Oleh : Hadi Priyanto
Wahyu demikian sapaan keseharian AKBP Wahyu Nugroho Setyawan S.I.K., M.PICT. Anak ke tiga pasangan H. Subadri dan Hj. Heni Heryanti ini lahir Jumat Wage 19 Maret 1982 di Boyolali. Ayahnya adalah seorang guru bahasa Inggris di SMP Negeri 2 Boyolali dan Ibunya bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali
Keluarga sederhana ini tinggal di Dukuh Masahan, Desa Mojosongo, Kecamatan Mojosongo, Boyolali. Di tengah-tengah suasana pedesaan di dukuh Masahan, kelurahan Mojosongo inilah pasangan H. Subadri dan Hj. Heni Heryanti tinggal dan membesarkan putra-putrinya.
Sebagaimana anak yang lahir di kampung, Wahyu sejak kecil menjalani hari-harinya dengan permainan tradisional seperti layangan, petak umpet, gobak sodor, lompat tali, dan setinan. Juga mandi di sungai bersama teman-temannya. Sungai tempat mereka bermain adalah sungai Ngaduman yang airnya waktu itu sangat jernih. Sedangkan kesukaan Wahyu yang lain adalah meniup seruling, naik sepeda atau main detektif-detektifan, Sementara makanan yang disukai sejak kecil adalah sayur bening dan telur dadar.
Keluarga pegawai negeri ini mendidik putra-putrinya dengan disiplin yang ditanamkan sejak kecil melalui keteladanan dalam sikap, perkataan dan perbuatan. Juga melalui budi pekerti yang bersandarkan pada ajaran dan nilai agama serta kesetiaan kepada bangsa dan negara yang harus selalu dijunjung tinggi dan dikedepankan dalam situasi dan kondisi apa pun.
Nasehat untuk tidak meninggalkan shalat, kejujuran, ketekunan, rendah hati, saling tolong menolong, menghormati orang tua, guru, sesame dan hidup rukun, bersahaja, sikap rendah hati selalu saja menjadi pesan bernilai dalam keluarga ini. Juga ucapan syukur kepada Allah SWT dalam kondisi apa pun.
Sementara dari neneknya Wahyu sering mendapatkan nasehat melalui dongeng-dongeng menjelang tidur. Salah satu dongeng yang masih terkenang sampai saat ini adalah dongeng Kancil yang dikisahkan sebagai hewan yang cerdik. Ada cerita Kancil dan Buaya, Kancil dan Harimau, Kancil Mencuri Timun dan kisah Kancil lainnya.
Wahyu mulai sekolah di SD ini tahun 1988 dan lulus pada tahun 1994 dengan nilai terbaik. Mendapatkan prestasi sebagai lulusan terbaik tentu Wahyu sangat senang dan bangga. Bahkan kemudian menjadi motivasi Wahyu untuk terus belajar. Wahyu kecil mempunyai cita-cita menjadi seorang dokter.
Di antara empat putra-putri H. Subadri dan Hj. Heni Heryanti, kebetulan Wahyu memiliki prestasi akademik yang lumayan bagus. Menurut ayahandanya, ini buah penderitaannya waktu kecil. Sebab saat baru saja dilahirkan, tahun 1982 ayahnya mengalami kecelakaan. Bahkan cukup lama harus dirawat di rumah sakit hingga memerlukan perhatian khusus dari ibunya. Akibatnya Wahyu harus dititipkan dan dirawat budhenya, seorang guru yang tinggal di Solo selama kurang lebih tiga bulan.
Sejak kecil Wahyu menyukai pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Karena itu ia suka membaca buku Ensiklopedia Dunia. Menurut Wahyu, melalui buku ini membuat seseorang akan mudah memahami ilmu pengetahuan dan mencari informasi dasar mengenai berbagai masalah yang terjadi di sekitarnya. Karena suka membaca dan belajar itulah yang membuat Wahyu tergolong pelajar yang pintar dan mudah menerima pelajaran dari guru-gurunya.
