Oleh: MG Westri Kekalih Susilowati
MEREKA yang di bawah, mereka pulalah yang paling menderita musibah. Mereka, si miskin dan rentan miskin yang sehari-harinya sudah prihatin, jangan lagi di”jahatin”. Hak mereka jangan dicuri, jangan lagi dikorupsi, kembangkan rasa peduli, teristimewa di masa pandemi.
Siapa lagi yang akan menyangkal, pandemi covid-19 telah mengubah pola hidup (meskipun mungkin temporer). Tidak hanya kebiasaan berperilaku, namun pada kesejahteraan, pada bagaimana seseorang harus bekerja dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dan bersosialisasi. Istilah social distancing dan physical distancing menjadi sangat populer.
Kesejaheraan memang bersifat multidimensional, namun ukuran yang paling mudah terbaca adalah ukuran ekonomi. Karena covid-19, banyak negara bahkan secara global merevisi poyeksi pertumbuhan ekonomi. Dalam World Economic Outlook (WEO) 2019, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan ekonomi dunia akan tumbuh sebesar 3,6 persen pada tahun 2020 (tahun 2019 sebesar 3,3 persen), perekonomian negara maju sebesar 1,7 persen (tahun 2019 sebesar 1,8 persen), Emerging Market dan berkembang sebesar 4,8 persen (tahun 2019 sebesar 4,4 persen) dan Indonesia 5,2 sebesar persen (tahun 2019 sebesar 5,2 persen).
Dalam rilis terbarunya (IMF dalam WEO, April 2020), melakukan penyesuaian proyeksi terkait dengan Covid-19 secara sangat signifikan, tidak hanya mengalami perlambatan pertumbuhan, bahkan banyak negara mengalami pertumbuhan negatif. Pada Tahun 2020, perekonomian dunia diperkirakan tumbuh -3,0 persen, Negara Maju -6,1 persen, Emerging Market -1,0 persen dan Indonesia 0,5%.
Dalam rentang skala, Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani memprediksi perekonomian Indonesia akan tumbuh antara -0,4 persen – 2,3 persen. Penurunan aktivitas ekonomi memiliki banyak ikutan. Akibat merebaknya Covid-19, diprediksi akan ada tambahan pengangguran baru sebanyak 2,9 juta – 5,2 juta orang. Tanpa Covid-19, target Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) adalah 4,8 persen – 5,0 persen. Dengan asumsi ada tambahan pengangguran baru 2,9 juta – 5,2 juta orang, maka kira-kira TPT tahun 2020 akan sebesar 7,25 persen – 8,92 persen.
Jumlah orang miskin di Indonesia diperkirakan bertambah antara 1,1 juta – 3,78 juta orang. Kira-kira tingkat kemiskinan tahun 2020 adalah 9,63 persen – 10,63 persen, berarti target tingkat kemiskinan 8.5 persen – 9,0 persen sulit terwujud.
Ketimpangan pendapatan antarkelompok pendapatan akan semakin lebar, karena justru lapisan ekonomi terbawah, kelompok miskin dan rentan miskin, merupakan kelompok yang paling terdampak. Target pemerataan yang tercermin pada Indeks Gini 0,375 – 0,380 akan sulit tercapai.
Stimulus Ekonomi
Secara masif Covid-19 telah berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat secara individual, hilangnya pekerjaan, hilangnya penghasilan, kesulitan memenuhi kebutuhan dan lain sebagainya. Mereka yang berada pada lapisan ekonomi menengah ke atas, yang memiliki tabungan, dan sebagian pekerja formal mungkin masih cukup punya ruang gerak, dengan bekerja dari rumah. Namun, data menunjukkan bahwa sebagian besar (55,72 persen) pekerja di Indonesia adalah pekerja informal (bps.go.id).
Pekerja informal umumnya bekerja di lapangan dengan penghasilan harian seperti ojek dan pelaku UMKM. Berbagai macam protokol yang diberlakukan sangat mempersempit ruang gerak sehingga sepi pesanan dan omset menurun tajam. Pemerintah menyadari betul kondisi ini. Maka dengan sigap berbagai kebijakan darurat diluncurkan, di antaranya adalah berbagai stimulus ekonomi yang secara khusus ditujukan untuk orang miskin dan rentan miskin.
Sebagaimana diinstruksikan oleh Presiden dalam dalam pernyaraan pers, 30 Maret 2020, yakni akan dialokasikan sebesar Rp405,1 triliun dari APBN untuk penanganan Covid-19. Alokasi anggaran tersebut diantaranya untuk Social Safety Net Rp.110 yang menempati prioritas kedua setelah kesehatan.
Alokasi anggaran Social Safety Net adalah PKH 10 juta KPM, penerima Kartu Sembako naik dari 15,2 juta menjadi 20 juta, dengan manfaat naik dari Rp 150.000 menjadi Rp 200.000 selama sembilan bulan, Kartu Prakerja naik dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun (untuk 5,6 juta pekerja informal), pembebasan biaya listrik tiga bulan untuk pelanggan listrik 450VA, dan diskon 50% untuk pelanggan 900VA, tambahan insentif pembangunan perumahan MBR hingga Rp 175 ribu dan dukungan logistik sembako dan kebutuhan pokok Rp25 triliun.
Jangan dicuri
Perpu No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Virus Corona menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam menangani Covid-19. Sebagaimana telah diketahui bersama, lahirnya Perpu adalah dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (UUD 1945, pasal 22 ayat 1.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan memaksa (UU No 12/2011). Maka, penerbitan Perpu No 1/2020 tentu telah memenuhi persyaratan “kegentingan memaksa”.
Permasalahannya, pengalaman penyaluran bantuan sosial (bansos) sebelumya cenderung rawan korupsi. Karena jumlahnya yang sangat besar, penyaluran bansos dapat melenceng dari tujuan semula. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi seorang oknum untuk memutuskan korupsi atau tidak korupsi.
Pertama adalah faktor internal “si oknum”. Motif ekonomi keuntungan, dorongan gengsi dan memperkaya diri, serta memaksimalkan kepuasan adalah faktor internal. Kedua, faktor ekternal. Secara eksternal, adanya situasi yang memungkinkan untuk korupsi adalah rangsangan.
Rangsangan tersebut dapat berupa pengawasan dan kontrol yang lemah. Penggelontoran dana dalam jumlah fantastis menurut Perpu No 1/2020 sudah jelas peruntukannya, yakni untuk penanganan Covid-19 pada berbagai aspek.
Mereka yang miskin dan rentan miskin adalah kelompok yang paling terdampak. Dalam kondisi normal pun, mereka mungkin hidup susah, apalagi pada masa pandemi. Dalam kegentingan seperti ini, masihkah akan muncul “oknum” yang tega mencuri dari mereka?
Coba, dengarkan suara dan asah nurani untuk mengatakan “tidak” pada korupsi. Sesuatu yang menjadi hak si miskin dan rentan miskin, biarkan tetap menjadi milik mereka. Sebaliknya, kembangkan sikap peduli karena sekecil apapun bantuanmu, tentu akan sangat berarti.
Lemahnya pengawasan dan kontrol stimulus fiskal dalam jumlah yang besar membuka peluang korupsi. Untuk menekan munculnya situasi tersebut, tersedianya pedoman teknis penyaluran dan keterbukaan pemerintah hal yang mutlak, sehingga masyarakat dapat terlibat aktif mengawal penyalurannya.
Pembaharuan data penting untuk dilakukan, karena pasti akan ada tambahan penduduk miskin baru yang selama ini tidak terdata sebagai penduduk miskin. Yakin….bersama kita akan bisa mengalahkan Covid-19. Semangat dan tetap sehat.
MG Westri Kekalih Susilowati, Dosen FEB Unika Soegijapranata Semarang