Oleh Amir Machmud NS
BEGINILAH ketika seorang “atlet negarawan” berbicara tentang nilai-nilai sejati sportmanship. Dia, Luca Modric, mengangkat pernyataan soal respek dan sepak bola.
Sangat simpatik. Gelandang Real Madrid dan kapten tim nasional Kroasia itu menyatakan, Ballon d’Or tahun ini pantas diraih oleh Lionel Messi. Dan, Modric — pemegang trofi 2018 — mengingatkan, sepak bola adalah soal respek. Mengapa dia hadir di Paris dalam seremoni untuk menyerahkan trofi pemain terbaik sejagat kepada La Pulga, itu adalah atas nama ekspresi rasa hormatnya.
Apakah statemen playmaker top itu dimaksudkan untuk menyindir Cristiano Ronaldo yang memilih tidak hadir karena kecewa? Wallahua’lam. Ronaldo dikabarkan sudah “mendapat bocoran” hanya menempati posisi ketiga di bawah Virgil van Dijk, sehingga enggan datang ke gala dinner. Akan tetapi, Sadio Mane yang menduduki peringkat keempat pun menyampaikan selamat kepada Messi. Ungkapan kebesaran hati bintang Liverpool asal Senegal itu tergambar dari pernyataannya, bahwa tahun depan dialah yang bakal meraihnya.
Mampukah Mane memenuhi tekadnya? Atau, siapa yang pada tahun depan mampu menggoyang kemapanan Messi dan Ronaldo, untuk memotong hegemoni kedua maestro tersebut, seperti pencapaian Luka Modric pada 2018?
Rekor Messi, dari logika alamiah sulit dipecahkan, walaupun boleh jadi Ronaldo masih bisa mengejar apabila mampu mengembalikan performa dan menjaganya hingga pengujung musim ini. Hanya CR7-lah satu-satunya manusia yang paling memungkinkan menjajari Messi Sang Alien, karena nyaris mustahil menunggu lahirnya bintang dengan konsistensi keajaiban yang bisa dijaga selama enam tahun.
Messi enam kali mendapat anugerah yang dianggit majalah France Football tersebut pada 2009, 2010, 2011, 2012, 2015, dan 2019 melewati raihan Ronaldo pada 2008, 2013, 2014, 2016, dan 2017. Perbedaan alamiah yang melekat pada Messi sebagai bintang dengan talenta bawaan sejak lahir, dan Ronaldo yang hebat karena terbentuk oleh kedisiplinan membina diri, mewarnai rivalitas dua bintang dalam lebih dari satu dasawarsa ini.
Tahun ini boleh jadi merupakan musim penuh komplikasi untuk memilih peraih Ballon d’Or. Liverpool yang memasok nominee terbanyak berkat trofi Liga Champions, hanya menempatkan Van Dijk sebagai runner up, Sadio Mane di urutan keempat, Mohamed Salah di posisi keenam, lalu Alisson Becker menjadi kiper terbaik peraih Lev Yashin Award. Selisih suara Messi hanya tujuh untuk bisa mengungguli Van Dijk.
Di akhir musim lalu, Messi terus diperbincangkan walaupun Barcelona hanya finis sebagai juara La Liga. Produktivitas 50 gol dan 22 assist di semua ajang, serta konsistensi aksi-aksi brilian terutama dalam mengorkestrasi tim dan keajaiban tendangan bebasnya, membuat visi para pemberi suara lebih banyak terfokus ke Messi.
Jangankan memecahkan rekor, menyamai atau mengambil alih Ballon d’Or dari tangan Messi pada tahun depan, masih menjadi tanda tanya besar. Jika Messi bisa mempertahankan kebugaran dan kegairahan, siapa yang kira-kira mampu menyaingi?
Selain Mane dan Salah, juga Van Dijk dan Alisson, kita masih menunggu pematangan Neymar Junior dan Kylian Mbappe. Juga para bintang muda seperti Raheem Sterling, Phil Foden, Jadon Sancho, dan Kevin de Bruyne. Untuk menjajari Messi jelas sangat berat, yang paling memungkinkan hanya mengusik kemaharajaannya pada musim depan.
* * *
SAYA ingat rekor Rudy Hartono di cabang bulutangkis. Dia delapan kali menjadi juara turnamen karismatik All England pada 1978, dengan tujuh di antaranya berturut-turut pada 1968-1974.
Begitu banyak jagoan pada masa-masa setelah Si Wonder Kid mengundurkan diri, namun untuk mampu sekonsisten tujuh kali juara seperti Rudy tentu bukan perkara mudah. Apalagi peta perkembangan kompetisi olahraga ini sudah berubah. Liem Swie King dan Hariyanto Arbi tidak mampu mendekat ke angka tujuh, apalagi berturut-turut. Morten Frost Hansen, Peter Gade Christensen dan Poul Erik Hoyer Larsen tidak. Juga Chen Hong dan Lin Dan, Lee Chong Wei pun tidak. Bahkan Kento Momota yang sekarang dinilai sebagai pemain paling konsisten pun bakal sulit untuk berjaya dalam rentang panjang seperti pada era Rudy.
Posisi Messi di panggung Ballon d’Or, kurang lebih sama dengan hegemoni Rudy Hartono di All England. Rekor, kata Messi, memang diciptakan untuk dipecahkan. Namun, tentu ada eksotika tersendiri yang melingkupi seorang atlet dengan segala keistimewaannya, dengan rekor-rekor khusus yang seakan-akan menjadi miliknya. Dia merasa bahagia bisa menjadi pemegang rekor, juga sempat mengalami keputusasaan ketika pencapaiannya sempat disamai Ronaldo.
Teka-teki siapa pemenang trofi pada tahun ini telah terjawab. Messi tetap diakui sebagai “makhluk langka” sepak bola. Betapa pun Van Dijk dan Ronaldo memendam kecewa, itulah realitas objektif yang tersajikan di panggung kompetisi. Enam trofi menjadi rekor Messi, yang boleh jadi menorehkan fakta keabadian, karena catatan itu memang rekor “di luar nalar” pesepak bola.
Di tengah dinamika kerasnya industri kompetisi, menjadi menarik untuk ditunggu: siapa pemain di luar Messi dan Ronaldo yang memancarkan sinar terang pada musim ini, dan menjadi penantang terkuat bagi Sang Alien?