Oleh Bonita Tessa Islamy dan Rezka Audi Setiawan
MENINGKATNYA prevalensi penggunaan rokok elektronik (e-cigarette) di Indonesia memicu kekhawatiran besar di kalangan masyarakat terkait dampaknya terhadap kesehatan. Rokok elektronik diperkenalkan pertama kali pada tahun 2003 oleh seorang apoteker visioner asal Tiongkok, yang kemudian menjadi inovasi yang mengubah paradigma konsumsi tembakau.
Dalam waktu singkat, pada tahun 2014, produk ini telah berkembang menjadi fenomena global yang mengubah lanskap industri rokok tradisional. Berbeda dari rokok konvensional yang dibakar, rokok elektronik menggunakan teknologi daya listrik isi ulang, menghadirkan pengalaman merokok yang lebih modern dan futuristik. Tren ini mencerminkan evolusi gaya hidup sekaligus menimbulkan tantangan baru di bidang kesehatan masyarakat.
Namun, di balik kemajuan teknologi dan daya tarik rokok elektronik sebagai alternatif, ancaman kesehatan tetap menjadi isu serius yang tidak boleh diabaikan. Meski berbeda dari rokok konvensional, rokok elektronik tetap melibatkan paparan zat-zat berbahaya yang dapat merusak tubuh manusia.
Asap dan uap yang dihasilkan mengandung partikel kecil yang, ketika dihirup, dapat memicu peradangan, merusak DNA, dan meningkatkan risiko kanker. Data dari Globocan 2018 mencatat bahwa kanker paru menjadi penyebab utama kematian akibat kanker di Indonesia, dengan kontribusi sebesar 12,6% dari total kematian.
Lebih mengkhawatirkan lagi, laporan American Cancer Society (ACS) tahun 2021 menunjukkan bahwa 85-90% kematian akibat kanker paru di dunia disebabkan oleh kebiasaan merokok, baik melalui rokok konvensional maupun elektrik.
Dampak ini mencerminkan eksternalitas negatif produk tembakau yang tidak hanya mengancam kesehatan individu, tetapi juga membebani sistem kesehatan masyarakat.
Dalam menghadapi tantangan ini, langkah strategis diperlukan untuk memitigasi dampak buruk rokok, salah satunya melalui optimalisasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT).
Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.07/2021, pemerintah menegaskan pentingnya alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk sektor kesehatan, termasuk mendukung Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Sebanyak 40% dari DBH CHT difokuskan pada peningkatan fasilitas kesehatan, memperkuat layanan promotif dan preventif, serta membiayai iuran JKN bagi masyarakat kurang mampu.
Komitmen Pemerintah
Kebijakan ini tidak hanya mencerminkan komitmen pemerintah dalam mengatasi dampak buruk produk tembakau, tetapi juga menciptakan peluang untuk memperkuat sistem kesehatan yang lebih tangguh dan inklusif.
Langkah strategis dalam pengelolaan DBH CHT melibatkan koordinasi pemerintah dengan pemangku kepentingan, membantu masyarakat kurang mampu, dan mengacu pada regulasi seperti PMK No. 222/PMK.07/2017.
Fokus utamanya adalah peningkatan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) sebagai garda terdepan JKN, pelatihan tenaga medis, dan layanan deteksi dini terhadap dampak rokok.
Dalam konteks rokok elektrik, pengelolaan DBH CHT juga dapat mendukung langkah-langkah mitigasi dampak kesehatan. Mengacu pada kajian Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian Setjen DPR RI dalam Buletin APBN, menunjukkan bahwa kebijakan kenaikan tarif cukai tembakau berkontribusi signifikan pada pengurangan prevalensi merokok.
Misalnya, pada 2021, peningkatan tarif cukai berhasil menurunkan persentase perokok usia ≥15 tahun menjadi 28,96% dari 32,20% pada 2018 (BPS, 2024). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang tepat dapat menjadi alat efektif untuk menekan konsumsi tembakau, termasuk rokok elektronik.
Pengelolaan DBH CHT yang tepat juga memberikan dampak langsung di daerah, seperti yang terlihat di Kabupaten Tulungagung. Dengan total penerimaan Rp34.799.106.000, berdasarkan PMK No. 6 Tahun 2024, sebanyak 40% dari dana tersebut dialokasikan untuk sektor kesehatan, termasuk pemberian lebih dari dua miliar rupiah kepada RSUD Dr. Karneni Campurdarat.
Dana ini digunakan untuk pengadaan alat diagnostik modern, perangkat operasi, dan fasilitas medis lainnya guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Contoh ini menunjukkan bagaimana kebijakan fiskal yang tepat sasaran dapat memberikan dampak positif langsung pada masyarakat, menciptakan layanan kesehatan yang lebih memadai, dan mendukung kesejahteraan jangka panjang. Kabupaten Tulungagung menjadi bukti bahwa dengan pengelolaan dana yang efektif, sinergi antara kebijakan dan kebutuhan masyarakat dapat terwujud.
Dapat disimpulkan bahwa meningkatnya penggunaan rokok elektronik di Indonesia membawa risiko kesehatan serius, termasuk kanker dan kerusakan DNA, yang pada akhirnya memberikan tekanan besar pada sistem kesehatan masyarakat. Kebijakan fiskal melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) telah menunjukkan efektivitas dalam mendukung sektor kesehatan, seperti penguatan fasilitas medis dan pembiayaan JKN.
Contoh nyata implementasi di Kabupaten Tulungagung membuktikan bahwa pengelolaan dana yang tepat dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan edukasi rutin kepada masyarakat melalui kampanye promotif dan preventif oleh para ahli kesehatan, yang bertujuan meningkatkan kesadaran tentang risiko kesehatan dari rokok elektronik.
Selain itu, kolaborasi multisektoral antara pemerintah, lembaga kesehatan, dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan sistem kesehatan yang lebih inklusif, tangguh, dan responsif terhadap dampak buruk produk tembakau. Upaya bersama ini diharapkan mampu menekan prevalensi penggunaan rokok elektronik dan memperkuat kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.
Bonita Tessa Islamy dan Rezka Audi Setiawan Mahasiswi Universitas Indonesia, Ilmu Administrasi Fiskal (2022)