blank
Ilustrasi. Reka: SB.ID

Oleh Johan Saputroblank

FANATISME telah menjadi sebuah fenomena yang melekat dalam budaya masyarakat Indonesia, meliputi beragam aspek kehidupan seperti dukungan terhadap idola, tim sepak bola favorit, dan tidak terkecuali dalam pilihan politik.

Namun, penting untuk diingat bahwa fanatisme tidak selalu membawa konotasi negatif. Terkadang, fanatisme dapat menjadi alat untuk meneguhkan pilihan kebaikan.

Menurut definisi, fanatisme adalah keyakinan yang membutakan individu sehingga mereka bersedia melakukan segala hal untuk mempertahankan keyakinan tersebut. Ciri-ciri fanatisme mencakup antusiasme yang ekstrem, keterikatan emosional yang kuat, berlangsungnya keyakinan dalam jangka waktu yang lama, dan tekad untuk membela kebenaran yang diyakini (Eliani, Yuniardi, dan Masturah, 2018).

Dalam konteks politik, fanatisme seringkali menemukan ekspresinya, baik dalam bentuk dukungan terhadap tokoh tertentu maupun dalam bentuk pertentangan dengan kubu yang berlawanan.

Fenomena ini semakin mencolok menjelang Pemilu serentak 2024, di mana fanatisme bisa dengan mudah terkait dengan figur-figur tertentu yang dipercayai memiliki kesamaan visi, misi, atau latar belakang dengan para pendukungnya.

Namun, fanatisme politik tidak hanya terbatas pada arena nyata, tetapi juga menemukan tempatnya dalam dunia maya. Di sini, fanatisme menjadi pemicu perdebatan yang panjang, yang seringkali diwarnai dengan tuduhan, ejekan, dan hinaan terhadap pihak yang berbeda pendapat. Emosi yang membara ini dianggap sebagai bagian dari pembelaan atas kebenaran yang diyakini.

Tinjauan atas fanatisme dalam politik, baik dari aspek praktis maupun moral, menunjukkan betapa perlu adanya sikap moderasi dalam menyikapinya. Kehilangan adab dalam berpolitik, seperti saling menyerang karakter, meninggalkan rekam jejak negatif, atau bahkan berujung pada permusuhan, bukanlah wujud dari kemajuan bangsa yang beradab, sesuai dengan semangat Pancasila.

Ketua Komunitas Masyarakat Indonesia Anti Fitnah, Septiaji Eko Nugroho (2019), menyoroti bahwa fanatisme politik berpotensi menyebabkan polarisasi yang dapat mengancam persatuan bangsa, terutama ketika disertai dengan penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah melalui media sosial.

Peradaban digital, meskipun telah membawa kemudahan dalam berinteraksi dan mengonsumsi informasi, juga membawa risiko, di mana tidak semua informasi yang diterima benar adanya, dan kemampuan menyaring informasi pun masih rendah.

Dalam menghadapi fenomena fanatisme politik ini, penting bagi kita untuk merespons dengan sikap moderasi. Istilah “moderasi” bukanlah konsep asing, dan telah lama diakui dalam tradisi dan ajaran agama-agama di Indonesia.

Sebab, ajakan kepada moderasi sejatinya telah muncul dalam tradisi dan ajaran agama-agama di Indonesia, misalnya, wasatiyyah dalam Islam; golden main dalam Kristen; majjima patipada dalam Buddhisme; chung yung dalam Konghucu; yang kesemuanya menunjuk pada kesatuan arti, yakni moderasi (Kamal, 2022).

Moderasi dalam beragama, seperti yang dijelaskan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (2016), menekankan pentingnya mengambil jalan tengah yang seimbang dan menolak ekstremisme.

Sikap moderasi juga penting dalam menyikapi situasi pemilu. Moderasi berarti menghormati pilihan politik orang lain, tidak menganggap politik sebagai segala-galanya, dan bersikap jujur dalam komunikasi politik.

Kolaborasi juga penting, di mana kita harus mampu menerima hasil pemilu dengan lapang dada.

Moderasi berpemilu (At-Tamami, 2023) adalah tentang menerima keberagaman pendapat, mengembangkan kesetaraan antar etnik, budaya, dan agama, serta bekerja sama untuk kemajuan bangsa.

Meningkatkan toleransi dalam berpolitik, tidak mudah terpancing oleh narasi negatif di media sosial, dan terus menyuarakan narasi positif adalah langkah-langkah penting untuk menciptakan suasana politik yang kondusif.

Sikap moderasi dalam pemilu juga memerlukan kesadaran akan pentingnya menjaga integritas proses demokrasi. Melalui partisipasi aktif dari tahap kampanye hingga pemungutan suara, kita dapat memastikan bahwa suara setiap warga negara dihargai dan dipertimbangkan dengan adil.

Dengan demikian, sikap moderasi adalah kunci untuk menjaga stabilitas politik dan memperkuat fondasi demokrasi di Indonesia.

Johan Saputro, S.I.Kom. Pranata Humas Ahli Pertama Pemkab Grobogan