blank
Ilustrasi. Reka: wied

blank

Oleh Antonius Benny Susetyo

 PEMILIHAN umum (pemilu) akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024, dengan seluruh masyarakat Indonesia yang sudah cukup umur, akan melaksanakan hak dan kewajibannya untuk memilih para pemimpin Indonesia untuk kurun waktu lima tahun ke depan.

Hal ini merupakan sebuah pesta demokrasi dimana masyarakat Indonesia secara langsung menentukan masa depan bangsa dan negaranya sendiri. Pemilu 2024 ini sudah bergaung sejak tahun lalu, dimana banyak bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden muncul dan menjadi pusat pembicaraan oleh elit politik dan masyarakat Indonesia.

Setelah pendaftaran dan juga ditetapkan oleh masing-masing, muncul tiga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), Anies Baswedan-Muaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Masa kampanye, baik untuk capres, cawapres, dan calon anggota legislatif (caleg), sedang terlaksana, sejak tanggal 28 November 2023, dan akan berakhir pada tanggal 10 Februari 2024.

Pemilu bukan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. Tercatat, tanggal 29 September 1955 dan 15 Desember 1955 adalah tanggal-tanggal Ketika pemilu di Indonesia pertama kali dilaksanakan. Adapun pemilu yang dilaksanakan pasca kejatuhan Orde Baru adalah pada tanggal 7 Juni 1999.

Pemilu langsung, dimana masyarakat Indonesia langsung dapat memilih presiden dan wakil presiden pilihannya (sebelumnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat, atau MPR, dimana anggotanya dipilih oleh masyarakat Indonesia pada pemilu, memilih presiden dan wakil presiden), dilaksanakan pada tahun 2004, dan Partai Golongan Karya (Golkar) muncul sebagai pemenang, dan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Muhammad Jusuf Kalla (JK) terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI.

Bayang-Bayang Konflik

Akan tetapi, penyelenggaraan pemilu tetap dibayang-bayangi oleh konflik serta perpecahan antar masyarakat yang masing-masing mendukung partai dan/atau capres-cawapres yang sudah ditetapkan.

Perpecahan dan argumentasi dengan menggunakan istilah atau kata-kata yang melecehkan bukanlah hal yang baru, baik secara langsung, ataupun di media sosial. Masyarakat dengan mudahnya terbawa emosinya untuk saling mencaci-maki karena perbedaan pilihan.

Para ‘buzzer politik’ menggunakan pengaruhnya untuk memengaruhi opini publik dan mempromosikan agenda politik yang mereka anut dan junjung, atau agenda politik yang mampu memenuhi kebutuhan serta keinginan mereka. Keberadaan ‘buzzer politik’ tidaklah selalu negatif dan tidak etis, namun, jika mereka terlibat dalam praktik manipulatif dan menyebarkan informasi palsu, hal itu dapat menimbulkan masalah etika, serta semakin mendorong perpecahan di dalam masyarakat sendiri.

Sudah tidak asing kita mendengar, atau pun mungkin mengalami sendiri, permusuhan dan perpecahan dengan saudara, sahabat, kolega, tetangga, dan lainnya, karena masing-masing memiliki pilihan sendiri.

Sungguh sangat disayangkan, pada masa pesta demokrasi bagi bangsa Indonesia, perpecahan dan polarisasi masyarakat terjadi dan terus menerus, bahkan terus berlangsung sampai pemilu-pemilu berikutnya. Ini sangat mencederai nilai persatuan yang terkandung pada Pancasila.

Harapan untuk Pemilu Damai

Pemilu 2024 ini sangat diharapkan dapat terlaksana secara damai, baik sebelum, saat pelaksanaan, ataupun setelahnya. Perpecahan masyarakat tidak boleh berlanjut terus-menerus.

Masyarakat harus benar-benar sadar bahwa berbeda pilihan itu tidaklah menjadi sebuah permasalahan, tetapi sebuah hal yang lumrah terjadi, apalagi di negara yang majemuk seperti Indonesia. Lalu, bagaimana kemudian menyadarkan masyarakat tentang hal ini?

Tentu saja, pelaksanaan pemilu yang damai. Bagaimanakah, kemudian, melakukan pemilu yang damai, dimana masyarakat benar-benar merasakan bahwa pemilu adalah sebuah pesta kegembiraan, bukan kompetisi tanpa batas?

Pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilu harus memberikan jalan sebesar-besasrnya pada partisipasi yang inklusif, dengan partisipasi semua kelompok masyarakat, tanpa terkecuali; transparan.

Dengan transparansi ini membantu menciptakan kepercayaan masyarakat pada hasil pemilihan; edukasi pemilih sangat dibutuhkan, agar masyarakat mengerti tentang proses pemilihan, hak dan kewajiban mereka, serta pentingnya partisipasi politik yang damai; penegakan hukum terjamin terjadi adil dan efektif untuk melanggar pelanggaran hukum yang terkait dengan pemilu.

