Presiden RI, Jokowi, mengajak makan siang tiga capres, masing-masing Anies Baswedan, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo, di Istana Negara, belum lama ini. Foto: setkab

Oleh: Gunawan Witjaksana

MENYEJUKKAN sekaligus mendinginkan suasana apa yang disampaikan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, yang meminta membiarkan Menteri PDIP di kabinet, guna tetap mendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo hingga berakhir pada 2024.

Pernyataan yang menunjukkan sikap kenegarawanan tersebut, diharapkan setidaknya mampu meredam, atau bisa mengurangi polemik yang makin karut marut, utamanya melalui media sosial (medsos), yang dampaknya sangat membingungkan masyarakat akar rumput.

Sikap tegas dan jelas Megawati tersebut, diharapkan akan diikuti oleh seluruh jajaran di bawahnya, sehingga polemik yang kontraproduktif tersebut, lebih baik diganti dengan cita-cita menyelenggaran Pemilu yang menggembirakan, damai, dan akhirnya mampu melahirkan calon pemimpin bangsa yang mampu mengantarkan kondisi Indonesia Emas di tahun 2045 yang akan datang.

Kita tentu maklum, bahwa polemik yang terjadi dan tersebar luas melalui berbagai media tentu ada pemicunya. Sayangnya, terkait pemicu tersebut masing- masing pihak cenderung menjustifikasi sesuai dengan sikap serta pandangan kelompoknya masing-masing, sehingga saling mencari benar dengan asumsinya masing-masing, dan itulah yang selanjutnya melahirkan perdebatan yang tak berujung.

Memang, pernyataan Megawati tersebut belum tentu mampu meredam secara maksimal. Namun, setidaknya akan mampu mengingatkan semua pihak, yang tujuan akhirnya adalah pemilu damai dengan suasana riang gembira.

Di alam pesatnya perkembangan teknologi informasi, sangat tidak mungkin mengekang medsos, apa pun dan bagaimana pun caranya. Medsos Yang dengan mudahnya digunakan oleh siapa saja, untuk kepentingan apa saja, terlebih dengan mudahnya melakukan rekayasa, akhir-akhir ini sering memicu polemik terkait pemilu, yang bila tidak segera saling diatasi, bisa saja memengaruhi sikap enggan memilih (golput), yang dengan susah payah bisa diatasi melalui komunikasi pembangunan politik, sehingga tingkat partisipasi pemilih sudah makin tinggi.

Pertanyaannya, apakah para elit serta intelektual mau secara bersama-sama saling melakukan komitmen bersama, dengan saling mengurangi tensinya masing-masing? Serta bagaimana sebaiknya sikap masyarakat bila kondisi saling membenarkan diri tersebut tetap saja terjadi?

Kampanye Negatif
Dalam pengertian komunikasi, kampanye negatif itu boleh saja dilakukan. Mengritik program pemerintah dengan menunjukkan data yang akurat sah saja dilakukan, meski oleh kandidat pasangan capres-cawapres yang motto utamanya melanjutkan program presiden sebelumnya.

Kritik pasangan nomor urut 3 terkait kemaritiman, atau penegakan hukum yang dinilai kurang, dan dijanjikan akan diperbaiki bila terpilih kelak, adalah sebuah kritik yang konstruktif. Kritik semacam itu juga bukan kampanye hitam yang terlarang, misalnya dengan mengumbar aib.

Bila toh itu dilakukan paslon nomor 3 yang notabene pendukung pemerintah, hal itu tetap sah dan layak, karena meneruskan program yang baik, serta memperbaiki yang belum baik.

Kita juga paham, bila ada juga paslon lain yang juga akan meneruskan, dan hingga saat ini kesannya masih ada pada gerbong yang sama.

Dengan demikian, kritik yang berupa kampanye negatif itu bukan hanya monopoli paslon pengusung perubahan saja.

Itulah yang seharusnya yang disadari oleh para elit dan timsesnya, sehingga mereka akan fasih dalam memahami mana itu kritik konstruktif, serta mana kritik yang asal, yang meski tampaknya didukung data, ternyata datanya kurang akurat.

Adu Hasil Survei
Hal lain yang sering dan terus menjadi polemik adalah terkait hasil survei. Meski metode survei itu ilmiah, tapi survei itu adalah persepsi saat survei itu dibuat, dan terus akan berkembang secara dinamis sesuai tahapan pemilu selanjutnya.

Survei yang memanfaatkan ilmu statistik yang merupakan probability science, tentu bisa juga salah, karena itu ada standar kesalahan pada angka tertentu.

Pengalaman pada pemilu atau pemilukada sebelumnya, yang tidak cocok seperti yang pernah terjadi di Jabar dan Jateng, merupakan contoh kongkret, sehingga salah mengklaim keunggulan survei seolah kemenangan.

Saking bersemangatnya hingga muncul over optimistic satu putaran. Di pihak lain yang merasa dirugikan, membalasnya dengan istilah survei intimidasi, dan sejenisnya.

Bila itu diteruskan, kita gunakan saja kata para pihak yang bijak, abaikan saja hasil survei, dan fokus kerja pada kandidat dan timsesnya, serta cari informasi seteliti mungkin, sampai sebelum hari H pencoblosan, seperti bahasa iklan teliti sebelum membeli.

Bagi calon pemilih, telitinya itu bukan saja melihat media, tapi dengan bertanya pada mereka yang kompeten dan netral, yang ada disekeling mereka.

Akhirnya, kita hanya bisa berharap penyataan Megawati itu bisa menjadi ajang saling melakukan introspeksi. Khusus bagi pemerintah dan para penyelenggara pemilu, alangkah indahnya bila kata netral itu tidak hanya indah tatkala terucap. Terkait hal tersebut, sikap dan perilaku aparat seperti yang muncul di berbagai media, harap disudahi.

Tidak usah mencari siapa benar atau salah. Yang jelas fungsi mediasi dan advokasi media akan menjadikan hal yang mustahil bila ada kesalahan atau pun kekurangan yang dicoba ditutupi, serapat apa pun.

Drs Gunawan Witjaksana MSi; Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Semarang