Oleh : Hendra J Kede
Pasien positif Corona memiliki hak asasi yang dijamin Konstitusi dan wajib dilindungi sesuai UU terkait
Masyarakat umum memiliki hak asasi yang dijamin konstitusi dan wajib dilindungi sesuai UU terkait
Jika Hak pasien positif Corona dan Hak masyarakat tidak saling berbenturan pada kasus konkret, tidak ada masalah, lindungi semua
Jika Hak pasien Corona dan hak masyarakat umum saling berbenturan pada kasus konkret, mana yang harus dipilih? Melindungi hak pasien positif corona atau hak masyarakat umum?
Inilah dilema luar biasa besar yang sedang dihadapi Ikatan Dokter Indonesia dan pegiat Keterbukaan Informasi Publik semenjak Virus Corona masuk Indonesia dan dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO.
Pasal 57 Ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
Itulah dasar Hak pasien positif Corona yang harus dilindungi menurut yang berpendapat data pasien positif Corona harus ditutup rapat. Tidak ada ruang kompromi. Kadang penyampaian pendapat tersebut diiringi dengan penyebutan ancaman pidana bagi siapa saja yang berani membuka.
Sementara bagi yang berpendapat berbeda, setelah melihat dan memahami kasus konkret Pandemi Corona, dan berpendapat penghentian laju penyebaran Virus Corona erat kaitannya dengan dibukanya data pasien positif Corona, lebih condong menggunakan Pasal 57 Ayat (2) UU 36/2009 tentang Kesehatan yang mengesampingkan ketentuan dalam Pasal 57 Ayat (1), salah satunya, demi kepentingan masyarakat.
Kelompok ini berpendapat bahwa pandemi corona sudah mengancam kepentingan masyarakat, pandemi corona sudah mengancam kesehatan masyarakat, penularan virus corona sudah sedemikian mengkhawatirkan. Dan membuka data pasien positif Corona adalah salah satu kebijakan yang teramat sangat diperlukan untuk menahan laju penyebaran virus corona agar kepentingan masyarakat untuk tidak terinfeksi virus corona bisa dilindungi. Itulah dasar hak masyarakat umum dalam situasi pandemi corona.
Ikatan Dokter Indonesia, sebagaimana disampaikan Ketua Umumnya saat konferensi pers, lebih condong dan sependapat dengan pendapat yang kedua ini. Perlu membuka data pasien positif corona demi melindungi kepentingan masyarakat umum. Tentu saja pendapat ini setelah mempertimbangkan segala sisi, termasum dan tidak terbatas pertimbangan dari sisi profesionalitas profesi dokter dan Kode Etik Kedokteran.
Disini terjadi perbedaan pandangan yang tajam dan saling bertolak belakang terkait penerapan hak Manusia sesuai UU 36/2009 tentang Kesehatan. Hak mana yang harus didahulukan. Mendahulukan hak pasien positif corona untuk ditutup rapat sehingga Hak masyarakat untuk dilindungi dari ketertularan virus corona diabaikan atau mendahulukan Hak masyarakat luas dengan membuka data pasien positif corona sehingga potensi masyarakat tertular virus corona bisa diminimalisasi karena masyarakat dapat optimal menjalankan Pencegahan Oleh Diri Sendiri (PODIS) karena dibekali informasi yang jelas?
Itulah, menurut penulis, secara sederhana potret dilema penarapan Hak Manusia dalam rezim UU Kesehatan terkait pandemi corona
Bagaimana dengan penerapan Hak Manusia dalam rezim Keterbukaan Informasi Publik dalam kasus konkret pandemi corona ini?
Pasal 17 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Indormasi Publik menyatakan Setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali:
huruf h, Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu:
Angka 2, Riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang;
Ini menjadi dasar yuridis formal bagi kelompok yang berpandangan bahwa informasi data dan rekam medik pasien, pasien apapun, termasuk data pasien positif Corona harus dilindungi, tidak bisa dibuka dengan alasan apapun, sampai kapapun, dalam situasi apapun. Pokoknya informasi data pasien positif Corona harus ditutup total. Apapun yang terjadi di masyarakat. Tidak peduli. Apapun status kemenularan penyakit yang disebabkan virus corona yang sedang diderita pasien. Mau status penyebaran virus corona adalah wabah, endemi, maupun pandemi. Hak informasi data pasien positif corona untuk dilindungi yang harus dilindungi sebagai harga mati.
Undang-undang sudah menuliskan demikian maka demikianlah adanya. Berani melanggar maka harus dipidana. Berani membuka informasi data pasien positif corona, dengan alasan apa pun, berarti sudah melanggar hak manusia. Kenapa, karena UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik adalah perintah langsung dari Pasal 28F UUD NRI 1945 yang bernaung di bawah Bab Hak Manusia.
Sementara kelompok lain berpandangan bahwa Pasal 10 Ayat (1) UU Nomer 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi menyebutkan Badan Publik wajib mengumumkan secara serta-merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum.
