Timnas Indonesia yang disiapkan terjun di Piala Asia 2024 Qatar. Foto: pssi

Oleh: Amir Machmud NS

// rasanya serendah itu diperlakukan/ kita telah terbiasa tak diperhitungkan/ pun nyatanya/ kita hanya punya jejak-jejak kecil kejutan//
(Sajak “Piala Asia”, 2024)

TAK gelisahkah kita atas kekalahan 0-4 dari Libya dalam uji coba di Antalya, Turki, pada pekan ini, yang disusul skor 1-2 dalam pertandingan kedua, 5 Januari kemarin?

Disiplin pertahanan bocor, aliran bola tersendat, serangan pun tanpa sengatan. Betul-betul penampilan yang memprihatinkan, padahal medan laga Piala Asia sudah di depan mata.

Bagaimana tim nasional bisa meletupkan optimisme dengan kualitas performa seperti itu? Atau, laga kedua kemarin membersitkan harapan tentang perbaikan sikap bermain?

Akan tetapi, bisakah kita sedikit menghibur diri? Ya, ketika pada sisi lain ada jejak-jejak — yang betapa pun kecil, tak patut dilupakan.

Ada catatan-catatan — yang sesederhana apa pun, tak mungkin terhapuskan.

Sejarah adalah perekam sahih yang mengabadikan catatan. Dan, itu tak mungkin terbelokkan.

Masa silam, apalagi dengan kisah-kisah yang menumbuhkan pengharapan, bukankah menjadi motivasi untuk masa depan?

Begitulah saya menandai penampilan tim nasional sepak bola kita di panggung Piala Asia, baik dalam jejak kelolosan dari babak kualifikasi, maupun catatan-catatan di putaran final.

Ada cercah kebanggaan, ada keprihatinan; sekaligus evaluasi posisional dari masa ke masa: o, baru pada titik inikah “maqam” sepak bola kita?

Fenomena
Menjelang tampil melawan Irak di Grup D Piala Asia 2024 di Qatar, 15 Januari nanti, mari mengkilas balik empat catatan di putaran final dari 1996, 2000, 2004, hingga 2007.

Dalam turnamen di Uni Emirat Arab pada 1996, Bima Sakti dkk yang tergabung satu grup bersama Kuwait, Korea Selatan, dan UEA menorehkan sensasi tersendiri.

Gol salto Widodo Cahyono Putro membobol gawang Kuwait. Aksi sensasional yang oleh pelatih UEA Ivica Osim dilukiskan dengan ungkapan “bam-bam-bam” itu akhirnya terpilih sebagai “Gol Sepanjang Masa Piala Asia”. Arsitek Kuwait Milan Macala juga memuji aksi itu sebagai “Kungfu Widodo”.

Secara mengejutkan, Indonesia sempat unggul 2-0 lewat gol Ronny Wabia, namun disamakan Kuwait menjadi 2-2. Skor imbang itu, antara lain karena kiper utama Kurnia Sandy mengalami cedera parah. Dia digantikan oleh Hendro Kartiko.

Performa melawan Kuwait itu, sayangnya tak berlanjut di dua laga berikut. Tim Danurwindo kalah 2-4 dari Korea — yang antara lain diperkuat oleh Shin Tae-yong dan pemain legendaris Kim Joo-sung. Terakhir Indonesia ditundukkan tuan rumah UEA 2-0.

Empat tahun kemudian di Lebanon, Hendro Kartiko mencatat sensasi. Penampilan gemilangnya mampu mementahkan bombardemen para penyerang Kuwait, dan tim asuhan Nandar Iskandar itu pun mampu memaksakan hasil tanpa gol. Berkat tampilan impresifnya, Hendro terpilih sebagai Man of the Match.

Sayang dalam laga melawan Cina dan Korea Selatan, Indonesia kalah 0-4 dan 0-3.

Hendro mengulang sensasi Man of the Match di Tiongkok 2004. Kemenangan pertama Indonesia di Piala Asia yang dicatat oleh tim racikan Ivan Venkov Kolev, tak lepas dari kecemerlangan kiper berjejuluk Fabien Barthez Indonesia itu.

Dianggap underdog saat menghadapi Qatar, anak-anak Garuda malah tampil menggila. Indonesia menang 2-1 lewat gol Ponaryo Astaman dan Budi Sudarsono. Namun dalam dua laga selanjutnya, kalah dari Cina 0-5 dan Bahrain 1-3.

Pasukan Kolev membalas kekalahan dari Bahrain di Jakarta 2007. Dua gol Budi Sudarsono dan Bambang Pamungkas mengontribusikan hasil 2-1.

Berikutnya, dengan penampilan impresif Indonesia memaksakan skor imbang 1-1 melawan Arab Saudi hingga menit ke-89. Sayang, akhirnya Ellie Aiboi cs kalah 1-2. Kekalahan berlanjut dalam pertandingan ketiga, 0-1 dari Korea Selatan. Tampil bagus, tetapi menutup laga dengan kegagalan lolos ke babak kedua.

Underdog Lagi
Predikat underdog tampaknya belum lepas dari tim nasional kita. Piala Asia sejauh ini masih didominasi tim-tim Asia Timur dan Asia Barat.

Dengan Australia yang sekarang menjadi anggota Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC), peta kekuatan makin mempersempit peluang tim-tim Asia Tenggara.

Pengembangan kekuatan timnas Indonesia lewat program naturalisasi pemain menjadi sorotan tersendiri pada 2024 ini, termasuk masalah chemistry yang diduga menciptakan blunder-blunder konyol dalam pertandingan?

Lalu, apakah di Qatar nanti, dalam pertandingan yang sesungguhnya, proyek itu akan mengubah konstelasi kekuatan? Atau baru dalam level menciptakan gebyar harapan?

Secara mediatika, naturalisasi memang memberikan cercah harapan dan rupa-rupa tafsir viral pemberitaan. Bagaimanapun, langkah ini menyerupai jalan pintas dalam kealamiahan pembinaan.

Piala Asia 2024 akan menjadi forum eksaminasi tentang harapan, teori, juga boleh jadi evaluasi terhadap proyek pragmatis tersebut.

Harapan yang berkembang, misalnya, akankah dengan konstelasi kekuatan sekarang, Asnawi Mangkualam dkk mampu memberi cukup perlawanan kepada Irak, Jepang, dan Vietnam di Grup D?

Seperti apa realitas peningkatan performa kualitatif setelah langkah-langkah naturalisasi?

Ataukah Timnas Garuda hanya akan meninggalkan jejak fenomena individual seperti kisah “gol kungfu” Widodo dan ketangguhan Hendro Kartiko?

Dari sisi ini, bagaimanapun pertarungan di Qatar mulai 15 Januari nanti membersitkan harapan dan rasa kepenasaran. Kita masih akan melihatnya dari uji coba terakhir melawan Iran, 9 Januari nanti.

Ya, ada realitas ke-underdog-an terhadap skuad Shin Tae-yong, kali ini. Juga ada “tradisi diremehkan” yang tak kunjung hilang. Hasil ujicoba melawan Libya menunjukkan di atmosfer mana timnas kita berada…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah