PARA ahli hikmah menyikapi pertentangan pendapat itu lebih bersifat kondisional. Ketika Nabi SAW berhadapan dengan kalangan awam, Nabi mengharamkan azimat karena khawatir keberadaan azimat itu dapat menggelincirkan iman bagi orang yang tauhidnya belum lurus.
Sebaliknya, terhadap orang yang tauhidnya sudah kokoh dan menempatkan azimat itu sebagai sarana ikhtiar (saja), azimat tidak lebih dari obat. Artinya, azimat bukan benda yang harus diyakini “memiliki” kekuatan, tetapi benda yang “diberi” kekuatan.
Siapakah yang memberi kekuatan itu? Sudah pasti, Allah Yang Mahakuat lagi Maha Melindungi. Seperti peristiwa ziarah kubur yang semula diharamkan, kemudian diperbolehkan. Dulu, ketika iman masyarakat belum kuat, Nabi S.A.W. melarang berziarah.
Karena pada masa itu dikhawatirkan “meminta atau memuja” kuburan. Namun, setelah iman sudah mantap, justru disarankan karena dengan berziarah kubur itu dapat mengingatkan seseorang dengan kematian.
Secara pribadi, saya melihat azimat itu dalam pandangan netral. Dalam arti, menyetujui penggunaannya sebagai sarana ikhtiar. Itu pun dengan catatan dipegang orang yang imannya lurus.
Dari sudut pandang metafisika, azimat adalah teknologi batin yang canggih yang prosesnya tidak berbeda dengan proses “merekam” suara pada pita kosong.
- Mukjizat Para Nabi
Dalam banyak kisah, kita dapati adanya benda-benda yang dijadikan perantara oleh Tuhan untuk menunjukkan kebesaran-Nya. Sebagai contoh, Nabi Yakub As sembuh dari butanya ketika diusapkan bagian wajahnya dengan pakaian putranya, Nabi Yusuf A.S.
Nabi Musa A.S. diberi mukjizat mampu membelah lautan dan melenyapkan ular para tukang sihir Firaun melalui perantaraan tongkatnya. Nabi Sulaiman A.S. diberi mukjizat melalui perantaraan cincinnya. Dalam satu riwayat, Nabi Muhammad pernah menancapkan pelepah kurma basah pada makam orang yang mengalami siksa kubur.
Nabi S.A.W. bersabda, “Selagi pelepah kurma ini masih basah, semoga siksanya diringankan. Nabi memiliki mukjizat, manusia pun diberi kelebihan atau pertolongan yang disebut maunah dari Tuhan. Artinya, jika manusia itu berdoa dengan sungguh-sungguh, tidak mustahil jika dapat menciptakan hasil karya, seperti benda mati menjadi azimat.”
Kepercayaan terhadap benda bertuah tumbuh subur hampir di setiap suku dan bangsa. Di antaranya, pusaka, totem, mustika, azimat, rajah, dsb. Seiring perkembangan zaman, kepercayaan terhadap benda bertuah mulai menipis, dan meyakininya dianggap sebagai kemunduran.
Namun, jika Tuhan berkehendak, tiada hal yang mustahil. Benda mati pun bisa diberi karunia. Misalnya, Nabi Yusuf A.S. mengirimkan bajunya agar diletakkan pada wajah Nabi Ya’qub. Melalui perantaraan baju itu menyebabkan sakit mata (buta) yang diderita Ayahandanya sembuh.
Kisah keajaiban bertawasul banyak ditemui dalam kitab suci. Tentang mukjizat tongkat Nabi Musa, cincin Nabi Sulaiman. Ketika cincin itu memiliki cahaya dan ketika dipakai, maka berdatangan para jin, manusia, burung, angin, dan awan.
Dikisahkan, suatu hari, Nabi Sulaiman akan berwudu dan cincinnya disuruh memegang Aminah. Ketika itu, ada jin mendahului Nabi Sulaiman masuk tempat wudu dan sembunyi di balik pintu. Ketika Nabi Sulaiman masuk tempat wudu, jin keluar dan menjelma sebagai Nabi Sulaiman dan minta cincin kepada Aminah.
Kemudian jin itu duduk di singgasana Sulaiman, hingga golongan burung, jin, tunduk kepadanya. Setelah Nabi Sulaiman selesai wudu meminta cincinnya kepada Aminah, budak itu tidak mengenali karena ada perubahan pada penampilannya.
Aminah berkata, “Engkau berbohong, sesungguhnya Nabi Sulaiman telah mengambil cincinnya dan saat ini dia sedang duduk di singgasana kerajaannya.” Nabi Sulaiman tahu telah melakukan kesalahan.
Dia lalu berlari ke padang tandus hingga suatu saat lapar dan dahaga dan meminta makanan sambil mengatakan, “Aku Sulaiman bin Daud.” Namun, tidak ada yang memercayainya. Akhirnya Nabi Sulaiman kelaparan, dan tanpa tutup kepala selama 40 hari.
Saat di pantai, Sulaiman menyaksikan sekelompok nelayan, dan Sulaiman bekerja sebagai nelayan. Asif bin Barkhoya berkata, “Wahai Bani Israil, sesungguhnya cincin Nabi Sulaiman telah dicuri sekelompok setan dan sesungguhnya Nabi Sulaiman telah pergi dengan ketakutan di wajahnya.”
Ketika setan yang duduk di singgasana mendengar perkataan itu, dia pun pergi menuju lautan dengan perasaan takut, lalu membuang cincin Nabi Sulaiman. Cincin itu ditelan ikan, dan dengan izin Allah ikan itu terjaring Nabi Sulaiman.
Ketika Nabi Sulaiman membelah perut ikan, ditemukan cincinnya, lalu dipakainya. Beliau lalu bersujud kepada-Nya, kemudian kembali ke singgasana, sebagaimana firman Allah, “Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian dia bertobat.” (QS. Shaad : 34). Bersambung