Penulis tidak akan mengupas tentang sosok pemimpinnya, namun penulis akan membahas tentang, betapa setelah munculnya UU diatas, negeri kita sudah masuk pada era kapitalistik, betapa tidak.?.
Karena dalam pemilihan presiden, Gubernur, bupati/walikota, maka sosok calon pemimpin tersebut harus dikenalkan ke seluruh masyarakatnya, dan berupaya agar harapannya masyarakat untuk memilihnya.
Nha, cara-cara seperti itu, sudah pasti membutuhkan beaya yang besar. Apalagi kebutuhan beaya itu sangat besar untuk mem-promosikan calon-calonnya dan sudah barang tentu sesuai dengan tingkatannya, baik dari Capres, Pilgub, maupun Pilkada. Padahal dana dari pemerintah hanya sedikit, maka sudah barang tentu, setiap calon memerlukan dana mandiri untuk mempromosikan (baca: kampanye) sang calon itu sendiri
Munculnya UU no: 32 tahun 2004, menurut hemat penulis adalah sebagai cikal bakal, negeri ini sudah menganut model “kapitalis dalam penyelenggaraan pemerintah”. Oleh karena itu sudah pasti akan berimbas kepada calon-calon Presiden, Gubernur, Bupati/walikota, dan mereka cenderung membuka peluang untuk mengembangkan wilayahnya agar bisa maju dan “sejahtera” masyarakatnya.
Calon-calon ini sudah barang tentu di harapkan punya jiwa enterpreunership. Padahal semua aspek politik yang dilandasi oleh jiwa enterpreunership serta jika pemimpin punya latar belakang pengusaha, maka dia akan menganggap negara ini mirip dengan sebuah perusahaan.
Dalam konteks masalah itu, pegawai tidak dianggap penting dan “tidak pantas” untuk dipikirkan. Kemudian jika kegiatan politik dijalankan oleh seseorang dengan latar belakang asas kewirausahaan oleh Political Enterpreunership, maka pada saat itulah konon jalan menuju kehancuran (Emanuel Subangun). Mengapa demikian.?, karena orang menjadi lupa, bahwa negara kita bukanlah CV atau PT, tetapi sebuah resrepublica (Negara Republik), dalam sebuah koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk pemilihan calon pemimpin dari semua strata itu, kebutuhan dana diluar dana resmi dari pemerintah pasti akan kurang, sehingga orang-orang tertentu saja yang bisa dan mampu bertarung menjadi Capres, Cagub maupun Cawabub/Cawali, ini fakta lapangan.
Saat ini, indonesia sudah memilih presiden atas hasil pemilu capres pada tanggal 14 Februari 2024 yang lalu, harapannya Presiden baru bisa mencari terobosan-terobosan baru, selain dari pungutan tetap dari masyarakatnya untuk membeayai pembangunan negeri ini.
Negara kita masih kaya akan Sumber Daya Alam yang memadai, termasuk diantaranya (salah satu) Tambang Nikel nomor satu di dunia, yang mampu memproduksi 2,9 Ton/tahun, sehingga harapannya, dari hasil SDA di negeri ini, bisa mendanai seluruh aspek pembangunan negeri. Pajak Bumi dan Bangunan rakyat jika perlu diminimalisir, atau ditiadakan, karena akan memberatkan masyarakat kecil.
Hal ini diketahui bahwa Pajak Bumi dan Bangunan dari masyarakat semakin lama semakin naik nominal angkanya, yang konon semua ini dalam penghitungan angka dari hasil olah mesin (informasi dari seorang anggota Dewan Kota semarang, ketika penulis mengikuti FGD).
Oleh karena itu efek dari political enterpreunership, saat ini sudah menjadi kenyataan , termasuk diantaranya rakyat terlalu terbebani oleh pajak-pajak yang menghimpit.
Oleh: Tjoek Suroso Hadi (Dosen Fakultas Teknik Jurusan Teknik Planologi, Unissula Semarang)