KUDUS (SUARABARU.ID) – Anak adalah amanah dari Allah SWT yang harus pula dibekali dengan pendidikan baik agama maupun bekal ketrampilan untuk menghadapi hidup. Nah, di Pesantren Inklusi Achasaniyah yang berada di Desa Pedawang, Kecamatan Bae, puluhan anak berkebutuhan khusus mendapatkan bekal pendidikan baik agama hingga keahlian untuk hidup mandiri.
Siang itu, Lutfi, seorang santri asal Bengkulu nampak sibuk berlarian di halaman pondok. Lutfi yang merupakan penderita autisme ini, mampu bermain layaknya anak biasa.
Sesaat kemudian, Lutfi pun beranjak ke masjid setempat untuk bersiap menjalankan shalat Jumat. Sebelum itu, Lutfi juga menunjukkan kemampuannya membaca Alquran dan menghafal surat pendek”Enak di sini, bisa ngaji dan berolahraga,” kata Lutfi.
Menurut Lutfi, selain mengaji, dirinya juga suka dengan kegiatan rebana yang diadakan oleh pesantren. Khusus bulan ramadhan seperti sekarang, katanya, rutin salat tarawih serta tadarus Alquran
Ya, meski terlihat seperti santri biasa, namun Lutfi merupakan penyandang autisme. Lutfi bersama 97 santri yang menempati pesantren ini semuanya penderita autis. Maka, tak jarang pesantren yang terletak di Desa Pedawang RT 4 Rw 3, Kecamatan Bae, Kudus ini juga disebut sebagai pesantren autis.
Didirikan pada 2007, kemudian mulai ditempati pada 2010, pesantren ini meneguhkan diri sebagai tempat menampung orang-orang yang dikucilkan di masyarakat.
Oleh pengasuhnya, H Moh Faiq Afthoni, tujuan yang paling utama adanya pesantren ini bisa memberi bimbingan kepada santrinya agar hidup mandiri. Meski secara psikologi para santri mengalami keterbelakangan, namun kesabaran serta ketelatenan para guru pendamping menjadi kunci keberhasilan pendidikan di tampat ini.
Di pesantren ini, kecakapan kognitif bukan menjadi yang utama. Sehingga, tidak ada standar kurikulum yang menjadi patokan dalam pengajaran di pesantren ini. Jika para santri yang autis itu bisa mandiri, dalam arti bisa memenuhi keperluan sehari-hari tanpa harus meminta bantuan kepada orang lain, maka sudah dianggap berhasil.
”Jadi kalau ada 97 santri artinya ada 97 kurikulum yang kami terapkan. Karena untuk mendidik setiap santri, tentu butuh pendekatan yang berbeda-beda,” tandasnya.
Oleh karenanya, santri di pesantren ini dibagi dalam tiga kategori yakni anak-anak dalam artian tingkat IQ rendah, pra mandiri, dan mandiri. Untuk santri mandiri ini, pesantren memang berusaha menjadikan santri mampu untuk bertanggung jawab pada dirinya sendiri.
Meski demikian, tak jarang alumni pesantren ini bisa pula menjadi sukses. Faiq mencontohkan ada santrinya yang bernama Rahman yang kini bisa menyelesaikan pendidikan jenjang S2 di Unisula Semarang. Bahkan, Rahman cukup mahir menjadi penceramah, meski sampai kini gejala autisme sang santri masih terlihat.
Sebagai pesantren yang menampung anak autis, lanjut Faiq, tentu ada resep manjur agar anak-anak yang dibimbing di situ menjadi pribadi yang mandiri serta tergali potensinya. Di antara yang dilakukannya yakni memberi arahan kepada setiap orang tua agar memasrahkan sepenuhnya kepada pihak pesantren.
”Pasalnya, pasrahnya orang tua dan keteguhan hati guru yang ada di pesantren itu menjadi penyokong cepatnya perkembangan anak untuk mandiri,” tandasnya.
Sebagai pesantren, tentu saja menanamkan nilai-nilai spiritual. Faiq meyakini, penanaman nilai spiritual kepada santri autis itu akan mempercepat proses para santri menuju mandiri.
“Makanya seperti saat Ramadan, ada yang namanya tadarrus al Quran, selanjutnya kalau malam juga ada tadarrus. Kegiatan ini diperuntukkan bagi anak yang sudah mandiri, bagi yang masih zero atau masih belum bisa mandiri tidak kami terapkan kegiatan. Kami lakukan bimbingan sampai dia mampu mandiri,” katanya.
Suarabaru.id/
Baca juga: Tarhima, Bupati Kudus Bagikan Bantuan Sarpras