JC Tukiman Tarunasayoga
MINGGU lalu membahas wadi, rahasia; nahh……kali ini mari kita bahas seolah-olah lawan katanya, yakni ngegla. Akar kata ngegla adalah egla, dan dari kata egla ini, terbentuklah ungkapan egla-egle.
Inilah contoh kata yang disebut dwilingga salin swara, kata yang penguacapannya berubah ketika diulang. Lihat contoh lainnya, seperti komat-kamit, wira-wiri, bola-bali, dan masih ada lainnya lagi. Ungkapan seperti komat-kamit, menunjukkan terjadinya pengulangan perbuatan atau gerakan bibir.
Ucapkan ngegla sebagaimana Anda mengatakan: “Di Sala, aku kepingin tuku kacamata.” Namun pengucapannya sedikit berubah ketika ngegla ini dikaitkan dengan egla-egle karena egla harus Anda ucapkan/baca seperti Anda mengatakan: “Saya merasa iba, tidak tega melihat korban perang seperti itu.” Sementara egle, ucapkanlah seperti Anda mengatakan “ikan lele makan tempe.”
Ngegla
Jika wadi itu rahasia, ngegla artinya katon cetha, ora kaling-kalingan; yakni nampak terang benderang, jelas tidak ada yang menutupinya. Contoh ngegla banyak sekali, seperti misalnya seseorang pasti disebut kaya raya karena mobilnya bagus, sepatunya bermerek, tas yang dicangklongnya jelas berharga, dan sebagainya.
Semuanya serba tampak dan dapat dilihat atau bahkan diraba secara jelas. Itulah ngegla, bahkan sangat mungkin orang yang menunjukkan barang-barang itu, ia sadar betul penuh kesengajaan. Memang sengaja menunjukkan bahwa dirinya kaya.
Jangankan kekayaan, orang korupsi, orang melanggar hukum pun sekarang ini banyak yang melakukannya ngegla kok, tidak perlu sembunyi-sembunyi. Ngapain harus sembunyi-sembunyi, terus terang saja dan tidak perlu ada rahasia-rahasia lagi.
Baca juga Wadi, Kudune Gawe Wedi
Rupanya memang wis tekan titi wancine, saatnya sudah tiba, sehingga siapa pun saat ini rasa-rasanya kok tidak perlu malu-malu lagi atau pun rikuh-rikuh untuk melakukannya. Kalau dirimu memang ingin korupsi, ya sudah lakukanlah saja entah bagaimana caramu. Kalau dirimu ingin menjadikan seseorang sebagai pejabat, ya silahkan saja tempuh cara dan strateginya.
Wis ta, kabeh cumepak, semua tersedia dan tinggal mainkan kartu As, beres. Nah……..sekali lagi, inilah contoh ngegla, cetha wela-wela, semuanya jelas kelihatan.
Banjur egla-egle
Salah satu godaan manusiawi (dan setanikah??) orang yang secara sengaja melakukan hal-hal ngegla seperti itu, ialah ada kemungkinan sangat besar orang itu akan bersikap egla-egle Apa maksudnya? Egla-egle itu ungkapan sangat khas dan sangat pas bagi seseorang yang karena kulina ngegla (terbiasa), orang itu selalu tampil serba lamis, serba penuh basa-basi. Kalau pun tersenyum, ya senyumnya digawe-gawe, kalau pun badannya suka menunduk-tunduk manakala bertemu seseorang, apa yang ia lakukan itu lamis.
Jadi, ngegla sangat mungkin menyiptakan sikap egla-egle, sikap srba lamis. Cerita Willi Hoffsuemmer (dalam Frank Mihalic, SVD. 2000) berikut ini mengajarkan ada makna di balik sikap lamis asal saja orang pandai-pandai menginternalisasi dirinya. Harapannya, semoga dapat diteladani oleh para pelamis Indonesia yang konon jumlahnya semakin banyak. (Hehehe maaf seribu maaf).
“Seorang pemimpin agama masih sangat muda usia, ditugaskan untuk berkotbah di hadapan penghuni penjara orang-orang kriminal. Berhari-hari ia serba keringatan menyiapkan diri dan mencari pesan yang nantinya dapat menyentuh hati. Ketika tiba saatnya memimpin ibadat, waktu memasuki pintu aula pertemuan, ia terjatuh karena jumbai pakaian ibadatnya terinjak kakinya sendiri. Melihat itu para tahanan tertawa terpingkal-pingkal. Ia bangkit dan berjalan lagi, ehhhh, terjatuh lagi. Seisi ruangan semakin meledak tawanya dan hilanglah awal suasana ibadat yang harusnya hening menjadi hiruk pikuk bahkan cemooh.
Dengan gemetaran ia menuju mimbar, memimpin ibadat, dan mengawali kata-katanya:” Saudara-saudaraku, kejadianku tadi adalah tujuan utamaku datang mengunjungi Anda dan berdoa bersama Anda hari ini. Saya ingin menunjukkan, bahwa siapa pun bisa bangkit lagi setelah terjatuh. Anda pun seperti saya ini, pasti bisa bangkit lagi meski telah terjatuh.”
Semua tepekur terdiam beberapa detik sunyi sepi. Pemimpin ibadat muda itu menangis sesenggukan karena dapat memaknai sikap lamisnya dan mulai hari itu ia bertobat tidak akan lamis lagi.
Menangis dan bertobatlah pelamis.
JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Cathlic University