blank
Ilustrasi. Reka: wied SB.ID

blankJC Tukiman Tarunasayoga

SECANGGIH apa pun kemajuan terknologi, termasuk di dalamnya kemajuan lewat AI; namun hukum sebab-akibat tetap saja berlaku dalam kehidupan ini.

Mengapa? Karena manusia, -kita ini-, masih terdiri dari jiwa dan raga/badan, masih makan dan minum, masih terdiri dari daging dan roh, masih butuh tidur dan melek, masih mengenal siang dan malam, masih mengalami sakit dan sehat, dst. dsb.

Intinya, kita ini masih manusia yang selalu bersinggungan dengan manusia lain; sehingga sepandai-pandainya wong goroh, contohnya, orang lain pasti akan tahu atau merasakannya, lalu minimal bergumam: “Genah goroh, kowe!!!” Jika yang goroh itu kebetulan pejabat/penguasa, dia yang bergumam itu pasti diam-diam melakukannya, namun pasti niteni, sebutlah mencatat.

Baca juga Githir = Kesusu??

Ingat, masyarakat kita ini pengalaman ratusan tahunnya mengajarkan yang disebut ngelmu titen, sehingga mudah menarik kesimpulan atas hukum sebab-akibat tadi: Wong goreh, mesthi kakehan goroh. Mengapa begitu? Jawabannya hukum sebab-akibat tadi: Sering goroh, ya goreh.

Goreh

Selasa, 27 Februari 2024, lalu, pukul 16.24, seorang teman mengirim gambar seseorang, tangan kanannya ngawe-awe, memanggil-panggil dan bunyi teksnya: “Sini, saya bohongi lagi!!” Tentu saya ngakak menerimanya, dan sertamerta memeroleh ide untuk sebuah tulisan dengan judul “Goreh, Penanda Goroh” ini.

Bacalah goreh seperti Anda mengucapkan makan sayur lodeh, lauknya gereh (ikan asin) disantap sambil berucap weleh…….weleh…….nikmatnya. Dan arti goreh itu sekurangnya ada dua, yaitu (1) ora jejeg, tansah goyang, selalu (ber)goyang bagaikan kapal yang terombang-ambing oleh ombak dan angin. Lalu arti (2) menyangatkan arti pertama itu dengan contoh perilaku, yakni ora tentrem, ora jenjem atine; perilakunya kelihatan sekali selalu merasa tidak tenang, terungkap dalam  tidak sabar, hawane mung arep nesu, bawaannya mau marah saja meski kelihatannya diam. Orang goreh pasti tidak dapat tidur nyenyak, sangat mungkin suatu saat terbangun seolah dikejar-kejar orang atau bahaya.

Tentu pertanyaannya, mengapa kok goreh seperti itu? Mengapa mudah tratapan, mudah berubah-ubah pendapat maupun mungkin kebijakannya: hari ini memimpin mutasi beberapa pejabat, seminggu lagi ada mutasi lagi lebih banyak, misalnya. Itulah contoh bupati goreh. Mengapa? Pasti ia goroh, pasti ia telah melakukan kebohongan (publik) dan untuk membetengi diri dari  kebohongannya itu, ia mengatur strategi lewat mutasi pejabat di bawahnya.

Baca juga Angket atau Angker

Tegasnya, wong goreh, apalagi ke-goreh-annya itu sudah ditengarai khalayak, terjadi karena diakibatkan dari ke-goroh-annya. Artinya, semakin goreh, dapatlah dipastikan semakin banyak goroh-e.

Goroh

Minggu lalu sudah dikupas bersama  “Salah seleh, bohong bodong;” dan kupasan kali ini menegaskan lebih lanjut bahwa bohong itu ya goroh, dan akumulasi dari tindakan itu terpancar dalam perilaku goreh itu.

Apa itu goroh? Ada tiga makna goroh, pertama, kandha sing ora nyata, mengatakan sesuatu atau banyak hal  namun ternyata tidak terbukti.

Bupati disebut goroh, kandha sing ora nyata, manakala ia selalu mengatakan: “Saya tahu persis masyarakat saya; tidak ada yang tidak dapat makan nasi karena masyarakat saya serba kecukupan kebutuhan berasnya.

”Nah……..dia goroh, kandha sing ora nyata, misalnya, terbukti ada warga yang terbukti kesrakat. Lebih goroh lagi kalau ia lalu berkata: “Ohhhhhh mereka yang kesrakat itu baru pindah kesini sebulan lalu, belum sempat terdata mereka.”

Kedua, disebut goroh manakala sesuatu itu ora katon cetha, entah sesuatu itu kebijakan, omongan, suara, atau pun gambar. Dan arti ketiga dari goroh ialah ngapusi, menipu atau main tipu-tipu. Ini dosa paling berat dari goroh, masuk kategori dosa yang tak terampuni.

Mengapa? Dalam diri orang (suka) ngapusi, berlakulah secara automatis hukum deret hitung atau bahkan deret ukur. Mulai dari ngapusi kecil-kecilan, jika sukses akan meningkat ke yang tidak kecil-kecilan lagi; dan terussssss……..meningkat ke yang besar dan semakin besar.

Deret hitung atau deret ukur seperti itu bagian dari pembelajaran yang membuatnya semakin pintar dan canggih dalam hal ngapusi.   Kendati begitu, justru semakin canggih goroh-e, semakin jelas pulalah goreh-e. Percayalah padaku (jailahhhh): Sapa sing goreh, dia pasti yang suka goroh; semakin banyak/besar goroh-e, semakin kelihatan juga goreh-e.

Dalam hal seperti ini, ngelmu titen-e masyarakat ora bisa diapusi maneh: Titenana wae, lihat saja goreh-e, karena itu gambaran dari goroh-e

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University

: