Oleh Muh. Khamdan
DUET antara Natalius Pigai dan Mugiyanto yang disahkan sebagai komandan di Kementerian HAM, telah berjalan hampir 65 hari. Melalui pasangan para mantan aktivis HAM itu, Presiden Prabowo Subianto ingin mengembalikan sekaligus meningkatkan citra HAM yang semakin merosot di negeri ini.
Penunjukan menteri HAM disertai dengan keberadaan wakil menteri tersebut penting untuk menegakkan kembali sakralitas penghormatan dan pemenuhan HAM yang dalam sejumlah peristiwa terkesan dilakukan oleh penyelenggara negara.
Sayangnya, tujuan rebranding negara atas pemenuhan HAM itu seolah belum diimbangi gaya komunikasi publik yang memadai dari kementerian. Hal ini sebagaimana respon Menteri HAM saat dikonfirmasi atas konflik masyarakat adat di Muara Kate, Paser, Kalimantan Timur, dengan pelaku bisnis pertambangan.
Salahkan Media
Menteri yang pernah menjabat sebagai anggota Komnas HAM itu cenderung menyalahkan minimnya pemberitaan oleh media, dan membandingkan bahwa konflik HAM bukan sebagai kewenangan kementerian yang dipimpin.
Ekspektasi masyarakat yang ingin mendapatkan jaminan pemenuhan sekaligus peghormatan dan penegakan HAM, dapat dengan mudah mengendur. Masyarakat umum tentu memahami bahwa segala urusan di bidang HAM adalah tugas Kementerian HAM, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 139 Tahun 2024 Tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Kabinet Merah Putih Periode Tahun 2024-2029.
Melalui Perpres Nomor 156 Tahun 2024 tentang Kementerian HAM, setidaknya disebutkan dua tugas utama. Pertama, penguatan HAM melalui instrumen-instrumen HAM. Kedua, pelayanan dan kepatuhan HAM.
Mesti diakui, sebagian besar masyarakat memang masih mengalami kebingungan dalam membedakan kewenangan Kementerian HAM dan Komisi Nasional HAM (Komnasham). Kementerian sebagai eksekutif sesunguhnya memerankan tiga tanggung jawab utama negara atas HAM, yaitu menghormati dengan tidak melakukan intervensi atau pembatasan atas HAM, melindungi dengan mengambil tindakan atas segala gangguan HAM, dan memenuhi dengan mengambil langkahprogresif memberikan HAM bagi kelompok rentan tertentu. Pada posisi lain, Komnasham berperan sebagai pengawas, pemantau, sekaligus pengevaluasi kinerja pemerintah di bidang HAM.
Memperhatikan realitas konflik masyarakat adat di Paser maupun di sejumlah kawasan yang ditetapkan sebagai Program Strategis Nasional (PSN), Kementerian HAM mestinya bisa memiliki data yang sangat memadai.
Terdapat perangkat negara yang didesain dalam bentuk Pelayanan Komunikasi Masyarakat (Yankomas) di setiap daerah, bahkan menjangkau sampai ke desa untuk menghadirkan negara sampai di lapisan masyarakat paling bawah. Yankomas merupakan media pemberian layanan terhadap permasalahan HAM yang disinergikan sesuai dengan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) di setiap tahunnya.
Komunikasi publik gaya menteri HAM sebagai manifestasi negara dengan menyarankan agar langsung mengadukan ke Komnasham, setidaknya mengabaikan tanggung jawab negara. Kementerian HAM yang dikembangkan dari sebuah Direktorat Jenderal HAM, seungguhnya dapat mengembangkan sekaligus memeperkuat posisi Yankomas sebagai pemberi layanan terhadap permasalahan HAM secara massif di seluruh wilayah Indonesia.
Strategi demikian tentu sangat mudah dengan posisi sebagai menteri untuk dapat berkoordinasi langsung lintas kementerian maupun dengan seluruh pemerintah daerah.
Pembangunan HAM jelas membutuhkan terbentuknya ekosistem tersendiri. Proses pembangunan HAM itu sendiri sering dikenal dengan cakupan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM (P5HAM).
Penghormatan HAM adalah upaya menjaga diri dari pembatasan hak bagi seseorang, sedangkan perlindungan sebagai upaya aktif menjamin seseorang terhindar dari pelanggaran HAM dengan adanya pelembagaan maupun pengaturan instrumen. Kedua tanggung jawab ini jelas sebagai barometer implementasi atau pemenuhan HAM, yaitu agar setiap orang terpenuhi haknya.
Pada posisi demikian, profil pembangunan HAM menjadi penting untuk adanya data keberlanjutan dari segala bidang HAM.
Gebrakan para mantan aktivis HAM tentu sangat diharapkan dalam membuat rancang bangun pembangunan HAM itu sendiri. Bersama tim yang memiliki kepedulian serta pengalaman menghadapi advokasi bidang HAM, setidaknya terbangun optimisme kebijakan yang akan dihasilkan dari pasangan menteri dan wakil menteri dalam mengomandani Kementerian HAM.
Wakil Menteri misalnya, tentu sudah memperoleh banyak informasi tentang pola pelanggaran HAM, strategi pemenuhan HAM, maupun kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan sebagai komitmen memperkuat pemenuhan HAM di Indonesia. Apalagi sebagai praktisi dan mantan korban pelanggaran HAM, Mugiyanto sebagai wakil menteri sudah berkiprah puluhan tahun dalam program officer HAM dan Demokrasi bernama INFID.
Meniti jalan pendongkrakan citra HAM yang memburuk bukan sebuah perjalanan yang mudah. Salah melangkah mengakibatkan perjalanan menuju pemenuhan keadilan hukum dan hukum tidak akan pernah sampai. Masuknya para aktivis HAM ke dalam struktur jajaran Kementerian HAM dapat diseimbangkan dengan posisi satgas pemenuhan HAM yang memiliki beberapa prioritas kerja untuk mengkoordinasikan semua ekosistem birokrasi, ekosistem politik, ekosistem ekonomi, ekosistem pendidikan, ekosistem keagamaan, dan ekosistem aparat penegak hukum agar terhindar dari tindak pelanggaran HAM.
Oleh karenanya, momentum penataan dan pembangunan pondasi birokrasi di Kementerian HAM mesti dilakukan guna merubah citra buram HAM yang selalu mendapatkan pembenaran di masyarakat.
Muh. Khamdan, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pembina Paradigma Institute