Degradasinya sejumlah point atas 60-an piagam palsu dalam PPDB tahun ini di Jawa Tengah atau pun kemurungan ini mengingatkan saya pada Presiden Sukarno, yang pernah mengatakan, “Belajar tanpa berpikir tidak ada gunanya, tapi berpikir tanpa belajar sangat berbahaya!”
Kemudian kalimat yang bernyawa lainnya dari Putra Sang Fajar ini, yakni “Pengalaman adalah guru, adalah pedoman, adalah kemudi yang sangat berharga. Pengalaman yang tidak diperhatikan akan menghantam roboh kita sendiri.”
Dalam pemikiran saya, peristiwa ini harus menjadi lesson learn bagi semua pihak. Jangan asal tuntut, tidak boleh asal demo, jangan sampai otak tertindih otot. Semua ada pelajaran di baliknya. Karena kala kita memaksakan diri jelas hanya akan semakin menjauhkan anak-anak kita dari peneguhan cita-citanya.
Sekarang saatnya, praktik piagam palsu dalam PPDB ini harus dihentikan, karena penggunaan piagam palsu sama halnya melakukan praktik korupsi. Maka di sini penting adanya pendidikan karakter berikut revolusi mental bagi semua pihak. Pendidikan karakter ini sekurangnya akan melempangkan pendidikan antikorupsi sebagai sebuah gerakan budaya dalam menumbuhkan nilai antikorupsi sejak dini.
Secara faktual, kita menyaksikan kasus-kasus korupsi kian marak, meluas dan beragam, serta perilaku saling tidak percaya, saling menyalahkan, lepas tanggungjawab, mencari jalan pintas, arogan, inkonsisten, dan rupa-rupa perilaku tak pantas lainnya kian menyesakkan dada, kita sadar budaya antikorupsi kita menghilang. Termasuk pemaksaan kehendak pemegang piagam palsu diterima di sekolah impiannya.
Sumber kehebohan soalan korupsi adalah hilangnya nilai-nilai antikorupsi (jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggung – jawab, kerja keras, sederhana, berani, adil) dari dalam diri individu. Maka berani jujur jika piagam itu diragukan keabsahannya (palsu) menjadi penting sebagai bagan edukasi bagi khalayak dan kaum muda kita di masa mendatang.
Kita tak pernah melupakan nilai jujur dan keberanian bapak pendidikan, Ki Hajar Dewantara. Kejujuran itu terus dan akan selalu menggenang di dada ini. Dia pernah membuat tulisan bertajuk “Als berjudul Als ik een Nederlander was (Andai Aku Seorang Belanda) yang dimuat di surat kabar De Express milik Indische Partij pada 1913. Tulisan tersebut mengkritik keras penguasa kolonial Belanda yang hendak mengadakan pesta kemerdekaan, namun biayanya didapat dengan menarik upeti dari pribumi.
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya,” demikian salah satu kalimat tulisan Ki Hadjar Dewantara.
Atas sikap keberanian dari kejujuran yang ia tuangkan dalam tulisannya. Budaya inilah yang patut kita rawat dan contoh demi kebaikan bersama, walaupun Ki Hajar Dewantara diasingkan tetapi ia memanfaatkannya untuk aktif mengikuti suatu organisasi.
Dan di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akta, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya.
Slawi hampir malam, dengan atau tanpa piagam pada PPDB, tetaplah berspirit, bersenyum, berpengharapan tanpa berairmata. Kata Arai dalam film Laskar Pelangi, “Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi- mimpi itu.”
Marjono, Pendamping Desa Miskin Indonesia Angkatan I