Oleh Marjono
Pengalaman kakek-nenek dan orang tua saya dulu, kala tubuhnya diguncang sakit, apapun, mereka tak mau di bawa ke dokter atau rumah sakit. Pertimbangannya, tentu biayanya tidak murah. Memang ada benarnya juga, sakit itu mahal, dan sebaliknya sehat itu murah.
Mengapa demikian, karena ketika kita tak bersentuhan dengan obatan-obatan berbau medis meskipun kita punya BPJS Kesehatan, akan jauh lebih hemat jika kita pandai memanfaatkan sumberdaya alam tradisional warisan leluhur kita.
Kita maklum, bukan berarti kita antimedis, alergi jarum suntik atau fobia dengan rumah sakit atau pun puskesmas, tapi kita berjuang untuk urusan pencegahan dulu ketimbang dikit-dikit ke dokter atau paramedis lainnya.
kita sarat dengan potensi sumber daya yang bisa kita olah dan budi dayakan menjadi jamu konvensional yang tak kalah manjur dibandingkan obat-obatan dari dokter, perawat maupun paramedis lainnya.
Misalnya, pas masuk angin dikeriki pakai brambang (bawang merah), sakit pilek ya dipupuki pakai brambang dan minyak telon, sakit perut diberi ramuan dari kunyit dan madu. Untuk menghilangkan pegel linu dan meriang minum jamu cabe puyang, dan masih banyak lagi manfaat lain jamu. Belum lagi yang dikonsumsi dalam bentuk minuman seperti wedang jahe, wedang sekoteng, bir plethok, jamu jun dan lain-lain.
Itu semua merupakan ilmu pengobatan warisan budaya turun-temurun. Jadi, jamu adalah bagian dari kearifan lokal yang harus kita lestarikan, dan sangat baik ditumbuh-kembangkan karena bermanfaat bagi kesehatan.
Oleh karena itu, pemerintah terus mendorong pemberdayaan potensi sumber daya lokal untuk mewujudkan Indonesia sehat dengan jamu. Bagaimana caranya? Masyarakat didorong untuk menjaga kesehatan secara alami, dengan memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan sekitarnya.
Misalnya di setiap pekarangan ditanami sayuran dan tanaman obat keluarga (toga) yang bermanfaat untuk menunjang gizi keluarga serta melakukan pencegahan penyakit secara alami. Belum lagi kalau mau memelihara ayam atau itik, maka telur dan dagingnya juga sangat ber-manfaat untuk menunjang gizi keluarga.
Jadi, sebenarnya sangat sederhana dan mudah dilakukan, asalkan kita mau. Untuk pekarangan rumah di daerah perumahan yang umumnya sudah diplester atau diubin, juga bisa menanam dengan pot-pot dan ember bekas, atau dengan polybag.
Selain itu, menghindari bahan makanan yang memicu timbulnya penyakit dan perbanyak minum air putih. Untuk menjaga stamina dan mengobati penyakit, dapat memanfaatkan ramuan rempah-rempah dan tanaman herbal seperti jahe, kunyit, temu lawak, dan tanaman empon-empon lainnya.
Untuk itu, kita terus dorong upaya-upaya mengembangkan wacana tentang khasiat sumber daya tanaman herbal lokal, sebagai acuan dalam mengembangkan penelitian-penelitian pemanfaatan tanaman herbal lokal sebagai bahan baku obat-obatan tradisional atau jamu.
Dalam hal ini, di Kabupaten Karanganyar telah dikembangkan klaster biofarmaka dan Laboratorium Terpadu Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO2T) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang dapat diberdayakan untuk memproduksi ramuan herbal yang bermanfaat bagi pencegahan dan pengobatan penyakit.
Hindari Bahan Kimia
Namun demikian, perlu kita ingatkan kepada para pengusaha jamu, bahwa agar jamu benar-benar bermanfaat bagi kesehatan, kualitas bahan baku pembuatan jamu harus dijaga. Hindari praktik curang menambahkan bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan. Kalau itu sampai terjadi, maka justru akan menjatuhkan “citra” jamu sebagai ramuan alami yang aman dikonsumsi. Harus dijaga pula soal 3 K, yaitu kualitas, kuantitas dan kontinuitas produksi.
Industri jamu tradisional juga perlu inovasi, kreativitas, dan sentuhan IPTEK dalam pengemasan produk agar mampu bersaing dengan obat-obat modern. Kalau jamu itu disajikan apa adanya, yang beli hanya antar kita saja. Tetapi kalau dikemas secara menarik, maka bisa masuk supermarket dengan nilai ekonomis yang lebih tinggi.
Tak kurang baik kita mengajak masyarakat untuk membudayakan minum jamu dan menjadikan minum jamu sebagai gaya hidup. Artinya, minum jamu ini hendaknya kita lakukan setiap hari untuk menjaga kesehatan, mencegah penyakit, serta sebagai sarana mengobati berbagai macam penyakit secara alami, sehingga relatif lebih aman.
Tak ada salahnya kita minum jamu sekurangnya menjaga stamina tubuh agar tetap bugar dan sehat selain giat berolahraga sebagai ikhtiar kita menekan malas gerak (mager). Hal ini menjadi bagian benteng diri dari pandemi.
Dengan minum jamu, tubuh menjadi sehat. Dengan tubuh yang sehat, kita dapat melakukan berbagai aktivitas sehingga hasilnya bisa optimal. Selain itu, dengan semakin banyak masyarakat yang minum jamu, maka akan mendorong perkembangan industri jamu yang berpotensi memperluas lapangan pekerjaan dan memberdayakan para petani empon-empon di perdesaan.
Destinasi Jamu
Indonesia memiliki 2.850 lebih spesies tumbuhan obat dan 22.000 lebih ramuan obat tradisional yang sudah teridentifikasi. Indonesia menggunakan ramuan obat berbahan alam khususnya obat herbal secara turun-temurun oleh nenek moyang dalam pengobatan tradisional. Dengan nilai historis dari obat tradisional, khususnya jamu beserta potensinya, perlu untuk terus dilestarikan (https://www.itb.ac.id, 13/11/2023).
Penting kiranya selain memproduksi, kita harus memikirkan bagaimana mempromosikan jamu secara digitalisasi. Tentunya disertai peningkatan kualitas baik dalam hal mutu maupun penyajian dan kekinian. Beberapa contoh, pengemasan jamu untuk anak-anak bisa dalam bentuk roti isi jamu, es krim jamu, es jamu segar, dan hal-hal unik lainnya terkait jamu. Dengan pula pemasarannya bisa lebih variatif.
Misal tidak sekedar dijual keliling dengan digendong, menggunakan motor atau mobil, namun bisa pula dibuat semacam kafe jamu yang penyajiannya ada variasi, seperti ditambah susu, atau es, bahkan disertai iringan musik. Jika perlu ditambah semacam klinik konsultasi jamu sebagaimana sudah ada di beberapa tempat.
Maka kemudian, kemasan buah tangan (oleh-oleh) jamu perlu dipikirkan supaya atraktif. Bahkan penataan lokasi pemasaran juga harus unik, sehingga memesona masyarakat. Kalau perlu bersanding dengan lokasi wisata, atau membuat semacam pasar jamu dengan desain unik ditata seperti taman, sehingga menjadi salah satu trending destinasi wisata. Di Jateng ada sentra UMKM jamu di Nguter Sukoharjo.
Di Kota-kota besar, bisa dicoba dan dimulai di area kawasan taman-taman kota yang tentu saja penataannya mesti rapi, tertib dan memukau, ada stand jamu masa kini. Harapannya, orang tua akan mengajak anak-anak maupun kaum mudanya bermain, rileks di areal itu untuk minum jamu.
Lebih hebat lagi kalau ada upaya mengenalkan jamu dengan cara milenial, seperti lomba vlog minum jamu, jamu goes to school, dll. Dengan akses teknologi informasi dan komunikasi berbasiskan teknologi mutakhir, jamu akan mendunia dan merasuk hati seluruh masyarakat. Apalagi dalam perkembangannya masyarakat sekarang juga cenderung back-to-nature. Masyarakat semakin menyadari pentingnya penggunaan bahan alami bagi kesehatan.
Kita tahu, saat ini industri obat tradisional tengah diprioritaskan pengembangannya agar bisa menjadi sektor unggulan dalam memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Catatan dari BPOM, Saat ini produk Obat Tradisional yang beredar di Indonesia untuk kategori Fitofarmaka (Obat Tradisional yang sudah terbukti secara klinis) baru ada sejumlah 27 Merek, untuk kategori Obat Terstandar (Obat Tradisional yang sudah terbukti praklinis) 81 Merek dan kategori Jamu 11.000 Merek. Jika dibandingkan dengan obat kimia yang jumlahnya jauh lebih banyak, jumlah obat Fitofarmaka dan Obat Herbal Terstandar masih sangat sedikit (https://bbkk.kemenperin.go.id, 23/2/2023).
Menurut data GP Jamu Tahun 2021, saat ini Jumlah Industri Obat tradisional yang beroperasi di Indonesia terdiri dari 129 IOT (Industri Obat Tradisional, 757 UKOT (Usaha Kecil Obat Tradisional), 256 UMOT (Usaha Menengah Obat Tradisional), dan 17 IEBA (Industri Ekstrak Bahan Alam),
Pada 2018, industri obat nasional mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 15 juta orang. Sekitar 3 juta orang terserap di industri jamu yang berfungsi sebagai obat. Adapun, sekitar 12 juta orang terserap di industri jamu makanan, minuman, kosmetik, spa, dan aromaterapi. Pada tahun ini, kita pastikan serapan tenaga kerja sudah lebih banyak lagi dari sector ekonomi satu ini.
Jamu adalah bagian pengobatan asli Indonesia, maka kita ingin industri dan atau pengusaha jamu tetap menjaga kepercayaan masyarakat. Dan, untuk meningkatkan daya saing di pasar, penting untuk terus melakukan inovasi, sehingga bisa menciptakan produk-produk baru.
Dengan demikian, masyarakat akan selalu mencintai dan merasa memiliki atas jamu, sehingga jamu jangan sampai mengungsi di tanah sendiri. *
Marjono, Kepala UPPD/Samsat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah