Oleh: Amir Machmud NS
// sepak bola, itukah bongkah harapan?/ pun serunyam kenyataan/ di batas tipis mimpi dan keterpurukan/ tak jera-jera kita berselancar/ memastikan keseimbangan/ meyakinkan aneka kemungkinan//
(Sajak “Timnas dalam Sebongkah Harapan”, 2024)
WAKTU makin menipis untuk memastikan: bisa apakah tim nasional Indonesia dalam pesta sepak bola Asia di Qatar, yang semalam telah kick off?
Kembali sepak bola kita mengapung di batas tipis harapan dan keterpurukan, berselancar untuk memastikan keseimbangan: pada “maqam” mana dia berada. Sesuai angankah, atau terbanting lagi di muram mimpi?
Kekalahan 0-5 dalam uji coba terakhir melawan Iran — salah satu raksasa Asia dan langganan lolos ke Piala Dunia — tentu kurang menguntungkan secara psikologis. Hasil itu makin memperjelas “kelas” dan celah sepak bola kita lewat representasi timnas.
Tiga kali menguji diri, tiga kali pula menelan kenyataan pahit. Sebelum ini, dua kali Jordi Amat cs kalah dari Libya, 0-4 dan 1-2.
Berbagai Ikhtiar
Sejatinya, sepak bola Indonesia tak pernah berhenti berikhtiar dengan berbagai cara pembinaan. Dari yang paling dasar menyegarkan sistem kompetisi liga, membina pemain usia dini di berbagai kelompok usia, mendatangkan pelatih asing, hingga proyek perekrutan pemain keturunan untuk memperkuat timnas.
Sejauh ini, semua belum memberi hasil mencerahkan. Apakah karena proses yang masih terus berjalan? Karena antropometri pemain Indonesia yang “tidak tertakdirkan” untuk cabang olahraga sepak bola? Atau penafsiran “ikhtiar yang belum seimbang dengan impian”?
Di putaran final Piala Asia tahun ini, kita tak terhindar dari kenyataan berat. Hasil undian menempatkan Asnawi Mangkualam dkk di Grup D bersama Jepang, Irak, dan Vietnam.
Dari ukuran apa saja, termasuk peringkat FIFA, ketiga tim jauh di atas kelas Indonesia. Coach Shin Tae-yong berdalih, ranking FIFA hanya angka, yang terpenting adalah apa yang akan berproses di lapangan.
Jadi kira-kira senjata rahasia apa yang masih dia simpan untuk keyakinan keterpenuhan ambisi menembus babak 16 besar?
Penegasan Komitmen
Baru saja kita menyimak berita, para pemain lokal dan produk naturalisasi menyampaikan penegasan tentang komitmen total untuk tim Garuda. Sikap yang menurut saya menggetarkan, mengingat akhir-akhir ini muncul pendikotomian tentang asal usul pemain dalam skuad STY, local pride versus naturalisasi.
Sikap tersebut juga seperti mengingatkan agar masyarakat lebih fokus memberikan dukungan ketimbang terus menerus mencari celah pelemahan Pasukan Merah-Putih.
Sebelum itu, STY juga dengan nada keras mengingatkan: ketika sudah mengenakan seragam Garuda, tidak ada kata lain kecuali memberikan segala kehormatan untuk bangsa dan negara.
Boleh saja kita berpendapat, kesadaran komitmen para pemain dan lecutan motivasi STY merupakan sikap normatif yang “memang harus seperti itu”; namun masalahnya tidak sesederhana pendapat tersebut.
Dalam beberapa laga terakhir, sejumlah blunder yang menyebabkan terjadinya gol banyak dilakukan oleh pemain naturalisasi. Hal itu menimbulkan skeptisitas di tengah harapan besar kepada mereka. Lalu perbaikan sikap dan performa seperti apa yang akan dipertontonkan di pertandingan resmi mulai 15 Januari nanti.
Akan ditemukan jawaban: sampai di mana batas mimpi, seberapa dekat pula dengan kisah memprihatinkan. Tentu cerah dan indah yang kita nantikan…
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —