blank
Ilustrasi seorang Kiai dan Biksu (Foto: Iqra)

Oleh: Dr. Muh Khamdan

Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia, memiliki tantangan dan peluang besar dalam menciptakan kebebasan beragama yang inklusif dan harmonis.

Salah satu indikator penting yang mengukur sejauh mana kebebasan beragama di suatu negara adalah Indeks Kebebasan Beragama yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga internasional. Mencapai skor yang tinggi dalam indeks ini memerlukan usaha bersama, dan Indonesia berpotensi besar untuk meraihnya.

Salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah melalui penguatan moderasi beragama, yang bukan hanya penting untuk menjaga stabilitas sosial, tetapi juga untuk mempromosikan toleransi dan keberagaman.

Dalam konteks ini, perayaan Natal di Indonesia, yang baru saja berlangsung, bisa dijadikan titik refleksi untuk melihat bagaimana toleransi dan moderasi beragama dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Natal, sebagai perayaan agama Kristen, selalu menjadi momentum untuk mengingatkan kita akan pentingnya kasih sayang, perdamaian, dan saling menghormati. Di tengah keberagaman Indonesia, Natal bukan hanya menjadi momen bagi umat Kristen, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk memperkuat semangat kebersamaan.

Salah satu contoh konkret dari penerapan moderasi beragama dapat ditemukan di daerah Jepara, khususnya di desa Blingoh dan Plajan. Desa-desa ini, meskipun memiliki latar belakang keberagaman agama yang signifikan, berhasil menciptakan harmoni antar umat beragama yang patut dicontoh.

Masyarakat di Blingoh dan Plajan memiliki komitmen untuk menjunjung tinggi prinsip toleransi, dengan saling menghormati kebebasan beragama masing-masing, serta bekerja sama dalam berbagai kegiatan sosial dan budaya.

Di desa Blingoh, misalnya, umat Muslim dan Kristen tidak hanya berdampingan dengan damai, tetapi juga bekerja sama dalam berbagai kegiatan sosial, seperti perayaan hari besar keagamaan, gotong royong, dan kegiatan pembangunan desa.

Masyarakat yang merupakan warisan peninggalan dari Kerajaan Kalingga pimpinan Ratu Shima sekitar abad ke-9 ini, memiliki demografi masyarakat muslim, katolik, protestan, dan Budha yang sangat majemuk. Masing-masing juga dikenal sebagai basis penyebaran agama di Jawa Tengah bagian Utara.

Jepara bagian Utara yang berbatasan dengan Kabupaten Pati itu, dapat dengan mudah ditemukan pusat dakwah Kaum Muslim sekaligus pusat penyebaran agama Budha dan Kristen. Kantor pusat (sinode) Gereja Injili di Tanah Jawa atau GITJ berada di Pati, sehingga sangat memengaruhi corak beragama di Jepara bagian utara.

Tak heran, di Jepara terdapat sosok Penginjil pribumi Jawa yang cukup berpengaruh bernama Kiai Ibrahim Tunggul Wulung pada awal tahun 1854, dan dimakamkan di Desa Bondo. Di Jepara juga terdapat Paroki Stella Maris Jepara sebagai cikal bakal Kekatolikan di Jawa Tengah pasca kekuasaan J.P Coen yang melarang agama Katolik dalam kekuasaan Hindia Belanda.

Sebagai refleksi Natal, perlu penguatan dan penyadaran umat beragama untuk saling mendukung dan menghormati hak satu sama lain dalam menjalankan ibadah.

Keharmonisan ini tidak datang dengan sendirinya, melainkan melalui proses panjang yang melibatkan dialog antar umat beragama, edukasi tentang moderasi beragama, serta pembentukan ruang-ruang kolaborasi sosial. Model Desa Blingoh dan sejumlah kawasan di Jepara bagian Utara telah menggambarkan bagaimana moderasi beragama dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

Melalui dialog dan kerja sama lintas agama, desa-desa yang patut dijadikan sebagai desa toleran dan penjunjung hak kebebasan beragama itu telah berhasil menciptakan suasana yang kondusif bagi perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya. Dengan adanya kerja sama yang saling mendukung, masyarakat di sana berhasil menunjukkan bahwa perbedaan agama bukanlah penghalang, melainkan kekuatan untuk menciptakan keberagaman yang harmonis.

Potensi model ini untuk diterapkan secara lebih luas di Indonesia sangat besar. Sebagai negara dengan beragam suku, agama, dan budaya, Indonesia membutuhkan lebih banyak contoh nyata tentang bagaimana moderasi beragama dapat memperkuat kebebasan beragama, mengurangi potensi konflik, dan menciptakan kedamaian.

Desa Blingoh dan Plajan, dengan keberagaman mereka yang dijaga dengan penuh keharmonisan, adalah model yang tepat untuk diaplikasikan di banyak daerah lain. Terlebih dalam kunjungan pertama kali ke Jepara, Mugiyanto sebagai Wakil Menteri HAM, secara tegas menyatakan bahwa salah satu yang akan diperjuangkan adalah hak kebebasan beragama di Indonesia. Hal itu tentu mendapatkan refleksi dari perkembangan sejumlah aksi pelarangan atasnama agama di desa kelahirannya, Dermolo.

Refleksi Natal mengingatkan kita akan pentingnya moderasi beragama sebagai jalan menuju kebebasan beragama yang sesungguhnya. Pencapaian indeks kebebasan beragama yang lebih tinggi di Indonesia tidak hanya akan meningkatkan reputasi internasional negara ini, tetapi juga akan memperkuat fondasi sosial yang inklusif dan harmonis.

Jika lebih banyak desa dan komunitas seperti Blingoh dan Plajan yang mengadopsi nilai-nilai moderasi beragama, Indonesia akan semakin dekat pada tujuan untuk menjadi negara dengan kebebasan beragama yang tinggi dan masyarakat yang damai.

Dalam semangat Natal dan kebersamaan, mari kita semua berkomitmen untuk terus memperjuangkan moderasi beragama dan kebebasan beragama di Indonesia, demi masa depan yang lebih harmonis bagi seluruh lapisan masyarakat.

[ Dr. Muh Khamdan Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Widyaiswara Badiklat Kumham Jawa Tengah, dan Instruktur Nasional Moderasi Beragama]