blank
Vihara Jayanti yang penuh nilai sejarah. Bhiksu yang menjalankan tradisi thudong selalu singgah di vihara kuno ini. Foto: Heri Suyanto

Vihara Jayanti ini selalu disinggahi para biksu dari luar negeri yang jalan kaki menuju Borobudur menjelang perayaan Waisak, yang kita kenal dengan sebutan thudong.

Rombongan Deswita Pudakpayung inii, langsung belok kiri menuju Curug Kedung Kudu, dengan jarak tempuh sekitar satu kilometer.  Di sepanjang jalan, diwarnai pipa pipa tua air minum peninggalan Belanda.

Setelah hampir setengah perjalanan, mereka temukan turunan bertrap trap, yang dinamakan Ondo Rante. “Karena turunan sangat berbahaya, dengan hilangnya rantai rantai untuk pegangan, rombongan tidak kami ajak ke sana, ” tutur Devie, penunjuk jalan dari Deswita Pudakpayung.

Rombongan terus melanjutkan perjalanan, menuruni turunan tajam, sebagian bertrap trap, berkelok, di mana sebelah kanan jalan dihiasi tebing curam dan membahayakan. Bahkan sebagian ada jalan berlubang tergerus air. “Lubang seperti ini membahayakan wisatawan, ” kata Devie.

Sebelum mencapai curug, di depan mata terbentang sebuah jembatan peninggalan Belanda. Jembatan ini dinamai Jembatan Sikopyah, menghubungkan Pudakpayung-Pakintelan, Gunungpati. Di sini pengunjung bisa mengabadikan pemandang dengan kamera, dan bisa berswafoto dengan latar belakang pemandangan  alam serta di bawah adalah Kali Garang, dengan bebatuannya.

Setelah melepas penat di situ, belok kiri untuk menuju Curug Kedung Kudu. Di sini trek jalannya sangat menantang. Bagi yang tidak terbiasa, akan bermandikan peluh.

Kepenatan, akan sirna, manakala sudah sampai di curug. Jarak beberapa meter, sudah terasa udara yang berbeda. Apalagi setelah menyentuh air curug, membasuh muka, atau sekalian mandi. “Bagi yang haus, bisa minum air dari pancuran, ” kata Lurah Pudakpayung, Pamirah.