Oleh Ratih Paramastuti
SEJARAH proses teknologi pengalengan bermula pada abad ke-18 yaitu ketika Napoleon Bonaparte mengadakan sayembara untuk menyediakan makanan yang sehat dan praktis bagi pasukan militernya di medan perang. Nicholas Appert memenangkan sayembara tersebut karena dapat menemukan metode pengawetan makanan yaitu dengan memasukkan makanan ke dalam toples yang tertutup rapat lalu direbus pada air mendidih beberapa saat.
Pada waktu itu belum diketahui mekanisme yang mendasari penyebab makanan dapat awet setelah melalui proses tersebut.Lima puluh tahun kemudian, Louis Pasteur melakukan penelitian mengenai pengawetan makanan dan menyimpulkan bahwa proses panas yang dikenakan pada produk makanan dapat membunuh mikroba pembusuk dalam makanan.
Teknologi pengalengan makanan semakin berkembang pesat, produk yang dikalengkan juga beragam mulai dari buah, ikan, daging, sayur, susu dan makanan siap saji. Pasar makanan kaleng global diperkirakan mencapai 118 milliar dolas AS pada tahun 2023. Produk makanan kaleng mempunyai masa simpan yang lebih lama daripada produk segarnya yaitu mencapai beberapa bulan bahkan tahun. Tujuan dari teknologi pengalengan makanan selain untuk memperpanjang masa simpan, juga untuk menjamin keamanan pangan.
Kondisi produk makanan kaleng adalah kedap udara. Kondisi ini merupakan kondisi yang cocok bagi pertumbuhan bakteri anaerob obligat seperti Clostridium botulinum. Clostridium botulinum merupakan bakteri patogen yang dapat memproduksi toksin botulin. Toksin ini bersifat neurotoxic atau mengganggu sistem saraf dalam tubuh. Akibat dari toksin botulin ini adalah tenggorokan menjadi kaku, penglihatan ganda, otot kejang, kelumpuhan serta dapat mengakibatkan kematian. Clostridium botulinum merupakan bakteri yang dapat membentuk spora. Spora memiliki ketahanan terhadap panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan sel vegetatifnya. Spora yang masih terdapat dalam makanan jika lingkungannya mendukung pertumbuhan maka akan bergerminasi dan membentuk sel vegetatif kembali.
Target dari proses pengalengan adalah membuat spora dari Clostridium botulinum menjadi dorman atau tidak aktif. Proses panas yang diterapkan pada proses pengalengan harus cukup untuk memastikan hal tersebut. Kecukupan proses panas untuk proses pengalengan adalah 12D. Nilai 12D menunjukkan bahwa proses panas harus mampu menurunkan jumlah mikroba awal sampai 12 desimal. Sebagai contoh jika jumlah mikroba awal suatu bahan adalah 1000 maka proses panas harus mampu menurunkan mikroba sampai 0,000000001.
Hal ini juga menunjukkan keberterimaan risiko suatu produk terhadap kesehatan masyarakat. Angka tersebut memperlihatkan bahwa dari 1 milliar kaleng yang diproduksi terdapat 1 kaleng yang dapat melebihi standar yang telah ditentukan. Kriteria sterilitas yang dipakai pada proses pengalengan adalah Bacillus stearothermophillus, bakteri ini memiliki spora yang ketahanan terhadap panasnya lebih tinggi dibandingkan spora dari Clostridium botulinum. Hal ini untuk memastikan keamanan dari produk kaleng, jika proses panas yang dilakukan sudah dapat menginaktivasi spora dari Bacillus stearothermophillus maka spora dari Clostridium botulinum juga terinaktivasi.
Hal yang perlu diperhatikan sebelum mengkonsumsi produk makanan kaleng adalah kondisi dari kaleng tersebut. Kaleng yang menggembung, penyok dan label tulisan luntur perlu dihindari. Hal ini mengindikasikan bahwa proses panas yang diberikan belum cukup sehingga masih terdapat mikroba dalam produk makanan kaleng tersebut. Kaleng yang menggembung menunjukkan bahwa terdapat gas, gas ini diproduksi oleh mikroba yang belum terinaktivasi selama proses.
Label yang luntur mengindikasikan bahwa kaleng tidak tertutup rapat atau bocor. Kebocoran ini dapat menyebabkan mikroba dari luar masuk ke dalam produk. Selain kondisi dari kaleng, perlu diperhatikan juga isinya. Jika produk hancur, sirup atau larutan garam yang seharusnya bening menjadi keruh maka memperlihatkan bahwa telah terjadi kebusukan pada produk.
Produk makanan kaleng merupakan produk steril dari mikroba.Selama proses panas yang diterapkan cukup dan kondisi penyimpanan sesuai maka produk makanan kaleng aman untuk dikonsumsi. Kondisi penyimpanan yang disarankan pada produk makanan kaleng harus diikuti guna mencapai masa simpan yang diharapkan. Pemilihan produk makanan kaleng juga harus mempertimbangkan kondisi dari kaleng dan isi produk untuk memastikan bahwa makanan yang dikonsumsi aman.
Ratih Paramastuti
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pangan
Institut Pertanian Bogor