Di samping itu ia juga sangat disiplin mengikuti pelajaran hingga guru-gurunya sangat menyukainya. Bahkan hubungan Wahyu dengan guru-gurunya masih terjalin hingga sekarang.
Prestasi saat lulus SD ini diulang kembali oleh Wahyu ketika sekolah di SMPN 1 Boyolali tahun 1994-1997. Ia benar–benar ingat pesan ayahandanya. Jika ingin menggapai cita-cita maka harus belajar dengan tekun, rajin dan sungguh-sungguh agar mendapatkan nilai ayang baik. Bukan hanya itu, ayahnya juga mengajarkan dan menanamkan pentingnya budi pekerti. Bahkan menurut ayahnya, budi pekerti itu hal yang paling utama sebagai bekal dalam kehidupan untuk meraih kesuksesan pada masa depan.
Dengan prestasi dan budi pekerti itu menurut ayahandanya terbuka peluang untuk mendapatkan bea siswa. Maklum keluarga pasangan pegawai negeri sipil ini tergolong keluarga sederhana dan harus menyekolahkan keempat putra-putrinya. Pesan berburu bea siswa ini demikian melekat dalam perjaanan hidup Wahyu.
Ketika ia mengetahui biaya kuliah menjadi dokter sangat mahal dan tidak ada bea siswa, maka Wahyu mengubah cita-citanya, dari dokter menjadi polisi. Keinginan mengabdi sebagai Bhayangkara Negara ini juga terinspirasi oleh beberapa orang polisi Polres Boyolali yang dikenal sejak kecil. Sebab untuk menambah penghasilan keluarga, orang tua Wahyu juga menerima kost untuk karyawan. Di antaranya ada sejumlah polisi lulusan bintara baru yang bertugas di Polres Boyolali
Berbekal prestasi sebagai lulusan terbaik, setelah tamat SMP, Wahyu mendaftar dan mengikuti seleksi di SMA Taruna Nusantara di Kabupaten Magelang. Sekolah ini bercirikan kenusantaraan. Sedangkan tujuannya adalah untuk membentuk pemimpin bangsa yang berkualitas dan berkarakter yang memiliki wawasan kebangsaan, kejuangan dan kebudayaan. Alhamdillah, walaupun seleksinya sangat ketat akhirnya ia diterima di sekolah unggulan ini tahun 1997. Sekolah SMA Taruna Nusantara ini waktu itu tidak dipungut biaya.
Berkat ketekunan, kedisiplinan serta doa kedua orang tuanya, Wahyu berhasil lulus tahun 2000 dengan prestasi akademis yang cukup baik. Ia kemudian memilih mendaftar ke Akademi Kepolisian di Semarang. Kembali Wahyu berhasil melampui tahapan seleksi dan test yang sangat ketat. Berbekal doa kedua orang tuanya, kakak-kakak dan juga adiknya Wahyu berhasil lulus dari Akademi Kepolisian dengan nilai akademik yang cukup bagus.
Dengan pangkat Inspektur Polisi Dua ia ditugaskan di Polda Metro Jaya. Ada pesan dari ayahandanya yang masih diingat hingga saat ini: “Mengabdi kepada bangsa dan negara melalui institusi kepolisian dengan sepenuh hati, jiwa dan raga.
Pada tanggal 19 Desember 2003 Wahyu mulai pengabdiannya sebagai Perwira Menengah Polda Metro Jaya dan empat bulan kemudian Wahyu mendapatkan kepercayaan dalam jabatan pertama di Kepolisan. Ia dipercaya sebagai Danton I KI II Sat Dalmas Dit. Samapta Polda Metro Jaya.
Selanjutnya saat terjadi gempa Tsunami di Aceh yang sangat dahsyat dengan kekuatan 9,3 skala richter dan kemudian meluluhlantakan sejumlah daerah di Aceh, pada tanggal 25 Desember 2004 Wahyu mendapatkan tugas Bantuan Kendali Operasi (BKO) di Polda Aceh. Ia di BKO kan di Kepala Unit Satuan Tugas Yustisi. Tugas Satgas Yustisi ini adalah melakukan penegakan hukum terkait dengan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka.
