Oleh Amir Machmud NS
ADA masa-masa, ketika penampilan Lionel Andres Messi digambarkan secara pas oleh Eric Cantona. “Kehebatan Messi terletak pada kegembiraannya, seperti anak-anak yang bermain lepas, dia hanya memikirkan tentang bermain-main. Para pemain hebat adalah mereka yang bertahan dengan kecerdikan seorang anak kecil,” ungkap legenda Manchester United itu, suatu ketika.
Artinya, kegembiraan. Ruh itukah yang kini menguap dari La Pulga?
//…dia berada di tepi sepi// tak kuasa mengurai derai hati// satu per satu pergi// menuju warna-warni pelangi// tiap saat dia merenungi// o, hanya aku yang masih di sini…// (Sajak “Sepi Messi”, 2020).
Rasanya beralasan membandingkan “Messi yang imut dan selalu bermain tanpa beban”, dengan “Leo yang ‘baperan’, temperamental di dalam dan di luar lapangan”. Kini betapa gampang dia marah, meledak, melampiaskan emosi secara impulsif: karakter yang nyaris tidak menyentuh personalitas the good boy itu selama 12 tahun sebelumnya bersama Barcelona dan tim nasional Argentina.
Deret luapan amarah Sang Dewa Sepak Bola itu cenderung terus bertambah. Dari relasi protes kepada Direktur Olahraga Barcelona Eric Abidal, ungkapan perlawanan dengan sikap eksplosif di Copa America 2019, respons terhadap manajemen Barca dalam urusan pemotongan gaji lantaran pandemi Covid-19, dan yang terakhir perselisihan dengan Antoine Griezmann, bahkan sampai nyaris baku hantam di sesi latihan. Terakhir, Messi disorot karena sikap yang buruk kepada tim pelatih. Terang-terangan dia menunjukkan ketidakpercayaan kepada tim kepelatihan Setien.
Semua itu, saya kira bukan sekadar persoalan dinamika biasa di sebuah klub sepak bola. Ada “sesuatu” yang memicu…
Selama ini, yang sering disebut sebagai salah satu keunggulan Leo Messi dari Diego Maradona adalah karena dia jauh lebih cool, kalem dan humble. Sebagai manusia yang mencapai puncak kemampuan di bidangnya, Messi tidak pernah terhinggapi sindrom kebintangan. Kehidupannya jauh dari glamor selebritas, padahal lantaran kemampuan yang eksepsional, kawan dan lawan menyanjungnya sebagai alien.
Sebagai pemain, ekspresi kekecewaan dan respons negatif atas perlakuan kasar pemain lawan sangat jarang terlihat. Dia bukan “aktor” yang suka bereaksi lebay seperti Neymar dan Luis Suarez ketika dijegal tackling lawan. Sebrutal apa pun teknik penghadangan ala Sergio Ramos, Marcello, atau Pepe, tidak sampai mencuatkan reaksi berlebihan, walaupun terkadang menyembul pula sifat-sifat manusiawinya.
Kesepian
Mengapa karakter keras dan ekspresi temperamental kini menjadi kisah yang mewarnai hari-hari Messi?
Jangan-jangan karena Messi sedang mengalami kondisi kesepian yang luar biasa?
Karena dia makin merasa “sendirian” menjaga kebesaran permainan Barca? Justru ketika usianya makin merambat dan beban tanggung jawab makin meninggi?
Karena tidak ada lagi penggawa pendamping sekelas Xavi Hernandez dan Andres Iniesta, yang memberi rasa aman untuk berbagi tanggung jawab dalam mengorkestrasikan permainan Barca?
Karena kegagalan manajemen Barca memenuhi kebutuhan partner yang mampu mengimbangi tanggung jawabnya? Apakah karena permintaan untuk mendatangkan kembali Neymar dari Paris St Germain tak terkompensasi oleh kehadiran Philippe Coutihno, Ousmane Dembele, dan Antoine Griezmann?
Atau, karena kegalauan yang terus merongrong: dia tinggal punya satu kesempatan harapan memberi trofi untuk Argentina, di Qatar 2020 dalam kesegaran yang pasti tak lagi prima? Padahal dari segi itulah dia selalu dianggap di bawah Maradona.
Bagaimana mungkin, dengan setumpuk beban dan kenyataan itu, Messi bermain dengan aura kegembiraan? Tesis Eric Cantona menemukan pembenaran jika melihat dinamika yang sekarang menyaput jiwa La Pulga. Penampilan Messi lebih menunjukkan kegelisahannya sebagai manusia.
Kita pun merasa kehilangan separuh jiwanya. Kita mendapati Messi dengan emosi yang mudah menyala, bukan Messi yang kita kenal dalam satu setengah dasawarsa.
Dari sejak musim 2008-2009, Messi membuat rerata 40 gol di semua ajang. Dan, musim ini, dengan debet kurang dari 30 gol dan 17 assist saat Barca hanya menyisakan enam laga di La Liga, dia bakal menorehkan catatan paling rendah. Sistem, taktik, dan psikologi pelatih Quique Setien-kah yang harus bertanggung jawab terhadap kemerosotan kinerja Messi?
Dinamika Barcelona
Saya melihat banyak faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan ini. Tidaklah mungkin memaksa Messi dalam usia 33 tahun memberi performa setara dengan lima tahun silam. Dengan beban memimpin tanpa pasangan yang seberpengaruh Xavi dan Iniesta, lengkaplah persoalan Messi, yang tentu memengaruhi jiwa kegembiraan dan hasratnya.
Secara keseluruhan, Barca juga sedang bergerak menuju “tim tua”. Para penggawa kunci sudah melewati angka di atas kepala tiga. Gerard Pique (33), Luis Suarez (33), Arturo Vidal (33), Ivan Rakitic (32), Sergio Busquets (31), dan Jordi Alba (31). Sementara para pemain muda seperti Riqui Puig, Carles Perez, dan Arthur Melo sebagai angkatan baru Blaugrana belum masuk ke level mereka. Arthur, yang pernah disiapkan sebagai penerus Xavi, mulai musim depan malah sudah berganti jersey Juventus lewat barter dengan Miralem Pijanic yang justru sudah memasuki angka usia 30.
Yunior yang disebut paling siap baru Ansu Fati, yang digadang-gadang menjadi calon pengganti Sang Dewa.
Dari realitas keringnya kedalaman tim, Setien menghadapi keterbatasan dalam permutasi rotasi. Bandingkan dengan Real Madrid, yang punya kedalaman skuat sehingga memungkinkan Zinedine Zidane leluasa menyusun variasi skema di setiap kebutuhan laga.
Musim dengan kondisi demikian tentu membuat Lionel Messi tidak happy. Bukan karena dia merasa lebih besar dari klub — sehingga manajemen dan pelatih yang selalu disalahkan manakala dia melempem –, namun bintang sedahsyat apa pun bakal sulit memimpin rekan-rekannya tanpa dukungan sekondan yang sepadan. Apalagi seorang olahragawan selalu menghadapi realitas alamiah usia yang terus merambat, yang pasti memengaruhi kesegaran fisik dan mentalnya.
Dan, Messi pun seakan-akan mulai berada di tepi sepi…
Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng