blank
Ilustrasi. Reka: wied

blankJC Tukiman Tarunasayoga

TERKAIT “perjalanan”  politik kemasyarakatan selama tahun 2024, fokus utama banyak pihak tentulah Pemilu 14 Februari 2024 berikut hasil-hasilnya. Oleh karena itu patut dibahas apa atau bagaimana prakiraan dan greget 2024 yang tepat dan perlu dikembangkan dalam masyarakat.

Saya yakin, resolusi realistis  sangatlah tepat sebagai acuan pengembangan pendidikan politik masyarakat mengingat  sekurang-kurangnya  ada empat alasan besar melatarbelakangi ajakan  merumuskan resolusi realistis ini.

Pertama, sebenarnya tidaklah disarankan untuk bersikap pesimistis, namun melihat realitas politik praktis saat ini dalam konteks Pemilu 2024, pilihan untuk menjadi “kaum realis” sangatlah masuk akal karena memang realistis, yaitu kemungkinan besar coblosan 14 Februari 2024 akan menghasilkan pemilihan presiden (pilpres) ke dua putaran.

Maka dari itu,  wajarlah jika sejak awal tahun baru ini dikembangkan ajakan agar greget 2024 terarah untuk persiapan menghadapi, memikirkan, dan merancang agar masyarakat tetap siap  untuk Juni 2024 nanti melakukan pilpres  putaran kedua,

Baca juga Mandheg

Ajakan ini, -maaf seribu maaf- , pasti bertentangan dengan berbagai tim sukses dari ketiga pasangan calon presiden-wakil presiden, mengingat mereka pasti sedang all out untuk memenangkan calonnya dalam satu putaran saja.

Upaya mereka pantas diapresiasi, namun pikiran realisitik menganalisis betapa sulit dan beratnya bagi  pasangan calon nomor berapa pun dapat memeroleh suara lima puluh prosen plus dan menang dalam  satu putaran.

Imbauan kepada masyarakat sangat sederhana, yakni sejak saat ini sewajarnya kita bersiap mental untuk menerima kondisi politik praktis pilpres yang kemungkinan besarnya akan berlangsung dua putaran.

Greget pendidikan politik yang sangat dibutuhkan masyarakat saat ini sangatlah sederhana, yaitu masyarakat ingin melihat dan merasakan betapa nyamannya jika para pemain  di panggung politik praktis pesta demokrasi saat ini benar-benar bersikap tulus memerjuangkan kepentingan masyarakat.

Kedua, jika terjadi pilpres putaran kedua, semua pihak, terutama partai politik akan berada dalam kondisi serba tergesa dan serba pragmatis. Segera setelah KPU nantinya menetapkan dua pasangan yang lolos ke putaran kedua, pasangan itu  akan dan harus siap bertarung lagi, namun hanya memiliki rentang waktu sangat pendek, yaitu  masa kampanye,  Minggu, 2 Juni 2024 – Sabtu, 22 Juni 2024, karena coblosan kedua terjadwal Rabu, 26 Juni 2024.

Pada sisi yang lain,  partai politik yang jagonya kalah di putaran pertama, akan secara tergesa-gesa dan lagi-lagi pragmatis, melakukan migrasi atau bahkan bertransformasi mimikri ke salah satu pasangan capres-cawapres yang  masuk putaran kedua.

Baca juga Ngabar

Greget pendidikan politik masyarakat juga sangat pragmatis, yakni ajaklah dan ajarkan bagi pihak-pihak yang merasa “kalah” di putaran pertama segera move on;  dan lalu arahkan pilihan barunya kepada pasangan yang memang memberi sinyal-sinyal jelas, terbukti, teruji, dan jelas rencana baktinya kepada negeri ini.

Tegasnya, pendidikan politik  hendaklah difokuskan ke ajakan agar masyarakat  tetap berpartisipasi konstruktif dalam pilpres putaran kedua.

Ketiga,  dalam tahun 2024 ini juga, pada saatnya nanti, akan terbentuklah formasi pemerintahan baru yang akan disusun oleh presiden dan wakil presiden baru. Serba baru, pastinya. Di saat-saat inilah greget 2024  akan semakin menampilkan performa resolusi realistisnya  yang serba baru. Dalam kondisi realistis seperti ini, nanti pasti akan ada  lbanyak pihak “menagih janji”  kepada pemimpin (baru).

Menggunakan telaah Herbert Spencer (Veeger, 1993) tentang tipe-tipe masyarakat, realitas menagih janji seperti itu nantinya akan menjadi ujian awal kepemimpinan baru. Seperti diketahui, Spencer menyatakan bahwa masyarakat itu terbagi ke dalam dua tipe, yakni masyarakat militaristis dan masyarakat industri.

Sekedar menggunakan istilah militaristis, Spencer hanya mau menyangatkan betapa pemerintah (baca pemimpin baru) pasti akan berhadapan dengan masyarakat yang bersikap agresif,  terutama ketika/dalam upaya menagih janji pemimpin. Pada saat itu, orang akan lebih senang menekan dengan berbagai cara katimbang kerja produktif untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sebaliknya, pemimpin (baru), di awal-awal pemerintahannya, jarang akan berhadapan  dengan tipe masyarakat industri, yakni mereka yang terus saja melakukan kerja produktif penuh damai. Istilah industri dipergunakan Spencer untuk melukiskan betapa masyarakat tidak akan sangat terpengaruh oleh kepemimpinan baru, karena mereka lebih mengutamakan “kerjasama bebas dan spontan demi tujuan damai.”

Imbauan  kepada masyarakat sangatlah realistis, yakni berilah kesempatan pemimpin baru untuk bernafas di awal pemerintahannya,  sebaiknya jangan dikejar-kejar apalagi ditekan-tekan. Biarlah pemimpin baru memulai semuanya secara wajar-wajar saja karena sedang belajar dan menyesuaikan diri juga.

Keempat, dampak  sakit hati karena “kalah” jauh lebih sulit hilang dibandingkan dengan euforia kemenangan yang dalam hitungan empat puluh hari sudah akan lenyap. Hitung-hitungan realistis menyebutkan bahwa pihak yang sakit hati karena kalah di putaran pertama, besar kemungkinannya akan bertambah jumlahnya oleh mereka yang sakit hati karena kalah di putaran kedua.

Akumulasi kekalahan seperti ini perlu benar-benar dicermati oleh pemimpin baru, karena dalam waktu relatif lama akan tercipta model kerjasama antagonis. Menurut William Graham Sumner, kerjasama antagonis berawal dengan egoisme tinggi dari masing-masing pihak (terutama bagi mereka yang merasa menang).

Seraya menggunakan naluri masing-masing, sikap egois akan membawaserta konflik di mana-mana berhubung ada sikap mau menang sendiri. Lalu, berangsur-angsur akan ada penyesuaian diri, ada kompromi antara egoisme dan altruisme, muncul ada dukungan dari berbagai pihak.

Berikutnya, barulah muncul pola-pola relasi dan interaksi yang baru, yang selanjutnya akan menjadi pola perilaku (baru?).

Jika kondisi antagonis seperti disebut oleh Sumner itu kelak terjadi,  masyarakat membutuhkan greget pendidikan politik yang menekankan revitalisasi nilai-nilai luhur bermasyarakat, yakni kebersamaan dan gotong royong. Realistis, bukan?

JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University