Selama kurang lebih sepuluh bulan diperbantukan di daerah konflik, Wahyu kemudian kembali ditarik ke Polda Metro Jaya dan ditugaskan sebagai Kasubnit Reskrim Sat Reskrim Polres Metro Jakarta Utara hingga tanggal 13 April 2006. Sebab ia kemudian mendapatkan tugas baru sebagai Kanitreskrim Polsek Tunjung Priok, Polres Metro Jakarta Utara. Tak lama berselang, ia mendapatkan tugas baru dan ditarik ke Polres Metro Jakarta Utara dengan tugas baru sebagai Kaurbinopsnal Satshabara. Ia mulai bertugas pada tanggal 31 Juli 2006.
Selang satu bulan, pada tanggal 30 Agustus 2006 Wahyu mendapatkan tugas kembali ke almamaternya, Akademi Kepolisian dan tiga bulan kemudian mendapatkan kepercayaan sebagai Gadik Pratama II Dit Akademik Akpol Lemdikpol Polri. Selang sembilan bulan Wahyu mendapatkan tugas sebagai Danton Taruna TK I /AH Kortarsis Dit Bintarlat Akpol. Sebelumnya ia mendapatkan kanaikan pangkat yang pertama, IPTU pada tanggal 1 Januari 2007.
Pada tanggal 17 April 2009, Wahyu mendapatkan kepercayaan sebagai Danki Taruna I/AH Kortarsis Dit Bintarlat Akademi Kepolisian hingga 31 Maret 2010. Sebab setelah hampir 4 tahun bertugas di Akpol, Wahyu kemudian mendapatkan penugasan untuk mengikuti Pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Setelah menyelesaikan pendidikan, dengan gelar Sarjana Ilmu Kepolisian, Wahyu kemudian ditugaskan sebagai Pama Spripim Polri pada tanggal 20 Juni 2011 dan dua bulan kemudian mendapatkan kepercayaan sebagai Pamin pada Sekretaris Pribadi Kapolri sejak 1 Agustus 2011 dengan pangkat Ajun Komisaris Polisi.
Selanjutnya Wahyu mendapatkan kepercayaan sebagai Kaurbung Subbagbungkol Spripim Polri mulai 18 Oktober 2013 dan berikutnya sebagai Pamen di Polda Metro Jaya. Sebab waktu itu Wahyu lolos seleksi dan mendapatkan bea siswa untuk mengikuti program S2 di Macqquarie Universty Australia hingga lulus tahun 2014. Kembali dari studi ia kemudian menjadi Pamen di Polda Metro Jaya.
Pada tanggal 1 Januari 2015 ia mendapatkan kenaikan pangkat menjadi Komisaris Polisi dan tanggal 7 April 2015 Wahyu mendapatkan kepercayaan sebagai Kanit Subdit I Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. Selanjutnya ia mengikuti Sespimmen tahun 2017. Setelah selesai Wahyu kemudian di tugaskan di Polda Sulawesi Barat.
Pada tanggal 20 November 2017 ia mendapatkan kepercayaan sebagai Koorsipripim Polda Sulawesi Barat hingga 27 Maret 2018. Sebab Wahyu kemudian ditarik ke Mabes dan mendapatkan tugas baru sebagai Kaurtu Robinkar SSDM Polri. Pada saat itu ia mendapatkan bea siswa dari Bareskrim Polri untuk mengambil studi S-2 di Universitas Indonesia yang berhasil diselesaikan pada tahun 2019.
Pada tanggal 30 April 2019 Wahyu mendapatkan kepercayaan sebagai PS. Kasubbagleggasus, Baggassus Robinkar SSDM Polri dan selanjutnya pada tanggal 3 Oktober 2019 mendapatkan tugas baru sebagai PS Kasubbagmutbata Bagmutjab Robinkar SSDM Polri. Baru pada 20 April 2020 Wahyu mendapatkan kepercayaan sebagai Kasubbagmutbata Bagmutjab Robinkar SSDM Polri dan kemudian pada tanggal 1 Januari 2021 ia mendapatkan kenaikan pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP).