Pelanggaran permilu itu seperti kampanye uang; dialog politik terus dibangun antar partai politik dan kelompok masyarakat, untuk dapat membantu menyelesaikan konflik secara damai dan mencapai kesepakatan yang dapat diterima semua pihak; media yang independen sehingga dapat memberikan informasi yang akurat dan objektif; dan netralitas oleh pejabat publik dan birokrat.

Aparat pemerintahan dan birokrasi harus tetap netral dan tidak memihak kepada salah satu kandidat atau partai politik selama proses pemilu, termasuk kampanye, berlangsung.

Netralitas penting untuk menjaga integritas pemilu dan memastikan bahwa pemilihan dilaksanakan secara adil dan transparan. Hal-hal ini, jika benar-benar dilaksanakan oleh semua pihak, akan mampu menciptakan suasana pemilu yang damai dan riang gembira, serta menyenangkan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Situasi saat ini menandakan keresahan dalam masyarakat; banyak masyarakat menggunakan hak aspirasinya, untuk menyatakan bahwa pemilu dapat dilaksanakan tanpa adanya transparansi.

Jurdil dan Netralitas Aparat

Kepercayaan masyarakat akan pemilu yang berlangsung secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, semakin menurun. Isu bahwa pemilu akan dilakukan tidak transparan makin berhembus, membuat masyarakat semakin gusar. Hal inilah yang, secara garis besar, menyebabkan perpecahan tersebut. Masyarakat tidak ingin pemilu berjalan tidak pada mestinya, dan seharusnya, pemerintah sebagai penyelenggara, menyadari betul keresahan ini.

Saya mengungkapkan bahwa netralitas birokrat serta penegakan hukum serta pemilu yang transparan dan profesional harus diperkuat dan ditunjukkan oleh semua elemen pemerintahan tanpa terkecuali.

Memang, dalam peraturan perundang-undangan, pejabat publik, seperti presiden dan para menteri, gubernur, bupati, wali kota, dan wakil rakyat petahana, dapat menjalankan kampanye, tetapi perlu diperhatikan bahwa kampanye itu harus dlaksanakan dengan tidak menggunakan fasilitas negara. Walaupun begitu, etika kepantasan publik juga harus diperhatikan.

Masyarakat mengetahui bahwa pejabat publik diperbolehkan untuk berkampanye, tetapi fasilitas negara tidak boleh digunakan untuk kampanye, serta waktu cuti harusnya diambil oleh para pejabat tersebut, harus ditunjukkan secara jelas kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak perlu takut tentang posisi netral birokrat.

Saya mengharapkan, untuk pemilu kedepannya, hal ini perlu dirinci serta ditegakkan, sehingga tidak menimbulkan isu-isu yang semakin menyakiti kepercayaan masyarakat.

Begitupun dengan penegakkan hukum. Jika terdapat aduan terhadap pelanggaran kampanye serta pelaksanaan pemilu, sebaiknya pemerintah, dalam hal ini Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan hanya ditelaah secara textbook, tetapi pemerintah harus progresif untuk melihat dan menelaah aduan tersebut, berdasarkan pada kemajuan serta etika dan moral bangsa Indonesia.

Dan, kesadaran masyarakat. Masyarakat perlu diberikan edukasi yang baik dan benar tentang bagaimana menjadi pemilih yang cerdas dan kritis. Bentuk-bentuk kampanye dengan pemberian secara langsung, apa pun bentuk pemberiannya, harus dlihat secara kritis oleh masyarakat.

Masyarakat harus diberikan kemampuan untuk dapat mendukung pilihannya dengan bermoral serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta persatuan, seperti yang terkandung dalam Pancasila.

Masyarakat pun perlu diberikan edukasi untuk bagaimana menjalankan haknya untuk memberikan suara. Proses perpindahan Tempat Pemungutan Suara (TPS), dimana masyarakat yang mungkin tidak berdomisili di area dimana namanya terdaftar sebagai pemilih, harus secara luas diberitahukan, lewat berbagai media yang ada dalam kehidupan masyarakat.

Banyaknya suara yang tidak sah dalam pemilu dari tahun ke tahun juga menunjukkan perlunya edukasi masyarakat tentang cara memilih di bilik TPS yang baik dan benar. Dan, menurut saya, nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial, harus benar dinyatakan dan diajarkan serta ditunjukkan oleh semua pelaku pemilu, baik penyelenggara, peserta, ataupun masyarakat, sehingga pemilu yang damai benar-benar terjadi dan dirasakan oleh semua elemen masyarakat.

Pemilu yang damai akan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia, dengan Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara.

Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)