KEBUMEN (SUARABARU.ID) – Para siswa SMP Pius Bakti Utama, Gombong, Kebumen, baru-baru ini berbaris rapi dari sekolah menuju kawasan Pecinan Gombong di sekitar Jalan Sempor lama dan sekitarnya.
Kegiatan belajar tersebut bagian dari Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), dengan tema “Bhineka Tunggal Ika” dan mengambil judul “Sahabatku Orang Tionghoa”.
Rombongan dibagi menuju tiga tempat mewakili simbol ekonomi, sosial dan kepercayaan. Untuk lokasi yang mewalili simbol aktivitas ekonomi etnis Tionghoa di era kolonial, yaitu rumah Liem Siauw Lam, pengusaha roti dan susu.
Sekarang rumah ebrsejarah ini telah bermetamorfosa menjadi Roemah Martha Tilaar (RMT) Gombong. Di lokasi ini para siswa didampingi para guru dan dipandu oleh Mas Toni untuk memahami sejarah rumah yang bernuansa Indisch sejak tahun 1920-an.
Lokasi berikutnya yakni kantor Perkumpulan Penolong Kematian Anugrah Guna (nan) Hidup (AGH) yang mewakili simbol sosial masyarkat Tionghoa di Gombong. Di era kolonial bernama Aan Gie Hwee dan pernah difungsikan sebagai tempat pendidikan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK).
Di lokasi ini, Teguh Hindarto, sejarawan lokal dan penulis buku, banyak menjelaskan latar belakang berdirinya Chineesche camp atau kampung Pecinan dan sejarah bangunan AGH didampingi para pengelola yayasan dan para guru pendamping.
Di lokasi ini rombongan siswa dibagi dua untuk diperkenalkan sebuah rumah kuno bernuansa Tionghoa yaitu rumah kediaman Liem Kang Tjoa. Rombongan dipimpin oleh ibu Vivien yang menjelaskan sejarah dan kehidupan di rumah tua tersebut.
Di lokasi lain yaitu Kelenteng Hok Tek Bio sebagai tempat yang mewakili simbol kepercayaan etnis Tionghoa, para siswa mendengarkan penjelasan Kak Alona dan kak Awang mengenai sistem kepercayaan dan berbagai pernak-pernik peralatan ibadah di kelenteng.
Ibu Valen selalu kepala sekolah memberikan penjelasan tujuan kegiatan ini untuk menghubungkan anak-anak dengan konteks hidupnya. Melalui kegiatan P5 mengajak anak-anak semakin mengenal tradisi dan budaya Tionghoa, yang bahkan tidak disadari sudah menjadi satu dengan budaya keseharian masyarakat Gombong.
Dengan mengenal anak akan memahami, dengan memahami anak akan menghormati, bahkan mungkin akan menumbuhkan rasa memiliki. Memiliki warisan budaya kekayaan Indonesia. Dengan demikian, harapannya persaudaraan sejati sebagai anak bangsa menjadi lebih kuat.
Kegiatan ini bukan hanya bermanfaat secara internal namun secara eksternal mendorong lembaga pendidikan lainnya dapat melibatkan materi sejarah dan budaya kotanya. Ini sebagai bagian dari kurikulum pendidikan dan mendekatkan para siswa dengan berbagai objek sejarah dan budaya yang melekati kehidupan mereka sehari-hari.
Komper Wardopo