Masyarakat umum memiliki hak untuk mendapatkan Informasi Serta Merta jika ada sesuatu yang mengancam kehidupannya dan ketertiban umum, termasuk dan tidak terbatas pada penyebaran penyakit yang bestatus wabah, apalagi endemi, dan lebih lebih lagi jika sudah pandemi seperti pandemi corona. Seluruh informasi yang memungkinkan meningkatnya peluang masyarakat terinvenksi harus diinformasikan kepada masyarakat begitu informasi tersebut diketahui. Itu adalah Hak masyarakat umum sebagai Informasi Serta Merta. Kalau itu tidak dilakukan maka hak masyarakat untuk dilindungi terlanggar. Termasuk dan tidak terbatas jika informasi tersebut adalah informasi data sumber penularan penyakit berupa data pasien positif corona.
Hak masyarkat adalah untuk dilindungi dirinya, dilindungi keluarganya, dan dilindungi lingkungannya dengan cara diberitahu informasi mengenai sumber penyakit yang mudah menular tersebut, walaupun informasi itu adalah informasi data anggota masyarakat yang tertular positif Virus Corona sekalipun jika memang anggota masyarakat tersebut tertular corona.
Ini semata agar masyarakat dapat meningkatkan kewaspadaan, dapat menghindari ketertularan, dapat menjaga agar diri, menjaga agar keluarga, dan menjaga agar lingkungannya tidak terinfeksi virus corona yang belum ada obatnya tersebut.
Seluruh hal harus dikesampingkan demi melindungi kepentingan masyarakat. Semua norma hukum positif bisa dikesampingkan jika norma hukum positif itu justru memperlambat apalagi sampai menghambat usaha melindungi kepentingan masyarakat untuk mendapatkan perlindungan dari tertular virus corona, termasuk dan tidak terbatas pada informasi sumber penyakit yang sangat mudah menular tersebut.
Semua hak pribadi tentang informasi data pribadi harus dikesampingkan jika penerapan Hak pribadi tersebut dapat memperlambat apalagi menghambat penerapan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi sumber penyakir menular, yaitu dan tidak terbatas informasi data pasien positif corona sebagai penyakit menular dan menularkan tersebut.
Pada intinya kelompok ini berpendapat, hak masyarakat untuk dilindungi dari ketertularan virus corona haruslah diatas segala-galanya dan mengalahkan segala-galanya.
Jika diperhatikan dengan lebih teliti, kedua rezim UU tersebut, rezim UU Kesehatan dan rezim UU Keterbukaan Informasi Publik pada substansinya memiliki dua persamaan substansial, yaitu :
Pertama. Kedua UU tersebut sama-sama mewajibkan melindungi data pasien, termasuk dan tidak terbatas data pasien positif corona.
Kedua. Kedua UU tersebut sama-sama mengesampingkan penerapan norma yang mengatur perlindungan data pasien, termasuk dan tidak terbatas data pasien Corona, jika itu berhadapan dengan kepentingan masyarakat dan membahayakan kepentingan masyarakat umum dan ketertiban umum..
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana penerapan kedua rezim UU tersebut pada kasus konkret pandemi corona?
Pertama yang harus dijawab untuk menjawab pertanyaan di atas adalah apakah sudah terpenuhi unsur kepentingan masyarakat dalam kasus konkret pandemi corona di Indonesia?.
Kedua yang harus dijawab adalah apakah sudah terpenuhi unsur mengancam hidup orang banyak dan ketertiban umum dalam kasus konkret pandemi corona di Indonesia?
Ketiga yang harus dijawab adalah apakah situasi pandemi corona ini mengancam kepentingan masyarakat, termasuk dan tidak terbatas pada kepentingan masyarakat untuk tidak tertular virus corona?
Keempat yang harus dijawab adalah apakah sudah sedemikian seriusnya laju penyebaran virus Corona ini sehingga menempatkan Pencegahan Oleh Diri Sendiri (PODIS) oleh masyarakat berada pada posisi sentral, tidak cukup petugas medis?
Kelima yang harus dijawab adalah apakah sedemikian pentingnya informasi data pasien positif Corona dalam mencegah laju penyebaran virus corona agar terkendali?
Pertanyaan keenam dan terakhir yang harus dijawab adalah apakah sedemikian berbahayanya jika pasien positif Corona berinteraksi dengan dan berada ditengah masyarakat bagi kementingan masyarakat, yaitu kepentingan keselamatan masyarakat dari tertular virus corona?
Jawaban atas enam pertanyaan diatas penulis kembalikan ke hadapan para pembaca budiman sekalian.
Namun, Wikipedia menuliskan di lamannya: “Kesehatan (kesejahteraan, kebaikan, keselamatan, kebahagiaan) rakyat harus menjadi hukum tertinggi”, “Biarlah kebaikan (atau keselamatan) rakyat menjadi hukum tertinggi (atau tertinggi)”
Guru Besar Hukum Tata Negara yang juga Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 2008-2013, Prof. Dr. Mahfud MD, pernah menuliskan dalam media sosial twiter beliau (12/5/2018) bahwa Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi suatu negara, lebih tinggi dari UU, bahkan lebih tinggi dari UUD
Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo pada Minggu (22/3/2020) terkait penanganan Virus Corona menyampaikan melalui Juru Bicara beliau : Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi
Dua puluh satu abad silam seorang fiilsuf besar Yunani pernah menyatakan sebuahbAzaz Hukum :
“Salus Populi Suprema Lex” Cirero (106 SM – 43 SM) End
Hendra J Kede, Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI