Pentas Wayang Potehi di Kampung Petemesan dalam festival Iki Buntu: Fest I menarik banyak anak-anak kampung yang tertarik dengan warisan budaya asal Tionghoa ini. Foto: Hysteria.

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Kampung Petemesan, merupakan salah satu daerah kampung-kota yang telah lama berjejaring dengan Kolektif Hysteria, Semarang, setidaknya sejak tahun 2012 silam.

Terletak di tengah Kota Semarang dan masuk dalam Kelurahan Purwodinatan, RT 003/ RW 004, Kecamatan Semarang Tengah, Jawa Tengah, Kampung Petemesan memiliki bentuk geografis yang unik.

Pasalnya, berdasarkan peta Kolonial, wilayah Kampung Petemesan hanya sebatas satu garis lurus dengan ujung gang buntu dan diapit oleh banyaknya gudang industri yang terletak di Gang Bubakan dan Petolongan yang sebenarnya masih satu wilayah administrasi.

Hal tersebut diungkapkan oleh Nella Ardiantanti Siregar selaku Program Manager PekaKota, sebuah platform yang membawahi Program Purwarupa dari Kolektif Hysteria Semarang.

“Sebenarnya secara administratif, Kampung Petemesan tidak hanya satu garis lurus itu. Dia meliputi beberapa wilayah yang ada di sebelahnya. Namun, menurut peta Kolonial, daerah Petemesan dulunya ya hanya satu line itu yang berujung pada gang buntu,” terang Nella, Selasa 16 Juli 2024.

Letak geografis tersebut kemudian dikatakan Nella, menjadi salah satu alasan diangkatnya tema tersebut. Di mana sering didapati masih banyak orang ‘kecelik’ saat melalui jalan tersebut, karena mengira akan tembus ke akses jalan lain, padahal buntu.

“Itulah, kenapa kami mengambilnya tema ‘Iki Buntu: Fest I’, karena seringnya orang yang lewat jadi kecelik tadi,” kata Nella.

Dalam festival yang digelar selama dua hari, pada hari Sabtu 13 Juli 2024 dan Minggu 14 Juli 2024, Nella menyebut bahwa Kolektif Hysteria menghadirkan kembali tontonan yang sudah tidak ada lagi di Petemesan, yakni Wayang Potehi.

Nella menjelaskan bahwa Wayang Potehi dulunya adalah salah satu kesenian rakyat yang berasal dari Kp. Petemesan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, gelaran wayang yang dibawa oleh warga Tionghoa dari daratan China itu sudah tidak ada lagi.

“Wayang Potehi dulu berasal dari sini. Tapi sekarang sudah punah,” kata Nella lagi.

Hal itu dibenarkan oleh Alyanisa Lintang, selaku salah satu Kepala Proyek ‘Iki Buntu: Fest I”. Alya mengatakan bahwa Wayang Potehi Tek Gie Hien, berasal dari Gang Pesantren No.326.

“Sebenarnya, mereka (kelompok Wayang Potehi Tek Gie Hien) nggak punya tempat khusus untuk sanggar. Tetapi memang awalnya memakai rumah keluarga di Gang Pesantren No.326 untuk menaruh barang-barang pertunjukan,” kata Alya. “Untuk latihannya justru sering di Klenteng Tay Kak Sie, Semarang,” lanjut dia.

Alya, begitu ia sering disapa, menjelaskan bahwa Wayang Potehi Tek Gie Hien sudah ada sejak 1960-an di Kota Semarang. Di mana pertama kali didirikan oleh WS. Thio Tiong Gie, atau Teguh Chandra Irawan.

“Jadi Thio Tiong Gie meninggal pada 20 Agustus 2014, lalu diteruskan oleh anak kelimanya, Thio Hauw Lie atau Herdian Chandra Irawan yang sekarang jadi dalangnya,” ungkap Alya.

Kedatangan gelaran Wayang Potehi nampak begitu dinantikan oleh warga sekitar. Hal tersebut terlihat dari banyaknya warga yang menonton takzim cerita yang dibawakan oleh si dalang saat pementasan berlangsung. Baik itu tua dan muda, bahkan hingga anak-anak kecil.

“Kemarin rame banget sih. Bahkan anak-anak kecil mengerumuni dan nonton di depan panggung sampai selesai,” paparnya.

Wayang Potehi Tek Gie Hien membawakan lakon berjudul “Pui Se Giok”. Sebuah cerita tentang Pui Se Giok, seorang ahli beladiri kungfu dari Dinasti Qing yang memperjuangkan keadilan dan membela kelaliman.

Cerita tersebut menjadi salah satu kisah legendaris turun temurun yang menonjolkan bakti, persahabatan, kesetiaan, serta semangat juang.

Meski ini pertama kali mengadakan festival dengan mendatangkan pagelaran Wayang Potehi, Alya mengatakan jika upaya tersebut diharapkan bisa membawa nostalgia warga setempat, supaya tidak melupakan salah satu kesenian lokal yang dulunya tumbuh subur di daerah tersebut.

Sementara itu, berbicara tentang Kampung Petemesan, Nella menegaskan bahwa festival kali ini memiliki sub judul ‘Ngulik’. Sebab, setelah berjejaring dengan Kolektif Hysteria selama hampir 12 tahun, ini kali pertama diadakan festival kampung di daerah tersebut.

“Jadi kita juga masih ‘mengulik’ terkait potensi apa saja yang bisa kita olah bersama di Petemesan. Khususnya perihal tradisi, budaya maupun kesenian terhadap hubungannya dengan wacana kampung-kota, seperti jejaring kampung lainnya,” kata Nella.

Kampung Petemesan menjadi titik keempat dari 10 titik yang masuk dalam Program Purwarupa dari Platform PekaKota, Kolektif Hysteria. Para penanggung jawabnya dikatakannya merupakan mantan para peserta PekaKota Institute 2024 yang diadakan beberapa waktu lalu.

Mereka sudah mendapatkan materi dari para narasumber dan pengisi kelas, untuk selanjutnya diimplementasikan dalam bentuk praktik melalui Program Purwarupa tersebut.

Agenda ini menjadi salah satu rangkaian ulang tahun Kolektif Hysteria ke-20, sekaligus termasuk Event Strategis Dana Indonesia Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) RI.

Hery Priyono