Oleh Marjono
DESEMBER identik bulan Ibu atau kaum hawa dan secara regular tahunan kita merayakan Hari Ibu sebagai bagian penghormatan atas perjuangan perempuan Indonesia yang telah menempuh jalan panjang dalam mewujudkan peranan dan kedudukan perempuan Indonesia dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.
Berawal dari pergerakan perempuan Indonesia yang menggelar Kongres Perempuan Pertama pada tanggal 22 Desember Tahun 1928 di Yogyakarta, yang mengusung tema sentral memperjuangkan hak perempuan dalam perkawinan, melawan perkawinan dini, dan poligami, serta memperjuangkan hak pendidikan perempuan.
Selain itu, untuk mengingatkan seluruh rakyat Indonesia akan jasa-jasa para perempuan Indonesia dalam merebut dan mengisi kemerdekaan. PHI (Peringatan Hari Ibu) juga menjadi momentum kebangkitan bangsa, menggalang rasa persatuan dan kesatuan serta gerak perjuangan perempuan yang tidak dapat dipisahkan dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Perempuan dan laki-laki sudah seharusnya memiliki Akses, Partisipasi, Kontrol dan Manfaat (APKM) dalam sumber daya dan proses pembangunan yang sama, namun dalam kenyataan di lapangan masih terjadi kesenjangan gender dalam APKM tersebut.
Hal ini masih relevan dan banyak terlihat di 12 bidang kritis kehidupan perempuan, seperti yang disepakati dalam Beijing Platform for Action (BPFA), yang merupakan kesepakatan negara-negara PBB dalam rangka melaksanakan konvensi CEDAW (Convensi on Elimination of All Form Discrimination Againts Women) pada tahun 1995 di Beijing.
Area kritis tersebut, meliputi 1) Perempuan dan Kemiskinan; 2) Perempuan dalam pendidikan dan pelatihan; 3) Perempuan dan Kesehatan; 4) Kekerasan terhadap perempuan; 5) Perempuan dalam situasi konflik bersenjata; 6) Perempuan dalam ekonomi; 7) Perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan; 8) Perempuan dalam mekanisme institusional untuk pemajuan perempuan; 9) HAM perempuan; 10) Perempuan dan Media; 11) Perempuan dan lingkungan hidup; dan 12) Anak Perempuan.
Dalam refleksi PHI Ke-96 tahun ini yang bertema,”Perempuan Menyapa, Perempuan Berdaya Menuju Indonesia Emas 2045,” kita dapat melihat esensi perjuangan perempuan masih sama, hanya konteksnya yang berbeda. Kalau 96 tahun yang lalu memperjuangkan kemerdekaan, saat ini perjuangan perempuan adalah menjawab tantangan tentang kesenjangan, ketidakadilan gender, kekerasan dan pelemahan lain yang tak sedikit dialami oleh perempuan.
Kita layak bersyukur, saat ini sudah menunjukkan beberapa keberhasilan yang bisa kita lihat bersama, antara lain: cukup banyak perempuan yang menduduki jabatan strategis di negeri ini.
13 Perempuan Menteri
Sejumlah 109 orang yang ditunjuk sebagai menteri, wakil menteri dan kepala lembaga, tercatat 13 perempuan yang masuk dalam Kabinet Merah Putih. Menteri Keuangan: Sri Mulyani Indrawati , Menteri Komunikasi dan Digital: Meutya Hafid, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi: Rini Widyantini, Menteri Pariwisata: Widiyanti Putri Wardhana dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Choiri Fauzi.
Deretan perempuan yang dipercaya lainnya, yakni Wakil Menteri dalam Negeri: Ribka Haluk, Wakil Kementerian Pariwisata: Ni Luh Puspa, Wakil Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Veronica Tan, Wakil Kementerian Pekerjaan Umum Diana Kusumastuti, Wakil Menteri Perlindungan Pekerja Migran/ BP2MI Christina Aryani.