blank

Menyimpan barang yang memiliki kenangan merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh seseorang. Lalu bagaimana dengan seseorang yang menyimpan barang bekas hingga jumlah berlebihan? Hal tersebut dapat mengarah pada problem psikologis yang disebut hoarding disorder yang termasuk dalam gangguan obsesif kompulsif berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5).

Hoarding disorder merupakan gangguan yang dialami seseorang yang menimbun barang yang sudah tidak lagi berfungsi atau digunakan dalam jumlah banyak. Seseorang yang mengalami hoarding disorder akan merasa sulit untuk berpisah dengan barang karena keterikatan emosional mereka. Gangguan tersebut dapat menyebabkan masalah lain seperti kebimbangan, maupun hubungan interpersonal dengan sekitar.

Untuk membantu mengatasi permasalahan di atas, maka dalam ajang Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) tahun 2023, mahasiswa dari Tim Fakultas Psikologi Unissula yang terdiri dari Reihan Nisha Gunawan, Nisa’ul Mardhiyah, dan Sabrina Khairunisa serta dibimbing oleh dosen Erni Agustina Setiowati SPsi MPsi memberikan program intervensi Declutter Challenge.

Program yang lolos didanai hibah Kemendibudristek ini bertujuan untuk mengurangi kecenderungan menimbun barang secara berlebihan pada remaja usia 10-20 tahun di Kota Semarang dan berlangsung selama 5 bulan dimulai dari bulan Juni hingga Oktober 2023.

Reihan mengatakan, hingga saat ini belum diketahui secara pasti penyebab gangguan hoarding disorder, tetapi ada penelitian yang menyebutkan bahwa gangguan ini dapat disebabkan oleh faktor trauma atau stressfull life event yang dijadikan alasan sebagai menimbun barang.

Selain itu, faktor genetik atau keluarga juga dapat menjadi penyebab. Bagaimana ciri-ciri orang yang mengalami hoarding disorder?

Menurutnya, seseorang yang mengalami hoarding disorder akan memiliki perasaan sulit membuang barang, menyimpan barang untuk menghindari perasaan negatif, atau menumpuk barang hingga mengganggu aktivitas dalam rumah.

Beberapa dampak buruk yang disebabkan karena hoarding disorder. Munculnya konflik dengan orang terdekat, yang ditunjukkan melalui rasa ketidaksukaannya terhadap mereka yang membuang barang milik penderita meskipun barang tersebut dianggap orang lain sebagai sampah.
”Penderita juga dapat merasakan emosi negatif ketika sulit menemukan barang-barang mereka di saat waktu tertentu. Juga timbul ancaman seperti masalah kesehatan, kebersihan, dan keamanan yang dapat mengakitbatkan bahaya tersandung bahkan kebakaran karena disebabkan oleh banyaknya tumpukan barang,” jelasnya, Sabtu (14/10/2023).

Gangguan hoarding disorder dialami oleh 2-5% populasi manusia di dunia dan gejala awalnya dimulai sejak usia remaja. Lebih dari 50% kasus gejala gangguan hoarding disorder muncul di antara usia 10-20 tahun dan bertambah parah pada usia 40 tahun jika tidak diberi penanganan sama sekali.

Maka dari itu perlu adanya deteksi dini pada remaja awal melalui intervensi agar mencegah gangguan ini dan mengurangi perilaku penimbunan barang di kemudian hari.

Cara melakukan declutter challenge:
Pertama, menyiapkan alat dan bahan decluttering. Seseorang cukup menyediakan dua kardus kotak dan satu plastik besar atau trashbag, barang ini juga opsional menyesuaikan jumlah barang apabila Anda ingin melakukan decluttering secara mandiri.

Kedua, lakukan decluttering:
Kami mengajak setiap remaja untuk memenyingkirkan 2-3 barang yang rusak atau barang yang kondisinya masih bagus tetapi sudah tidak digunakan lagi. Barang yang masih bagus tapi ingin dibuang nantinya akan kami donasikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Hal ini akan membantu mengurangi barang-barang mereka yang menumpuk dan memenuhi ruangan.
2-3 barang tersebut dipindahkan ke plastik besar atau trashbag untuk kategori barang yang sudah rusak atau sudah tidak digunakan lagi, sedangkan 1 kotak kardus digunakan untuk menyimpan barang yang kondisinya masih bagus tetapi ingin dibuang.

Alangkah baiknya, sebelum menyingkirkan barang harus dilakukan teknik journaling untuk terlebih dahulu untuk melepaskan perasaan mereka terhadap barang-barang yang memiliki cerita dibalik barang tersebut.

Ketiga, journaling melalui media sosial.
Journaling biasanya dilakukan secara tertulis menggunakan buku, tetapi dalam teknik Declutter Challenge ini kami mengajak Anda untuk melakukan journaling dengan memanfaatkan akun media sosial terutama instagram. Caranya, cukup mengunggah foto barang dan menuliskan perasaan, pikiran, atau emosi terkait barang-barang mereka di caption instagram. Mereka juga dapat menulis tentang kenangan atau cerita dibalik barang tersebut.

Journaling dapat membantu mereka memahami alasan di balik mereka melakukan penimbunan barang dan melepaskan barang mereka. Selain itu, media sosial diharapkan mereka dapat mendapatkan dukungan dari teman-teman, keluarga, dan komunitas sesama penderita hoarding disorder.

Keempat, penyaringan dan donasi barang-barang yang sudah diunggah akan disingkirkan sesuai dengan kategori.

Barang yang masih layak pakai akan didonasikan kepada orang yang membutuhkan, sementara barang yang rusak atau tidak lagi layak pakai akan dibuang. Barang yang disingkirkan bertujuan agar tidak menumpuk di ruangan.

Program Declutter Challenge tidak hanya ditujukan kepada remaja saja, tetapi program ini bisa diimplementasikan kepada siapa saja yang ingin melakukan decluterring secara mandiri. Manfaat yang di dapat dari program ini adalah sebagai usaha awal pencegahan pada remaja dengan mengidentifikasi dan mengatasi kecenderungan hoarding agar di masa dewasa tidak berkembang terlalu parah. Lalu, program ini dapat membantu remaja mengembangkan keterampilan dalam pengambilan keputusan dengan menyadari pentingnya memprioritaskan barang-barang yang lebih penting dan barang yang tidak digunakan lagi.

Melalui pengalaman berbagi dukungan sosial di media sosial, remaja dapat merasa didukung oleh teman-teman sebaya dan fasilitator program dan yang terakhir kami membantu dukungan sosial melalui donasi barang yang masih layak dan program ini memberikan manfaat bagi komunitas yang membutuhkan.