blank

blank

Oleh Amir Machmud NS

JUJUR saja, saya termasuk yang masih sulit move on dari Luis Milla. Pelatih asal Spanyol itu, walaupun selama dua tahun berkarier di Indonesia hanya mampu memberi medali perunggu SEA Games 2017 untuk tim nasional U23, memberi jejak “karakter permainan” yang betul-betul membekas. Gaya posesif umpan pendek dengan mengandalkan kecepatan dua sayap, mirip tiki-taka Barcelona dan timnas La Furia Roja, dia transformasikan sebagai filosofi tim U23 dan tim senior. Terlepas dari medali atau trofi, jejak “karakter” yang sudah mulai tune in merupakan referensi yang akan membuat kita selalu merindukannya.

Lalu mengapa PSSI malah melepas eks pemain Barcelona dan Real Madrid itu? Lewat argumentasi yang seberputar ke mana pun, sebabnya jelas: biaya yang dinilai terlalu mahal untuk menggaji Milla dan tim kepelatihannya.

Suasana sulit move on seperti ini juga pernah terjadi ketika PSSI mempekerjakan Wiel Coerver, coach asal Belanda yang memoles timnas Pra-Olimpiade 1976 dengan hasil menembus final Prakualifiksi Asia, dan hanya kalah adu penalti dari Korea Utara. Ketika kembali didatangkan pada 1979, dengan masa persiapan yang relatif pendek, Coerver memberi medali perak SEA Games lewat Djoko Malis Mustafa dkk.

Eks arsitek Feyenoord Rotterdam itu membangun tim 1976, yang disebut-sebut sebagai salah satu timnas paling “paten” dalam sejarah sepak bola Indonesia. Iswadi Idris cs tergembleng dalam spirit pembentukan mentalitas bermain dengan karakter kuat. Ada jejak yang ditinggalkan, ada referensi yang ditorehkan.

Bukan hanya lantaran trofi atau medali jika PSSI kini memaksa kita untuk tidak lagi merindukan Luis Milla. Memilih Shin Tai-yong, taktikus asal Korea Selatan boleh dibilang merupakan perjudian lainnya. Pertimbangan gaji tidak terlalu signifikan, karena konon kontrak eks pelatih Kesatria Taeguk di Piala Dunia 2018 itu juga tinggi. Konsiderans pragmatis bisa dipahami, karena dalam dua tahun ini Vietnam mengalami lompatan sebagai kekuatan utama Asia Tenggara dan Asia berkat sentuhan pelatih kepala Park Hang-seo yang juga berasal dari Negeri Ginseng.

*   *   *

INDONESIA belum pernah menggunakan jasa pelatih Korea. Dari Singapura sudah, begitu juga Yugoslavia, Polandia, Ceko, Slovenia, Belanda, Inggris, Uni Soviet, Jerman, Italia, Bulgaria, Brazil, Austria, Spanyol, hingga yang terakhir Skotlandia. Secara kultural, Korea lebih dekat, namun tetap saja kendala bahasa, dan segi-segi renik kebudayaan membutuhkan kemauan pendekatan tersendiri dari si pelatih. Jangan hanya pemain dan lingkaran budaya di timnas yang menyesuaikan dengan “gaya Korea”, tetapi pelatih juga harus berkemauan keras menjadi bagian dari kultur Indonesia.

Yang harus ditanamkan tentu adalah faktor-faktor filosofis sebagai “keyakinan ideologis” program transformasinya. Ibaratnya, Shin Tae-yong harus siap dengan “teologi pembebasan” untuk menyingkirkan beban-beban masa lalu, dan para pemain menyerap “zaman baru” yang — siapa tahu — bakal menemukan kecocokan dari sisi kualitas permainan sekaligus prestasi.

Nrasi “siapa tahu” ini adalah logika, bahwa memilih pelatih dari Korea itu pun sebenarnya merupakan spekulasi, pertaruhan yang belum bisa digambarkan bakal seperti apa. Tae-yong bagaimanapun punya rekam jejak kinclong sebagai pemain dan pelatih di level klub, dan kemenangan 2-0 timnas Korea atas Jerman di Rusia 2018 dianggap sebagai capaian fenomenal.

Skema filosofisnya, 4-4-2 berbeda dari formasi 4-2-3-1 kesukaan Luis Milla. Jika mengacu pada taktik yang biasa dipakai timnas Korea itu, dapat dibayangkan Tae-yong membutuhkan para pemain dengan spartanitas kemampuan pressing dan berlari. Secara fisik harus kuat. Bedanya dari model dril latihan fisik ala Anatoly Polosin yang menghasilkan medali emas SEA Games 1991, penyiapan fisik ala Tae-yong akan ter-cover dari latihan-latihan unit sprint pendek yang khas Korea. Gaya bermain Vietnam di berbagai ajang sekarang, dengan daya tahan fisik dan kecepatan, setidak-tidaknya memberi gambaran produk latihan dan filosofi Korea sentuhan Park Hang-seo.

Mampukah Shin Tae-yong mentransformasi “teologi pembebasan” seperti Hang-seo yang terbukti sukses “mengangkat” sepak bola Vietnam dari inferioritas? Atau dibandingkan dengan Indonesia, secara kultural dan filosofis, Vietnam memang lebih “dekat” dengan Korea?

Pilihan yang sudah dijatuhkan oleh pengurus PSSI di bawah Iwan Bule, yang didukung oleh Kemenpora, harus sama-sama didukung setelah sebelumnya masyarakat sepak bola kita dikecewakan oleh kiprah timnas Pra-Piala Dunia 2022 di bawah Simon McMenemy.

Tae-yong berada di tengah transisi atmosfer kerinduan kepada gaya dan produk anggitan Luis Milla. Juga langkah-langkah membanggakan pelatih lokal yang mengarsiteki tim-tim remaja. Maka beralasan apabila harapan besar menggelayut kepadanya, di bawah nama besar Korea Selatan sebagai kekuatan penting sepak bola Asia dan dunia.

Jejak prestasi dan potensi tim-tim kelompok usia 16, 18, dan 22 racikan Bima Sakti, Fakhri Husaini, dan Indra Sjafri, bisa menjadi modal bagi Shin Tae-yong untuk memulai pekerjaan yang penuh tantangan. Kini dia berada di sebuah negara dengan kultur sepak bola sebagai olahraga rakyat yang penuh ingar-bingar, namun selalu mengalami kegagalan mewujudkan impian-impian besarnya.

Ayo, ajaklah kami move on, Tae-yong…

Amir Machmud NS, kolumnis bola, wartawan senior.