ILustrasi. Reka: wied SB.ID

JC Tukiman Tarunasayoga

SAYA tergolong orang yang meyakini bahwa tidak ada hal yang sama sekali baru di muka bumi ini. Dulu pernah ada atau terjadi. Sekarang hal itu mungkin terjadi lagi, diperbaiki, disempurnakan, di-refresh, dikemas dengan kemasan baru, dan sebagainya. Intinya, tidak ada sesuatu pun yang sama sekali belum pernah ada, kecuali memang Allah berkehendak lain.

Ambil saja contoh yang sebutlah dalam sepuluh tahun terakhir ini sangat dikenal masyarakat, yaitu penggunaan kata berikut pemaknaannya: buzzer. Barukah kata buzzer ini? Tidak. Aspek apa yang mungkin dianggap baru? Salah satunya ialah aspek penerapannya atau cara memaknainya.

Bukankah di zaman now ini, bila kita mendengar buzzer disebut-sebut; orang lalu “melayang” memersepsikannya buzzer adalah  suatu kelompok orang dengan kegiatan sehari-harinya bla….bla…….bla……

Persepsi selanjutnya:  pasti sekurangnya ada dua kubu yang saling  bla……bla……bla….. entah itu saling bertentangan, entah pula saling berargumentasi; bahkan mungkin saja saling mengejek-menjelekkan.

Akar arti

Asal katanya buzz, dan Ketika dikaitkan dengan perangkatnya atau mungkin dengan orangnya, jadilah buzzer. Buzz itu artinya dengung(an), dan karena yang biasa berdengung itu lebah, maka dikaitkanlah dengan bunyi yang ditimbulkan atau terjadi manakala lebah itu terbang.

Berdengung, berisik, seolah-olah memanggil. Tidak cukup sampai di situ. Dengungan itu dapat juga dimaknai mengancam bagi yang takut jangan-jangan nanti lebah itu menyengat. Berisiknya mengganggu.

Konteks sekarang, orang disebut buzzer manakala dia ngung….. ngung…… ngung….., berisik,  malah mungkin setengah teriak dan terus melanjutkan bla …..bla……bla……

Dulu yang melakukan ngung…..ngung…..ngung  itu lebah (sebenarnya sampai sekarang suara lebah tetap seperti itu). Dewasa ini sejumlah orang menirukan lebah itu dengan bahasa manusia; karena itu ngung……. ngung……. ngungnya ya menggunakan bahasa manusia.

‘Ason-ason’

Buzz(er) yang konon bahasa Inggris itu, ada padanan sangat kontekstual dalam bahasa Jawa, yaitu ason-ason. Kata ason-ason sendiri tergolong tembung lawas yang besar kemungkinan tidak sangat dikenal dewasa ini. Makna ason-ason ialah mbeburu nganggo asu, berburu menggunakan jasa anjing.

Baca juga Empat -al Modal Nakal: mBegal, nJegal, Nyrekal, dan Mengkal

Kegiatan berburu seperti itu pasti masih sangat dikenal sampai sekarang, pun juga menggunakan jasa anjing juga sangat dipraktikkan oleh banyak pihak. Hanya istilah ason-ason saja yang agaknya kurang dikenal.

Akar kata ason-ason adalah asu, anjing. Karena jumlah anjing yang dipakai untuk berburu mungkin lebih dari satu, dipakailah kata ason-ason. Sangat mungkin juga, petani yang memanfaatkan jasa anjing untuk berburu membuat replika atau sebutlah patung anjing dan di tempatkan di beberapa sudut ladang. Nah……..barang yang dibuat mirip asu itulah disebut juga ason-ason.