blank
Ilustrasi. Benacan adari dea/ Reka: wied SB.ID

Oleh Marjono

blank

NEGERI kita dengan kondisi cuaca yang ekstrim dan perilaku masyarakat yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan seperti penggundulan hutan dan membuang sampah sembarangan menjadi faktor utama terjadinya berbagai bencana.

Maka kemudian, bisa jadi fenomena bencana alam, seperti baru-baru ini banjir di Grobogan dan Demak.Pada domain pedesaan yang tak luput dari berbagai kejadian yang kusam, utamanya bagi pemerintah desa (pemdes) dan warganya penting untuk melakukan antisipasi dini untuk merebut kemenangan melawan peristiwa yang tak kita harapkan. Misalnya, bencana alam banjir.

Kala bencana, maka kemudian pemdes dapat menerbitkan peraturan desa (perdes) yang mengatur terkait pencegahan dan penanganan di wilayahnya. Di sini selain merujuk regulasi di atasnya tentu saja desa dengan segenap kearifan lokalnya bisa melahirkan berbagai upaya untuk melan pandemi termasuk bencana alam.

Pemdes dapat pula meluncurkan beberapa poin kebijakan yang mendukung ikhtiar membebaskan warga dari letihnya berjuang memundurkan agresi bencana lainnya. Misalnya, mengalokasikan sebagian dana desa untuk turut konsentrasi menanggulangi bencana. Bisa untuk pengadaan atau pembuatan family kit, bantuan sembako, bantuan susu bayi dan anak-anak, pakaian dalam dan luar, pembalut wanita, penyediaan tempat pengungsian dengan MCK-nya, bikin huntara dan sebagainya.

Hal ini tentu akan jauh lebih cepat terwujud, ketika seluruh warga desa bergandengtangan, termasuk edukasi di tenda-tenda pengungsi. Langkah antisipasi bencana lain, seperti melakukan gerakan kebersihan (lingkungan, sungai dan pantai), tak menggunduli hutan, gerakan menanam maupun membuang sampah pada tempatnya, dll. Kata kunci dari semua itu, yakni transformasi sosiokultur, dari apatis ke proaktif, dari abadi menjadi peduli, dari gusar bergeser menjadi sadar, dari individual beralih ke gotong royong, dan seterusnya.

Perubahan perilaku menjadi langkah baik untuk meningkatkan kualitas urun angan dan turun tangan antar elemen warga. Itulah kemudian desa perlu melakukan transparansi informasi atas dinamika keterpurukan dengan peristiwa maupun sejak antisipasi, dampak hingga solusi, dan negasi disinformasi hingga malinformasi. Maka SIDesa, koran desa, medsos desa penting dihidupkan guna menjaga kelangsungan desa sekujurnya dengan pemberitaan atau informasi yang menjunjung etika.

Pemdes pun sekurangnya mampu berkomunikasi dengan pihak tekait untuk keperluan relaksasi pinjaman di sumber pembiayaan dan permodalan seputar lokal desa, seperti koperasi desa, BUMdesa, KUR, dll. Kita mahfum, ketika bencana menyergap tak sedikit rintisan usaha compang-camping, usaha kolaps, dan terdampak PHK, begitu pula banyak tanaman gagal panen maupun puso, dll.

Selain itu, tentu konsistensi dan keteladanan elit desa selalu menjadi kacabenggala rakyatnya dalam mematuhi segenap disiplin membebaskan diri dari ragam kepedihan yang ada. Begitu pula, edukasi yang meniupkan kebaikan dan kerukunan atau kedamaian dalam harmoni bersekgkuyung perlu digelorakan dan disulut terus sehingga muncul kesadaran baru seluruh warga bahwa hidup itu tak bisa sendirian.

Gerakan senasib, ringan tangan, saling meguatkan, peduli dan melindungi, dll penting ditularkan virusnya. Di sini butuh besilangpercaya antara elit pemdes dan warga, saling berhimpun.

Itu semua selalu mendaraskan doa dan effort kita bersama, mengalunkan gelombang kebajikan dan memanggul cita-cita mulia warga desa. Perubahan perilaku produktif pantas kita rawat menjadi gaya hidup baru bagi semua warga desa dan negeri ini, bukan saja kala bencana menyandera atau menanti giliran (bantuan) tiba.

Bunga Lili

Hal lain yang harus menjadi perhatian, jangan sampai aneka bantuan bencana tersebut dikorupsi, karena ancamannya bisa hukuman mati. Hal ini bagian amanah UU No 19 Tahun 2019 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati untuk korupsi bencana alam, yakni dalam Pasal 2.

Ayat 1: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Ayat 2: Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Keadaan tertentu yang dimaksud sebagaimana ditulis dalam bagian penjelasannya ialah: Pasal 2 ayat (2) Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Maka kemudian, keterbukaan informasi publik penting dilakukan dan mesti dibarengi dengan transparansi dan akuntabel. Karena pada dasarnya, masyarakat itu punya hak untuk tahu. Ada 3 hal yang mendasari pentingnya keterbukaan informasi publik, yaitu hak atas informasi sebagai hak asasi manusia (human right), sebagai salah satu upaya mewujudkan pemerintahan terbuka (open government) dan menjadikan pelibatan masyarakat berkualitas.

Kita masih ingat kasus korupsi bencana tsunami Nias (2011), korupsi pembangunan SPAM di daerah bencana Donggala (2018), pungli bencana alam gempa bumi di Mataram (2019), korupsi bantuan rehab masjid terdampak gempa di NTB (2019). Kita tak ingin kasus korupsi saat bencana banjir di beberapa wilayah tanah air terjadi.

Jangan sampai ketika bangsa sedang berkesusahan justru orang-orang tertentu memanfaatkan kesempatan ini sebagai lahan korupsi anggaran bantuan force majeur. Harus diwaspadai korupsi pun bukan hanya soalan dana, tapi juga informasi, apalagi hoaks. Jangan sampai di tengah kepedihan mucul politik Markonah, yakni  politik tipu-tipu gaya pasangan Raja Idrus-Markonah, membuat heboh pada 1950-an yang mengaku dapat membantu pemerintah membebaskan Irian Barat waktu itu.

Maka di sinilah penting dan layak kita menghidupkan kembali industri kemanusiaan kita selama ini yang barangkali lama terlelap, senyap bahkan mulai mengendap.

Di tengah kemurungan yang hampir merata ini, sudah saatnya kita mengepakkan sayap peduli, berbagi dan empati meringankan sesama.

Apa yang kita lakukan sekecil apapun untuk memerdekakan letihnya hidup para korban dan pengungsi banjir ini, sekurangnya kita menyemai bunga lili di tenda pengungsi.

Marjono, Kepala UPPD Kabupaten Tegal, Jawa Tengah