Lima bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 1 Juni 2021 Wahyu mendapatkan kepercayaan sebagai Kapolres Sukoharjo hingga 27 Maret 2023. Sebab kemudian ia mendapatkan tugas baru sebagai Kapolres Jepara.
Dalam perjalanan karier Wahyu sebagai anggota Kepolisian, sebagian besar waktunya banyak bertugas di Jakarta. Itu pula yang kemudian membuat pria kelahiran Boyolali ini memilih berdomisili di ibukota. Apalagi ia kemudian berkenalan dengan Septi Wulansari, seorang gadis yang bekerja di sebuah perusahaan swasta tak jauh dari tempatnya bekerja. Ia kemudian akrab disapa Wulan. Perkenalan yang terjadi saat makan siang di sebuah restoran tahun 2004 itu terus berlanjut.
Mereka kemudian sering bertemu dan bahkan kemudian ia yakin, Wulan adalah tulang rusuknya, yang diberikan oleh Tuhan untuk menjadi pendamping hidupnya. Demikian juga Wulan menganggap Wahyu adalah tempat sandaran hidup yang nyaman.
Akhirnya setelah dua setengah tahun, Wahyu dan Wulan sepakat untuk membangun mahligai rumah tangga. Mereka kemudian menikah tahun 2006. Dari pernikahan ini mereka dikarunia 4 orang anak, semuanya laki-laki. Anak pertama bernama Aqila Harun Setyadinata yang saat ini mengikuti jejak ayahnya, sekolah di SMA Taruna Nusantara. Sedangkan anak kedua bernama Kaisar Harun Setyawan siswa SMP JIBS (Jakarta Internasional Boarding School) dan adiknya bernama Judan Afkar Setyawan duduk di bangku SD Tugasku Jakarta. Sementara putra terkecil, Rafka Rafisqy Setyawan sekolah di TK Enderun Jakarta.
Walau pun tugas seringkali memisahkan Wahyu dengan Wulan dan keempat anaknya, namun ia mengaku semua bisa memahami tugasnya sebagai Bhayangkara Negara yang harus siap ditempatkan di mana saja.
Menurut Wahyu, komunikasi dengan anak bagian yang sangat penting. Karena itu ia selalu berusaha memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dengan menjaga kualitas pertemuan dan interaksi sehingga perhatian, tautan hati dan kasih sayang terus terjaga.
Bagi Wahyu, keluarga memiliki arti yang sangat besar dalam kehidupannya, termasuk dalam perjalanan kariernya. Keluarga adalah kekuatan dan sumber motivasi yang sangat bernilai. Juga kehadiran orang tua. Setelah ayahandanya berpulang kerahmatullah Desember 2020, apabila ada waktu libur, Wahyu selalu berusaha menengok ibundanya yang tinggal di Boyolali.
Selama kariernya, ia pernah ditugaskan di wilayah konflik, yaitu Sudan, Afrika pada tahun 2008. Wahyu bergabung dengan Satgas Formed Police Unit (FPU) yang merupakan bagian dari pasukan perdamaian UNAMID
Kini AKBP Wahyu Nugroho Setyawan S.I.K., M.PICT akan meninggalkan Jepara setelah bertugas selama 1 tahun 3 bulan. Ia Kembali kerumah besarnya di Mebes Polri. Disamping ada banyak catatan prestasi yang ditorehkan bersama jajarannya, Wahyu juga mengaku merasakan kehangatan yang luar biasa berada ditengah-tengah Masyarakat Bumi Kartini.
Ia mengaku tidak tahu kemana arah biduk perjalanan pengadian Wahyu sebagai Bhayangkara Negara akan berlayar setelah kembali kerumah besarnya di Mabes Polri. “ Semua saya serahkan kepada Tuhan dan pimpinan,” ujarnya
Penulis adalah Penulis Buku Mozaik Pengabdian AKBP Wahyu Nugrpho Setyawan di Bumi Kartini