blank
Dua orang pegawai di Kebun Widuri, Desa Wonokerto, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang, mengecek panel surya, sebagai pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT). (Foto: Diaz Azminatul Abidin/Suarabaru.id)

Potensi ekonomi yang cukup menggiurkan bagi ekonomi desa dalam mengelola lahan kritis. Belum dengan jenis buah Sawo Raksasa atau Mamey Sapote yang sedang beken di masyarakat. Tanaman buah ini rata-rata dijual dengan harga Rp 200-an ribu hingga jutaan rupiah sesuai dengan besar atau kecilnya atau jenisnya.

blank
Buah alpukat yang ditanam dengan sistem tanam buah dalam pot (Tqmbulampot) menunggu waktu untuk di panen, di Kebun Widuri. Foto: Diaz Azminatul Abidin/Suarabaru.id

Filosofi dan Pemberdayaan Masyarakat

Kebun Widuri di Bancak Kabupaten Semarang itu didirikan oleh Maskup Asyadi dan Arif Rubai. Di mulai pada 2019 akhir, hingga pada triwulan awal 2020 Kebun Widuri mulai dijalankan.

Maskup Asyadi dan Arif Rubai merupakan warga setempat yang gelisah dengan potret pertanian desa setempat yang harus di musim kemarau. Banyak lahan-lahan di perbukitan itu sulit mendapatkan air. Pada akhirnya tidur panjang banyak ditinggalkan petani hingga musim hujan datang lagi.

“Konsep Kebun Widuri merupakan konsep kawasan yang ingin memberikan inspirasi kepada masyarakat. Setelah musim tanam biasanya tidak ada pekerjaan, di mana lahan akhirnya ditelantarkan,” kata Maskup Asyadi.

“Padahal lahannya luas, pekarangannya jarang termanfaatkan. Maka ini dilakukan agar lahan termanfaatkan. Maka kita angkat ini dengan produk tanaman buah yang teruji dan laku di masyarakat sehingga akan meningkatkan perekonomian,” ujar dia.

Maskup Asyadi mengambil penamaan Kebun Widuri dengan nilai filosofi yang menarik. Nama Widuri diambil dari nama bunga. Bunga tersebut tanaman pejuang yang kuat dan tumbuh di sepanjang musim.

“Di Widuri ini kita memberikan gambaran, dengan nilai filosofi bunga Widuri tanaman yang tetap hidup dan berbunga di lahan kering. Kita punya tantangan setiap kemarau di kawasan ini dan harus dihadapi,” kata dia.

Pada prosesnya, kini Kebun Widuri menyewa lahan desa seluas 3,5 hektar untuk kebun buah. Tak hanya itu, dia juga bisa menggerakkan masyarakat untuk ikut mengembangkan tanaman buah yang cukup cocok di wilayah setempat. “Kemudian kerja sama dengan masyarakat lahan 10 hektar dari 3 dusun di desa setempat. Itu berupa pekarangan warga yang ditanami pohon-pohon buah,” kata dia.

Tanaman-tanaman itu tak hanya dibudidayakan dengan metode Tambulampot, namun juga dikembangkan di lahan-lahan pekarangan warga. Tanaman buah-buahan yang dikembangkan berupa persilangan atau stek sambung milik warga.