“Lah mbuh, takon’o sing duwe akun, kok aku?” Jelas Gibran
sembari berjalan; menjawab permintaan klarifikasinya wartawan terhadap tuduhan bahwa dirinya merupakan pemilik akun Kaskus Fufufafa. Tentu, respon Gibran tersebut mengundang banyak tanggapan dan coraknya beragam. Meski beragam namun bila disimpulkan mengerucut pada dua sikap, yakni “percoyo” (percaya penjelasan Gibran) dan “paido” (tidak percaya).
Selain subtansi sikap, ungkapan bagaimana publik menyampaikan tanggapan juga menarik dicermati. Diksi tersaji dari kata santun bijak, intelek akademis, hingga (terkesan) sarkastik menghakimi.
Ragam tanggapan dan cara mengungkapkan tersebut membawa alasan pembenar masingmasing. Meski terbelah dalam dua kutub diametral, namun fokus awal mereka berangkat satu, yakni faktor Gibran berikut cara (Gibran) memberikan tanggapan atas kecurigaan yang ter alamatkan kepadanya.
Proses lamban pihak Gibran merespon berikut cara menjawab dengan (kesan) sambil lalu menjadi alasan pihak “Pro” untuk memberikan stempel setuju pada sikap yang dianggapnya penuh kehati-hatian. Namun, pada pihak yang berseberangan, sikap tersebut justru menjadi penanda kalau yang bersangkutan memiliki masalah yang berhubungan dengan moralitas. Sikap tersebut mereka anggap menyuguhkan pembuktian bahwa standar moral pemimpin negara tertinggi kedua, Wapres RI, yakni kejujuran tidak dimiliki.
Pemilihan kata (diksi) juga bisa menjadi pintu pembuka debat bagi mereka yang berseberangan. “Lah mbuh, takon’o sing duwe akun, kok aku?” menjadi mantra “sengsem” (daya pikat) bagi pendukung. Diksi tersebut dianggap sebagai indikator kepolosan (kejujuran) dari pengucapnya bahwa dia (Gibran) bahwa dia bukan pemilik akun Fufufafa yang mengundang kehebohan.
Pemaknaan berbeda disimpulkan oleh kubu lawan pendukung. “Mbuh” kependekan dari kata “embuh” yang berarti tidak tahu. Diksi ini seringkali dikesankan sarkastik atau “urakan” oleh lawan bicara. Kata tersebut juga rawan ditafsirkan bentuk mengecilkan persoalan. Tentu ribuan postingan kalimat tidak senonoh dan menghinakan banyak orang yang disebut sangat sulit diterima oleh pihak kontra sekedar ditanggapi dengan kata pembuka “mbuh”. Semakin tidak bisa diterima ketika siapa yang mereka yakini pemilik akun dan siapa diantara yang dihinakannya akan bersanding dalam kursi pelaminan kekuasaan selama 5 tahun.
Adu stamina mengusung pendapat benar versi masing-masing mungkin belum segera
menemukan ujungnya. Demikian itu berarti bahwa menarik urat leher kemarahan bisa memakan waktu bulan dan bahkan tahun ke depan. Resonansi persoalan semakin keras terdengar, demi pokok persoalan bersinggungan dengan hasrat politik, libido kekuasaan, dan orang-orang berkuasa. SBY, Agus Harimukti, serta Partai Demokrat dihina. Prabowo, serta keluarganya (anak dan istrinya) dinistakan.
Alam akan menemukan cara untuk mengungkap kebenaran. Siapa yang salah dan benar akan telanjang dipertontonkan. Artinya pihak salah (pembohong) akan diperlihatkan bagaimana label kehinaan tak bisa ditutup dengan kesantunan dan kelembutan rekayasa saat berhadapan dengan orang lain. Dari segala penjuru pintu penghakiman akan dibuka, termasuk dari kelompok dan dirinya sendiri. Jelasnya, kasus Fufufafa pasti akan berakhir dengan bentuk penyelesaian seperti apa yang dikehendaki oleh pemilik akun.
Lantas bagaimana publik diluar kelompok pro dan kontra menjadikan kasus Fufufafa sebagai kearifan hidup. Tulisan ini menyuguhkan fenomena “ludah jatuh” sebagai penuntun moral bagaimana mencegah kasus serupa terjadi.
Dipandang dari desain komundikasi, ludah ditempatkan pada estetika sempurna. Disimpan pada tempat tersembunyi dari pandangan dan pamali untuk sengaja dikeluarkan; apalagi sembarangan. Ludah memiliki bayak tugas, diantaranya menjaga harmoni mulut empunya agar harum saat berbicara. Ia setia pada tugas – tugas itu, namun karena satu dan lain hal, bisa keluar dengan cara melompat. Demikian itu terjadi karena dia merasakan hawa panas emosi negatif pemiliknya.
Filsafat tersebut menuntun kita pada kearifan hidup yang mesti diperjuangkan. Diperjuangkan karena pesan moral yang dimilikinya sarat dengan energi positip pengasuhan yang memproduksi kesantunan tulus dan kedewasaan hidup bermasyarakat.
Dalam perspektif orang terludahi, jatuhnya ludah bisa meninggikan dan merendahkan derajat. Meredahkan derajat terjadi tatkala pesan (negatif) ludah disikapi dengan amarah dan perasaan terhina. Sementara, ludah meninggikan derajat, tatkala jatuhnya disikapi dengan kedamaian hati. Dalam kasus Fufufafa, kita akan segera mengetahui, seperti apa pengarus “ludah” pada Prabowo, SBY, AHY, Syarini dan yang lain.
Masih dalam perspektif orang terludahi, kemampuan mengelola emosi negatif lawan melalui ludah merupakan kemampuan yang mahal harganya. Itu artinya, siapapun yang mampu menahan diri dari prasangka buruk saat melihat ludah lawan, maka dia akan terlihat berkelas dimata siapapun, termasuk oleh pihak lawan. Pernyataan Prabowo bahwa dirinya “tidak ambil pusing” terhadap kasus hinaan pada diriya jelas menunjukkan kelasnya sebagai pemimpin. Sikap itu layak mendapat pujian.
Renungan lain menjadi pelajaran bagi pemilik ludah. Dua hal perlu menjadi pegangan agar selalu berhati hati dan senantiasa menguatkan stamina untuk menjaganya dari pandangan pihak lain. Pertama esensi kegawatan ludah dan kedua lokasi pengrusakannya. Kegawatan ludah tidak terletak pada bentuk fisik ludah atau bahkan unsur pembuatnya, melainkan pada pesan yang menyertainya. Sedangkan lokasi jatuhnya ludah tidak penting dimana hinggap, karena begitu ludah keluar maka saat itu pula pengrusakan dimulai. Dimanapun ludah jatuh, pesannya akan sampai ke hati penerima.
Manusia hidup) mengikatkan dirinya pada dua hal prinsip terkait dengan komunikasi. Pertama tidak mungkin tidak akan berkomunikasi dengan pihak lain dan kedua keberhasilan (komunikasi) diukur dari seberapa besar penerimaan lawan terhadap dirinya.
Ludah jatuh menuntun kedua belah pihak komunikan melatih diri menunaikan tugas sosialmasing – masing. Pemilik ludah belajar arif menggunakan (kritikan), sedangkan pihak yang lain (terludahi) dilahih merawat sumbu kesabaran saat menerima masukan.