Bupati Pacitan Indrata Nur Bayuaji dan istri (kedua dan kesatu dari kanan), menggelar acara open house, untuk menerima kedatangan warga masyarakat yang melakukan halalbihalal ke Kantor Kabupaten Pacitan, Jatim.(Dok.Prokopim Pacitan)

SHOLAT IED telah dilakukan. Demikian halnya dengan perayaan Lebaran Idul Fitri 1445 H/2024 M. Tapi kegiatannya ternyata tidak hanya berhenti di situ. Tradisi halalbihalal dilakukan masyarakat dan mewarnai sepanjang Bulan Syawal.

Bagian Prokopim Pemkab Pacitan, Jatim, mengabarkan, Bupati Indrata Nur Bayuaji, menggelar halalbihalal Lebaran Idul Fitri 1445 H/2024 M, melalui open house selama dua hari. Yakni pada Hari Lebaran pertama dan kedua, dengan menerima kedatangan warga masyarakat yang bersilatutahmi ke Kantor Kabupaten.

Dalam Buku Bauwarna Adat Tata Cara Jawam Karangan Drs R Harmanto Bratasiswara (Yayasan Suryasumirat, Jakarta 2000), halalbihalal diartikan sebagai maaf-memaafkan pada Bulan Syawal. Baik di lingkup keluarga, lingkungan warga (RT/RW), perkantoran, tempat kerja, perusahaan, istana (keraton, presiden).

Budayawan Jawa Peraih Anugerah Bintang Budaya, Kanjeng Raden Arya (KRA) Drs Pranoto MM, menyatakan, halalbihalal merupakan tradisi budaya asli Nusantara. Abdi dalem Keraton Surakarta ini, menyebutkan, tradisi ini hanya terjadi di Indonesia dan tidak ditemukan di negara-negara lain.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), halalbihalal berarti maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan. Diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang. Halalbihalal juga diartikan sebagai bentuk silaturahmi.

Istilah Halalbihalal berasal dari kata ‘alal behalal’ atau ‘halal behalal’. Kata ini masuk dalam kamu Jawa-Belanda karya Dr Th Pigeaud 1938. Versi yang menyebutkan, kata halalbihalal bermula dari pedagang martabak asal India di Taman Sriwedari Solo sekitar Tahun 1935-1936. Saat mempromosikan produknya, pedagang martabak menyebutkan dagangannya dengan kata-kata ‘halal bin halal, halal bin halal’.

Bung Karno

Versi lain menyebtukan, asal usul Halalbihalal berasal dari KH Abdul Wahab Hasbullah pada Tahun 1948. Kiai Wahab, lahir di Jombang, Jawa Timur pada Tanggal 31 Maret 1888. Ia putra dari pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang KH Hasbullah Said dan Nyai Latifah.

Atas saran masukan dan inisiatif dari KH Wahab sebagai Ulama Pendiri NU, pada Hari Raya Idul Fitri Tahun 1948, Bung Karno mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara guna menghadiri acara silaturahim yang diberi judul ‘Halalbihalal.’ Sejak saat itu, berbagai instansi pemerintah di masa pemerintahan Bung Karno dan masyarakat Indonesia, serentak menyelenggarakan halalbihalal.

Tapi versi lain, menyebutkan, halalbihalal telah ditradisikan sejak Perang Sambernyawan. Perang Sambernyawan berlangsung selama 16 tahun, dari Tahun 1749 sampai dengan Tahun 1757. Adalah Kiai Somdani, Solo, yang menyatakan tradisi halalbihalal telah ditradisikan sejak Perang Sambernyawan.

Itu dilakukan, setelah RM Said (Pangeran Sambernyawa) beberapakali kalah dalam pertempuran. Bersamaan datangnya Hari Raya Lebaran Idul Fitri, Pangeran Sambernyawa memerintahkan kepada semua prajuritnya, untuk pulang guna melakukan sungkem memohon maaf dan meminta restu pada orang tua masing-masing.

Selepas Hari Raya Lebaran Idul Fitri, kembali dilakukan konsulidasi massa prajurit bersama Punggawa Baku Kawan Dasa Jaya (40 komandan prajurit), dan dimulailah lagi babak baru kelanjutan Perang Sambernyawan. Hasilnya, setiap kali bertempur selalu memperoleh kemenangan.

RM Said lahir di Kartasura pada Tanggal 7 April 1725, dari pasangan Kanjeng Pangeran Arya (KPA) Mangkunegara dan Raden Ayu Wulan. Nama Pangeran Sambernyawa, merupakan julukan yang diberikan oleh Gubernur Jawa, Baron van Hohendorff dan Pimpinan VOC di Semarang, Nicolaas Hartingh, kepada RM Said atas kehebatannya dalam mengobarkan Perang Sambernyawan untuk mengalahkan pasukan musuh.

Perang Sambernyawan, menggunakan pola dhedemitan, weweludhan, dan jejemblungan. Yakni sulit dipegang layaknya dhemit (mahluk halus), sulit ditangkap karena licin bagai belut (welud), dan bersikap gila-gilaan (jemblung) tanpa mengenal takut.
Bambang Pur