dengan bisnis ini lho, tetapi kesibukanku tuh lho yang baru memungkinkan sekarang aku ikut.”

Ajakan dan ajaran

Ajaran dan ajakan moral atas moyok mondhok atau dipoyok dilebok adalah: Satu, biarkan saja kalau saat ini masih saja ada orang-orang yang sinis, suka mengejek, dll, asalkan mereka itu tidak merusak atau mengganggu tatanan kehidupan bersama.

Percayalah, orang-orang seperti itu pada saatnya nanti, yakni ketika Roh Allah meneranginya, besar kemungkinanya dia/mereka akan menempuh moyok mondhok atau dipoyok dilebok.

Dua, bagi Anda yang masih senang sinis, sindir-sana sindir sini, kalau masih kepingin terus di jalur itu, silahkan; akan tetapi pada saatnya nanti Roh Allah mengusik nuranimu, tidak mungkin kau tolak kecuali hanya mengiyakan, dan pada saat itulah engkau akan memasuki fase moyok mondhok. Nikamtilah saja!

Tiga, bagi kita semua, kesempatan untuk berubah (menjadi lebih baik) itu selalu ada. Kahlil Gibran meyakini hal ini dengan untaian puisinya (Sang Nabi, hal 89):

Kebaikan dapat kauwujudkan dalam berbagai cara

Dan kaubelum tentu jahat bila sedang tidak baik.

Engkau hanyalah lamban dan ketinggalan

Sayanglah memang bahwa si kijang

tak dapat mengajarkan kecepatan lari pada si keong

 Dalam merindukan kebesaranmulah letak kebaikanmu.

 

(JC TukimanTarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.